CHAPTER SEBELAS

1927 Kata
            Kamal menatap Lara yang tengah tersenyum sambil memainkan ponsel di depannya. Gadis itu tampak asik degan gawainya, tak tahu bahwa dirinya diperhatikan begitu intens oleh laki- laki di depannya. Tidak seperti biasa, rambut Lara yang biasanya dikuncir kuda kini diurai dan dibiarkan jatuh melewati bahunya. Satu hal yang membuat ia dan Ayra berbeda. Kini keduanya serupa.             “Lo kenapa sih? Senyum- senyum mulu?” tegur Kamal saat menyadari senyuman tipis gadis itu tak hilang- hilang.             “Gue lagi chat sama kak Mahesa.” jawabnya. Masih dibarengi senyum yang kini mengembang sempurna.             “Oh...” hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Kamal, “terus itu kenapa rambut diurai gitu. Nggak kayak biasanya. Nggak gerah emang?” tanya Kamal dengan tatapan menyelidik. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari ponsel lalu tersenyum pada Kamal. Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari- jarinya.             “Lagi nyoba sesuatu yang baru aja? Gimana? Gue cantik kan?” tanyanya sambil memilin ujung rambutnya. Gadis itu tampak percaya diri.             “Lo kayak biasa juga udah cantik, kok. Nggak perlu diurai gitu rambutnya. Ntar yang ada pada ngira lo Ayra lagi.” jawab Kamal dengan datar, membuat bibir Lara mengerucut. Belum sempat mulutnya terbuka, ia melihat Ayra yang tiba- tiba terpaku saat duduk di depannya.             “Lara? Lo sehat?” tanya Ayra dengan kernyitan dalam. Ia tidak menyangka akan bisa melihat Lara dalam tampilan serupa sepertinya. Sejak kecil, wajah mereka yang sangat identik hanya bisa dibedakan dengan tampilan luar yang berbeda. Dan Lara yang tomboy lebih suka mengikat rambutnya. Satu- satunya yang bisa membedakan mereka berdua.             “Gue emang aneh banget, ya?” tanya Lara dengan raut wajah bingung.             “Bukan... Bukan gitu. Lo kelihatan beda aja hari ini. Gue berasa ngaca.” kata Ayra sambil mengambil roti isi yang disodorkan Kamal.             “Lo lagi jatuh cinta, ya?” goda Ayra dengan kedipan mata. Gadis itu menatap Lara yang terlihat salah tingkah.             “Ih, apaan sih. Nggak lah.” sangkalnya. Ia menghabiskan isi gelasnya lalu berdiri. “Gue tunggu di depan, ya.” katanya sambil berlalu meninggalkan Ayra dan Kamal di ruang makan.             “Beneran deh, tuh anak lagi jatuh cinta.” Kata Ayra pada Kamal yang tampak tak acuh. Laki- laki itu mengangkat bahu lalu memilih melanjutkan sarapannya.   ***               Sedan hitam itu berhenti di depan gerbang berwarna putih. Seorang laki- laki dengan kemeja bergaris itu keluar dari sana dengan sekotak cokelat di tangan kanannya.  Langkah kaki membawanya mendekat ke arah gerbang dan melewatinya. Ia tersenyum melihat seorang gadis yang sedang duduk di beranda rumah. Gadis itu tampak cantik dengan kemeja hitam dan celana jeans.             “Pagi...” Bara menyapa dengan ramah lalu mengambil tempat di kursi kosong di samping gadis itu.  “Kamu cantik banget hari ini.” lanjutnya sambil tersenyum ke arah Lara yang justru mengernyit bingung, hingga akhirnya ia tertawa terbahak- bahak.             Bara tertegun. Tawa ini bukan milik Ayra, pikirnya. Ayra tidak akan tertawa terbahak- bahak di depannya. Biasanya gadis itu akan mendelikkan matanya dengan sinis, mengerucutkan bibirnya kesal ataupun membuang muka saat melihatnya.             Gadis di depannya mengusap ujung matanya yang berair karena tak bisa berhenti tertawa.             “Lo salah orang.” Kata gadis itu setelah berhasil menahan tawanya.             Belum sempat Bara bereaksi, kepalanya menoleh ke arah pintu dan melihat Kamal dan gadis yang sudah sangat ia kenal. Gadis itu menatapnya dengan wajah jengkel. Matanya kembali pada gadis yang duduk di sebelahnya.             “Lo Lara? Kenapa kayak cewek gini? Tumben.” tanya Bara dengan nada bingung.             “Lah suka- suka gue dong mau kayak gimana juga." kata Lara sambil berdiri, “yuk, Mal.” gadis itu berjalan lebih dulu dan masuk ke dalam mobil.             “Lo bareng Bara kan, Ay?” tanya Kamal.             “Nggak ah, gue bareng lo aja.” kata Ayra sambil melingkarkan tangannya di lengan Kamal.             Bara terdiam. Matanya terarah pada tangan Ayra yang entah sudah beberapa kali dilihatnya bertengger di lengan Kamal.             "Bareng Bara aja lah. Kasihan dia udah jauh- jauh ke sini." kata Kamal.             Bara menatap Ayra lalu menggenggam pergelangan tangan gadis itu.             “Apaan sih? Lepasin, ih.” keluh Ayra sambil berusaha berontak.             “Pergi aja, Mal. Biar Ayra bareng gue.” Bara mengisyaratkan Kamal untuk pergi lebih dahulu.             “Titip Ayra, ya.” kata Kamal. Bara tersenyum singkat sambil mengangguk.             Kamal berlalu sementara Ayra masih berusaha berontak dari pegangan Bara yang semakin mengerat.             "Lepasin. Sakit tahu!!!" gadis itu melotot tajam. Bara melepas pegangannya saat melihat mobil Kamal menghilang dari pandangan.             Ayra menghela napas kasar. Ia benci ini. Ia benci saat Kamal tak membantunya melepaskan diri dari Bara. Ia benci saat Kamal malah membantu Bara mendekatinya dan memberikan dukungan.             Ia benci setiap kali Kamal memberikan pendapatnya mengenai sosok Bara. Laki- laki itu selalu bilang bahwa Bara sebenarnya sosok dan baik dan selalu memintanya memberikan kesempatan atau mempertimbangkan perasaan laki- laki itu.             Bara menatap Ayra yang mencebik kesal lalu mengulurkan sekotak cokelat yang ia bawa.             “Siapa yang suruh kamu ke sini? Pakai bawa cokelat segala. Berapa kali aku bilang kalau aku nggak suka!!!” katanya sambil bertolak pinggang. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kejengkelannya.             Bara terdiam. Tangannya yang memegang cokelat masih terulur.             Ayra menatap laki- laki itu lalu mengambil cokelat itu, masuk ke dalam dan menaruh cokelat itu di atas meja ruang tamu.                    Napas Bara tertahan, namun ia sekuat tenaga menjaga mimik wajahnya.             “Ingat, ya. Aku nggak suka kamu kasih- kasih hadiah kayak gitu.”             Bara menatap cokelatnya yang tergeletak begitu saja di atas meja ruang tamu             Bara menghela napas untuk mengurai sesak yang terasa menyelimutinya. Ia menatap Ayra dengan tatapan tenang. Ia berpikir, apa gadis itu harus diberi pelajaran? Atau memang sudah waktunya dirinya menyerah?             Ia mengekori Ayra yang sudah berjalan keluar dari rumahnya. Ia melesak di belakang kemudi saat Ayra sedang memakai safety beltnya. Ia menyalakan mesin dan menjalan kendaraan roda empat itu tanpa sepatah katapun.             Ayra menoleh, menatap Bara yang tatapannya fokus pada jalanan. Raut wajahnya tampak tegang dan begitu sulit diartikan. Ia tahu, laki- laki dalam mood yang tidak bagus. Apa yang ia lakukan tadi keterlaluan? Tapi, laki- laki itu memang harus diberi pelajaran. Laki- laki itu harus berhenti melakukan hal yang sia- sia. Laki- laki itu harus tahu bahwa ia tak akan pernah bisa memiliki perasaannya.   ***               Kamal tahu ada yang berbeda dari Lara selain penampilannya yang berubah menjadi feminim. Sudah tak terhitung berapa kali gadis itu menyunggingkan senyum tanpa sebab. Senyum itu mengembang seiring dengan tatapan intensnya ke benda pipih dalam genggamannya.             "Masih chat sama kak Mahesa?" tanya Kamal. Lara mendongak lalu mengangguk pelan.             Kamal tahu bahwa pertemuan gadis itu dengan Mahesa bukan lagi pertemuan biasa. Bukan lagi sekedar junior bertemu dengan senior di SMA. Jelas ada yang berubah dari Lara semenjak pertemuan itu. Dan tiba- tiba dirinya berpikir. apa laki- laki itu alasan dulu Lara menolaknya?             Kamal terus berpikir mengenai kata- kata Ayra yang bilang bahwa Lara sedang jatuh cinta. Ayra tampak yakin dengan dengan kata- katanya. Sekali lagi ditatapnya gadis di depannya. Sepanjang hidupnya, baru kali ini ia melihat gadis itu mengurai rambutnya saat kegiatan di luar rumah. Sejak bertengkar dengan Ayra, gadis itu membenci rambutnya yang terurai karena hal itu membuatnya semakin terlihat sama dengan Ayra. Dan sejak mereka berbaikan, gadis itu juga masih selalu mengikat rambutnya karena merasa gerah dan panas.   ***               “Tadi aku pikir kamu yang ketawa. Sampai akhirnya aku sadar bahwa kamu nggak mungkin tertawa lepas kayak gitu di depan aku.” kata Bara tanpa menoleh. Tatapannya terfokus pada jalanan di depannya. Ia mencoba mencairkan suasana yang terasa begitu tegang, seperti senar gitar yang di tarik begitu kencang dan siap putus kapanpun.             Ayra menoleh lalu menghela napas berat “Bukannya aku udah pernah bilang ya sama kamu. Sampai kapanpun, aku nggak bakal bisa balas perasaan kamu. Jadi jangan melakukan hal yang sia- sia.” jelasnya. Ayra sudah berkali- kali mengatakan itu. Berharap laki- laki itu berhenti. Ia tidak ingin semakin menyakiti laki- laki itu.             Diluar dugaannya, laki- laki itu menoleh saat lampu jalanan menunjukkan warna merah dan mobil itu berhenti. Laki- laki itu tersenyum ke arahnya dan berkata “Aku mau berjuang sampai akhir.”             Keduanya terdiam sesaat dengan tatapan saling mengunci. Ayra tak menyangka bahwa kalimat itu yang akan keluar dari mulut Bara. Laki- laki itu mengatakannya dengan senyuman yang entah kenapa membuat hatinya nyeri.             Suara klakson yang terdengar membuat Bara kembali fokus ke jalanan. Mobil- mobil yang ada di depannya sudah mulai berjalan. Ia menekan pedal gas hingga roda mobilnya kembali melaju menuju kampusnya.             Bara menghentikan mobilnya di depan fakultas manajemen. Ia menoleh dan melihat gadis di sebelahnya sedang melepas safety beltya.             “Makasih…” kata Ayra sambil menatap Bara yang tersenyum kecil dan mengangguk padanya.             Bara melihat gadis itu membuka pintu mobil dan keluar. Ia masih di sana hingga sosok itu menghilang dari pandangannya.   ***                   Lara, Kamal, Ayra, Bara dan Dila tengah berkumpul di kantin siang itu. Bara tak lagi ingin menanyakan perihal Mahesa pada Lara. Karena sekuat apapun ia mencoba membujuk gadis itu untuk memberitahu di mana laki- laki itu, ia tahu, mulut gadis itu akan selalu rapat dan tak akan pernah terbuka sedikitpun untuk menjawab pertanyaannya. Yang bisa ia yakinkan adalah, Mahesa dalam keadaan baik- baik saja. Luka fisik yang pernah ia berikan pada laki- laki itu nyatanya tak fatal. Setidaknya, ia bisa sedikit benapas lega.             “Eh, gue duluan ya. Mal, pinjam mobil dong.” Kata Lara pada Kamal. Laki- laki yang sudah tahu ke mana tujuan Lara merogoh tasnya dan memberikan kunci mobilnya pada gadis itu.             “Lo mau ke mana, Ra? Bentar lagi ada kelas, lho.” Tanya Dila seraya mengingatkan.             “Ada perlu. Gue absen dulu.” Kata gadis itu sambil menghabiskan air mineralnya lalu bergerak menjauh setelah berpamitan dengan teman- temannya.             Semua mata kini menatap ke arah Kamal. Meminta penjelasan laki- laki itu. Semua orang di sana tahu bahwa laki- laki itu tahu ke mana Lara akan pergi.             “Dia mau jemput temannya di bandara.” jawab Kamal. Matanya menatap Bara yang tampak dingin. Ingin melihat reaksi Bara karena ia yakin, laki- laki itu tahu siapa orang yang ia maksud. Tapi kenyataannya, laki- laki itu bergeming, tak berniat ikut bangkit dan mengikuti ke mana Lara pergi. Laki- laki itu lebih memilih sibuk dengan minumannya.             “Ke kelas yuk, Mal.” Ajak Ayra sambil melirik jam di pergelangan tangannya.             “Lo duluan aja. Gue antar Dila ke kelasnya dulu.” Kata Kamal.             Ayra melirik Dila lalu menghela napas secara tidak ketara. Ia menoleh ke arah Bara yang sudah berdiri. Tahu apa yang akan dilakukan laki- laki itu, ia memilih berjalan cepat menjauhi kantin. Langkah kaki membawanya menyusuri lorong fakultasnya. Dibelakangnya, ia tahu bahwa Bara mengikutinya dalam diam. Ia menaiki tangga dan kembali menyusuri lorong yang hari itu tampak cukup ramai. Beberapa mahasiswa terlihat duduk berkelompk di depan kelas. Ia melirik Bara yang berjalan dua langkah di belakangnya. Laki- laki itu tak mengatakan apapun hingga ia sampai di kelasnya.             Diambang pintu ia berhenti dan berbalik. Menatap Bara yang menatapnya dengan tatapan dingin.             “Nanti aku antar pulang.” Kata laki- laki itu lalu berbalik dan menjauhinya tanpa menunggu jawabannya. Ayra menahan geram lalu menghembuskan napas kasar. Laki- laki itu selalu seenaknya.             “Bara kurang apa sih? Kok lo nolak dia mulu?” suara itu muncul tepat saat ia duduk di sebelah Ana, salah satu temannya.             “Lo nggak tahu siapa dia.” Jawab Ayra dengan nada tak acuh.             “Dia bukannya calon dokter? Gue dengar- dengar, bokapnya juga dokter kan?” jelas Ana, “dia juga ganteng kok. Baik banget lagi. Gue bingung kenapa lo jutek banget sama dia.” Lanjutnya.                         Ayra terdiam. Ia berpikir sejenak. Mengulang sedikit memori tentang laki- laki itu. Apa saja yang sudah dilakukan laki- laki itu untuknya.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN