CHAPTER EMPAT BELAS

1686 Kata
            “Gue mau minta maaf sama lo untuk masalah terakhir kita ketemu.” Kata Bara dan semuanya mengalir begitu saja. Semua penyesalan yang sempat dipendam Bara selama bertahun- tahun. Semua rasa yang akhirnya bisa ia beritahukan pada kakak tirinya hingga permintaan agar laki- laki itu kembali ke rumah dan memulai semuanya dari awal. Sebagai satu keluarga, di mana rumah adalah tempat keduanya untuk kembali pulang.             Mahesa bisa mendengar suara Bara bergetar, laki- laki menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia tahu bagaimana laki- laki itu berusaha mencari keberadaannya. Ayahnya selalu bercerita setiap kali Bara bertanya mengenai keberadaannya dan menelan kecewa saat tak pernah mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Tapi, ia tidak menyangka bahwa akan seperti ini penampakan pertemuan keduanya.             Mahesa tersenyum lalu mengangguk. Laki- laki itu juga menggumamkan maaf atas semua kesalahannya di masa lalu. Bagaimana pun mereka berdua adalah sosok yang sama- sama terluka dan kini, mereka berdua sepakat untuk memulai semuanya dari awal.             “Gue mau lo kembali ke rumah. Bagaimana juga itu rumah lo. Kalau ada orang yang harus angkat kaki dari sana, itu gue.” Kata Bara yang langsung membuat             “Bukan demi gue, tapi demi papa.” Lanjutnya. Mahesa tidak menjawab, ia menoleh ke jendela saat melihat hujan tiba- tiba turun begitu derasnya.             “Gue nggak pernah benar- benar pergi dari rumah. Gue juga sering ketemu papa. Gue hanya memastikan bahwa papa baik- baik aja.” Jawab Mahesa. Seperti ia tak pernah benar- benar pergi dari Ciara. Ia ada di dekatnya, mengamati, memerhatikan, melihat bagaimana kehidupan gadis itu dari jarak jauh.             “Tapi gue ingin punya sebuah keluarga. Keluarga yang dulu hancur dan menjadikan gue orang yang begitu jahat. Gue mau mulai semuanya dari awal, sama lo, meski tanpa sosok mama. Gue pikir itu udah cukup. Gue mau menebus semuanya, termasuk rasa kehilangan lo juga.”   ***               Angin bertiup kencang saat gadis itu masih berada di posisinya. Di taman kampus tempat Mahesa akan menjemputnya. Kepalanya mendongak, menatap awan yang mulai menghitam. Ia tahu, sebentar lagi, langit akan menumpahkan muatannya. Tapi, kakinya tak juga ingin bergerak meninggalkan tempat itu meski ia sadar bahwa tanda- tanda kedatangan laki- laki itu tak juga nampak. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, sudah lebih dari satu jam waktu yang dijanjikan. Laki- laki itu bilang ia akan datang sekitar pukul satu, atau paling lama setengah dua, karena memperkirakan pertemuan dengan klien ini tidak akan memakan waktu banyak.             Matanya memindai sekeliling dan menyadari bahwa taman yang tadinya ramai itu kini mulai sepi, hanya menyisakan dirinya dengan angin yang semakin terasa menusuk. Ia seharusnya pergi dari sana, mencari tempat berteduh karena sebentar lagi hujan akan turun. Tapi, entah kenapa tubuhnya bergeming. Petir menggelegar dua kali hingga akhirnya muatan langit itu tumpah dengan derasnya, membuat tubuhnya seketika basah kuyub. Dan bodohnya, ia tak juga beranjak dari sana. Masih mengharap bahwa sebentar lagi, laki- laki itu akan datang dan menjemputnya.   ***               Ayra menahan geram, berkali- kali ia melirik ke luar melalui jendela kafe. Ia bersumpah akan menyerukkan sumpah serapah pada Bara jika laki- laki itu muncul di hadapannya nanti. Tapi nyatanya mulai dari cuaca yang begitu terik hingga berubah menjadi dingin karena hujan, batang hidung laki- laki itu tak juga nampak. Berkali- kali ia melirik ponselnya. Menahan diri untuk tidak menghubungi laki- laki itu dan memakinya melalui benda pipih miliknya.             Laki- laki itu yang membuat janji, seharusnya laki- laki itu yang datang lebih dulu. Bukan malah membuatnya menunggu seperti ini. Detik demi detik bergulir, ia sudah tidak tahan, ia berdiri dari kursinya lalu berbalik, saat itulah ia melihat Bara muncul dari pintu kafe dengan tergesa- gesa menghampirinya. Laki- laki itu berhenti di depannya dengan napas terengah- engah. Sebagian rambutnya dan bajunya basah.             “Maafin aku.” Kata laki- laki itu sambil menegakkan tubuhnya. Ia bisa melihat aura kemarahan dalam tatapan gadis itu. Ia tahu bahwa sebentar lagi gadis itu akan melontarkan bola api padanya.             “Jangan pernah temuin aku lagi.” Kata Ayra. Tak cukup, ia melayangkan sebuah tamparan di pipi Bara. Tidak kencang, namun cukup membuat laki- laki itu terkejut. Bara meraba pipinya dan berbalik, menatap punggung Ayra yang sudah berjalan menjauh dan keluar dari tempat itu. Menembus rintik hujan yang sudah tak seberapa.             Sadar semua pasang mata kini menatapnya, ia bergegas keluar dari kafe dan melihat gadis itu baru saja masuk ke sebuah taksi yang distopnya di pinggir jalan. Ia menghela napas kasar, masih meraba pipinya yang mulai terasa panas.   ***               Lara menatap kulit jarinya yang mulai keriput karena kedinginan. Hujan masih turun, meski intensitasnya sudah berkurang. Ia berteduh di sebuah halte dengan kondisi basah kuyup. Ia mengusap- usap lengannya dan mulai menggigil.  Giginya gemelutuk dengan pandangan yang masih terarah pada jalan di depanya. Ia masih berharap bahwa Mahesa akan datang menjemputnya dan masih terus berpikir akan menunggu laki- laki itu. Ia menatap sepasang sepatu ketsnya yang sudah basah.             Menyadari bahwa seseorang berdiri di depannya, wajahnya mendongak saat. Ia menatap Kamal yang berdiri dengan payung berwarna hitam di depannya. Laki- laki itu menatapnya dengan tatapan sulit dibaca.              “Kamal.” lirihnya. Ia bisa merasakan suaranya bergetar.             “Ayo pulang.” Sebelah tangan Kamal menarik lengan Lara hingga mereka berdua berdiri berhadapan di bawah payung yang dibawanya “sejak kapan lo jadi bodoh gini sih?” tanyanya. Gadis itu terdiam. Masih berusaha menahan dingin yang sudah menyelimuti tulang- tulangnya yang paling dalam.             “Gue nunggu kak Mahesa, Mal.” Lirihnya.             “Lo mau nunggu dia sampai kapan?” tanya Kamal dengan nada emosi. Ia menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Dalam pandangannya, gadis itu tampak mengenaskan dengan rambut dan pakaian yang basah. Ia tidak menyangka bahwa Lara akan benar- benar menunggu Mahesa sampai seperti ini. Mahesa memang menghubunginya karena saat menghubungi Lara, gadis itu tak mengangkat teleponnya. Kamal bilang bahwa ponsel gadis itu tertinggal di rumah, sesuai dengan informasi yang ia terima dari Dila. Mahesa akhirnya meminta tolong padanya untuk memberitahu Lara bahwa ia ada urusan mendadak sehingga tak bisa bertemu dengannya. Laki- laki itu juga memberitahu di mana ia berjanji pada gadis itu untuk menjemputnya.             “Gue yakin dia pasti datang.” Belum sempat mulutnya tertutup, tubuhnya sudah direngkuh oleh Kamal. Laki- laki itu memeluknya dengan posesif. Menyalurkan kehangatan yang bisa ia salurkan untuk gadis dalam pelukannya.             Air mata Lara menetes. Ia terisak dalam dekapan sahabatnya. Ia tahu, yang ia butuhkan saat ini hanyalah laki- laki yang kini memeluknya. Laki- laki yang sudah bertahun- tahun ada dalam hidupnya. Laki- laki yang selalu ada di saat- saat terburuknya. Ia mengeratkan pelukannya. Menyesap kenyamanan yang selalu dihadirkan laki- laki itu.   ***               Mahesa tidak tahu kalau rasanya akan secanggung ini. Sepeninggal Bara, Ciara tidak banyak berbicara. Gadis itu hanya mengajukan beberapa pertanyaan padanya, termasuk ke mana saja perginya ia selama ini.             “Paska kecelakaan, aku di bawa keluar negeri sama Papa untuk pemulihan. Setelah aku benar- benar sehat, aku memutuskan untuk nggak menemui kamu dulu.” Katanya. “Aku berpikir bahwa aku mau berubah. Aku nggak bisa nemuin kamu kalau aku masih sama kayak Mahesa yang dulu.” Lanjutnya.             “Setelah aku ujian, aku ambil jurusan fotografi di salah satu kampus di Yogyakarta. Saat semester enam, aku mulai beranikan diri buat Mr. R Phorography. Aku mulai dapet job kecil- kecil sampai akhirnya dipercaya oleh beberapa Majalah.” Terangnya.             “Aku udah janji sama diri sendiri kalau suatu saat aku akan ketemu sama kamu. Dengan sosok yang baru, bukan lagi anak urakan yang nggak punya masa depan. Tapi ternyata kamu malah udah nemuin aku duluan.” Laki- laki itu hanya tersenyum sumir sementara Ciara mengangguk pelan. Ia tidak tahu kalau Mahesa telah melalui pejalanan hidup yang sama sekali tidak ada dalam bayangannya.             “Maaf karena buat kamu nunggu terlalu lama.” Tangannya menggenggam tangan Ciara di atas meja. “maaf karena aku jadi pengecut yang cuma bisa memerhatikan kamu dari jauh.”             “Aku nggak tahu apakah aku berarti buat hidup kamu, tapi yang jelas, aku kangen sama kamu setiap hari. Perasaan aku masih sama saat terakhir kali kita ketemu.” Katanya sambil meremas tangan dalam genggamannya. Tak peduli bagaimana mereka bertemu, Mahesa merasa bahagia karena akhirnya bisa melihat wajah itu dari dekat, dan menggenggam tangannya saat ini. Hal yang dulu hanya ada dalam mimpi dan bayang- bayangnya.             Ciara tidak sadar bahwa sebulir air matanya jatuh. Apa ia harus bilang bahwa rindu juga menyiksanya selepas kepergian laki- laki itu. Apa ia harus bilang bahwa perasaannya telah berubah, rasa cinta perlahan menyusup ke hatinya meski tanpa kehadiran laki- laki itu. Ia tak pernah merasa menyukai laki- laki hingga akhirnya laki- laki itu pergi tanpa pamit. Rindu mengetuk pintu hatinya dan menyadarkannya bahwa ia memiliki perasaan yang sama dengan laki- laki itu.             Tapi, ia sadar bahwa semuanya terlambat. Ia sudah berkomitmen dengan laki- laki lain. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuka pintu hatinya pada Nugi.             “Apa aku masih punya kesempatan?” tanya Mahesa meski ia sadar, setelah dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Ciara menerima cinta laki- laki lain, kesempatannya sudah hilang dan waktunya sudah habis. Mungkin terlalu memalukan jika ia meminta Ciara untuk memulai semuanya dari awal. Makanya, ia hanya ingin menanyakan apakah dirinya masih mempunyai kesempatan. Apakah sudah terlambat jika sekarang ia ingin berjuang untuk mendapatkan cinta gadis itu.             Mahesa menahan napas saat melihat gadis itu menggeleng pelan.                    Ia tersenyum miris lalu melepas genggamannya.             “Aku udah punya pacar.” Lirih Ciara.             “Kamu ngehubungin aku jangan- jangan…” Mahesa tak sanggup melanjutkan kata- katanya. Ia tak sanggup membayangkan bahwa gadis itu memang akan prewedding dan memakai jasanya.             Ciara langsung menggeleng. Ia akhirnya menceritakan semuanya. Saat ia ke studio milik laki- laki itu secara tidak sengaja hingga akhirnya melihat potretnya dalan salah satu bingkai kanvas. Ia langsung berpikir bahwa Mrr adalah singkatan dari namanya. Demi memenuhi rasa penasarannya, ia menhubungi laki- laki itu melalui email dan bilang bahwa akan memakai jasanya. Mahesa menghela napas lega mendengar cerita gadis itu. Ia juga mengucapkan selamat pada gadis itu karena sudah menjadi sarjana kedokteran.            Ciara menatap lamat- lamat laki- laki itu dan menyadari tak banyak yang berubah dari laki- laki itu. Kulitnya hanya terlihat sedikit menggelap karena laki- laki itu bercerita bahwa ia baru saja ada pekerjaan di Kalimantan dan membuatnya harus berada di lokasi outdoor untuk waktu yang cukup lama. TBC LalunaKia        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN