CHAPTER SEMBILAN

2180 Kata
“Mau lihat sunset dulu nggak?” tanya Bara pada Ayra yang langsung menggeleng. “Takut kemalaman.” Kata gadis itu. Bara mengangguk. Mereka menutup perjalanan mereka di pantai itu di sebuah restoran yang ada di sana. Pantai semakin ramai, gerombolan orang mengabadikan banyak potret dengan background pantai yang indah. Matahari sudah tampak bersahabat. Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menyajikan dua buah piring berisi nasi dan ayam bakar juga dua buah es kelapa. Keduanya menikmati makan siang mereka. Mereka makan dalam diam hingga akhinya denting ponsel Ayra memecah keheningan. Gadis itu mengambil ponselnya dalam satu jangkauan lalu membuka kunci layar dan tersenyum melihat gambar yang dikirim Kamal padanya. Foto laki- laki bersama Lara yang tengah tersenyum dengan background langit memerah dan awan yang bergulung- gulung. “Kenapa?” tanya Bara penasaran. Ia melihat agdis di depannya tersenyum saat melihat ponselnya. “Ini, Kamal ngirim fotonya di puncak gunung.” Ayra memperlihatkan foto itu pada Bara. Alih- alih terpaku pada objek utama dan pemandangan yang menakjubkan, pandangan Bara justru menatap pada seorang laki- laki yang juga terpotret di foto itu. Kondisi puncak yang cukup ramai membuat Kamal dan Lara terpaksa berbagi tempat dengan yang lain dan di antara beberapa orang yang ikut terpotret di sana, salah satu laki- laki membuat d**a Bara tiba- tiba bergemuruh. Ia mengambil ponsel Ayra dan memperbesar gambar. Laki- laki dengan jaket berwarna biru itu jelas- jelas orang yang di kenalnya, orang yang dicarinya selama ini. Mahesa Raditya Raitama. “Ini Mahesa…” kata laki- laki itu dengan nada lirih. Mata Ayra membulat, ia mengambil ponselnya kembali dari tangan Bara dan melihat sosok yang dimaksud. Ia terdiam. Laki- laki itu benar. Seseorang yang berada tak jauh di belakang Lara adalah Mahesa. Ia menatap Bara dan melihat laki- laki itu menatapnya dingin. Bara mengambil ponsel dari tangan Ayra dan menekan panggilan pada kontak Kamal. Namun yang menjawab panggilan itu adalah operator wanita yang memberitahunya bahwa nomor itu sedang tidak aktif. Bara diam sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Ayra tahu mood laki- laki mendadak buruk saat mengetahui keberadaan Mahesa namun nomor Lara dan Kamal tak ada yang bisa dihubungi. Laki- laki itu juga bertanya padanya, apakah ia mengetahui keberadaan Mahesa. Laki- laki itu curiga bahwa ia juga mengetahui keberadaan laki- laki itu, seperti Kamal dan Lara. “Aku nggak tahu. Aku juga bisa jamin kalau sebelumnya Lara dan Kamal nggak tahu apa- apa tentang kak Mahesa.” Jawab Ayra saat laki- laki itu mendesaknya. “mungkin mereka memang baru ketemu tadi.” katanya lagi. Ayra tahu bahwa besok laki- laki juga akan mendesak Lara dan Kamal. Ia tahu bahwa laki- laki itu akan terus memaksa sampai mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat mobil Bara berhenti di depan rumah Ayra. Ia menoleh dan melihat gadis di sebelah sedang melepaskan safety beltnya. Ia tahu ia telah merusak semuanya. Ia tahu ia telah merusak hari ini yang awalnya berjalan dengan baik hanya karena mendapati foto Mahesa yang dikirim Kamal ke ponsel Ayra. Ia tadi juga terus menerus mendesak Ayra agar jujur padanya dan memberitahukan semua. Ia terus memberondong gadis itu pertanyaan, sekeras apapun gadis itu bilang bahwa ia tidak tahu apa- apa. “Maaf untuk hari ini, ya.” kata Bara. Ia menyesal telah merusak hari ini. Padahal hari ini gadis itu bersikap manis dan tak ketus seperti biasanya. Ia seharusnya tak menyia- nyiakan kesempatan itu untuk mengambil hati gadis itu. Ia seharusnya bisa menahan diri dan langsung percaya pada gadis itu. Tapi, yang ia lihat adalah Mahesa. Kakak tirinya. Laki- laki yang sudah ia cari selama bertahun- tahun. Laki- laki yang sangat ingin ia ketahui keberadaannya. Laki- laki yang kerap mengantui malam- malamnya. Ia memaklumi jika dirinya lepas kendali. Ayra tak menjawab, ia hanya berdehem pelan lalu keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bara menatap punggung Ayra yang menjauh hingga akhirnya menghilang di balik gerbang putih itu. Ayra langsung melemparkan tasnya ke kursi di meja belajarnya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena seharian berkeringat. Kurang dari setengah jam, ia keluar dan langsung memakai setelan piyamanya yang ia ambil dari dalam lemarinya. Ia mengambil ponselnya di atas meja dan mengempaskan dirinya di atsa ranjang empuknya. Ia menatap foto yang tadi dikirim oleh Kamal. Foto yang sempat membuat ia dan Bara bersitegang. Masih segar dalam ingatannya saat Bara bertanya padanya dengan nada mendesak. Laki- laki itu sempat tak percaya saat ia bilang bahwa ia tak tahu apa- apa dan bersumpah bahwa Lara dan Kamal juga seperti itu. Ia bilang bahwa mungkin itu juga kali pertama saudara dan sahabatnya bertemu dengan Mahesa. *** Setelah turun dari mobilnya dan menatap mobil ayahnya yang sudah terparkir di garasi di sebelahnya. Bara langsung masuk ke dalam rumah. Rumah itu sepi seperti biasa. Ia langsung naik ke lantai atas untuk menuju kamarnya. Saat sampai di depan pintu kamarnya, ia menatap ke pintu lain yang berada tak jauh dari kamarnya. Setelah berbagai pertimbangan, ia akhirnya memutuskan untuk mendekati pintu itu. Sebelah tangannya mengetuk pintu ruangan kerja ayahnya. Dan setelah mendengar suara mempersilakan dari dalam, ia menekan handle pintu dan membuka salah satu daun pintunya. Dilihatnya pria berkacamata di balik meja besar itu mendongak saat menatapnya. Bara berjalan pelan dan duduk di depan pria itu. Matanya melihat amplop- amplop dengan kop rumah sakit berukuran besar tersebar diatas meja. Ia tahu ini tak akan menjadi titik terang. Ia telah mencoba bertahun- tahun dan menyerah saat tahu bahwa ayahnya sama sekali tak akan memberitahu keberadaan Mahesa saat ia bertanya. Namun ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak punya pilihan lain selain mencoba lagi. “Pa, Mahesa di Jakarta?” tanyanya akhirnya. Pria di depannya tampak membenarkan letak kacamatanya lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Berapa kali papa bilang, Papa nggak bisa menjawab pertanyaan kamu yang itu.” jawabnya dengan nada tenang. Ia tahu bahwa ia melukai Bara tiap ia menjawab seperti itu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Ia sudah berjanji pada Mahesa untuk menjaga keberadaannya. Ia juga sering bilang pada Mahesa agar membiarkan Bara mengetahui keberadaannya. Ia juga bilang anak sulungnya itu bahwa Bara sudah berubah. Bara ingin memperbaiki semuanya dan meminta maaf. Namun Mahesa tak pernah mengijinkannya. Laki- laki itu selalu bilang bahwa ia akan menemui Bara sendiri jika waktunya sudah tepat. Ia tak tahu kapan waktu yang tepat bagi laki- laki itu. Bara mengusap rambutnya dengan frustrasi. Dia tahu dia akan gagal. Sudah tidak terhitung berapa kali ia mencoba membuka mulut papanya perihal Mahesa. Dan semuanya selalu menemui jalan buntu. Bara membuka ponselnya lalu memperlihatkan foto Mahesa. "Dia ketemu sama saudara kembar Ayra saat naik gunung." katanya. “kalau Mahesa minta Lara buat tutup mulut, Lara juga nggak akan kasih tahu di mana keberadaan Mahesa.” "Bara udah berubah, Pa. Papa lihat sendiri kan. Bara nanya bukan karena Bara mau cari ribut sama Mahesa. Bara cuma mau minta maaf buat semuanya." kata laki- laki itu dengan pandangan penyesalan. Pria di depannya tampak menghela napas lalu membuka kacamatanya. Dilihatnya baik- baik anak laki- laki di hadapannya. “Maaf, Bara. Papa nggak bisa." jawabnya dengan nada lirih dan penuh penyesalan. Ia sebenarnya tak ingin melihat raut seperti itu dalam wajah Bara. Raut frustrasi juga penuh penyesalan itu kerap menyakiti hatinya. Ia sudah sering bilang pada laki- laki itu untuk tak pernah bertanya tentang Mahesa dan fokus pada kehidupannya. Ia tidak ingin mengecewakan laki- laki itu saat tahu ia tak akan pernah bisa menjawab pertanyaannya. “Kenapa sih semua orang berkonspirasi menyembunyikan Mahesa?” katanya dengan nada sinis. “Kenapa nggak ada yang bisa kasih kesempatan Bara buat ubah semuanya?” lanjutnya, “kasih tahu di mana Mahesa, Pa. Biar kita bisa kumpul lagi. Kita nggak harus hidup terpisah. Mahesa bisa tinggal di sini lagi. Ini rumah dia, dia lebih berhak ada di sini daripada Bara.” “Kamu boleh minta apapun, nak. Selain informasi tentang kakak kamu.” *** Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Bara keluar dari kamarnya sudah dalam keadaan rapi. Ia memakai kaos hitam dengan celana pendek. Sebelah tangannya menenteng kunci mobilnya. Kaki bergerak menuruni tangga. Ia menemukan asisten rumah tangganya sedang mengelap meja ruang tamu saat melewatinya. “Papa udah berangkat, Bi?” tanyanya. “Sudah, Mas. Tadi katanya ada jadwal operasi pagi.” Jawab wanita itu. Bara mengangguk lalu kembali melangkah keluar dari rumah. Ia pergi ke garasi dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah menyalakan mesin, ia memutar kemudinya keluar dari garasi dan mengarahkannya ke kediaman Ciara. Saat ia turun setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah Ciara, ia melihat ada motor yang sudah sangat ia kenal terparkir di halaman rumah sederhana itu. Keberadaan Nugi jelas tak akan menghentikan langkahnya. Ia membuka gerbang dan masuk lalu melihat Ciara dan Nugi sedang duduk di beranda rumah. Di atas meja, ada laptop yang terbuka juga beberapa buku. “Ciara…” panggil Bara. Ia masih melangkah dan melihat kedua orang itu menatap ke arahnya. “Bara…” Ciara menatap Nugi yang langsung memasang wajah dingin, lalu ke arah Bara yang tersenyum lebar. “ngapain lo ke sini?” tanya Ciara saat Bara sudah berdiri di depannya. “Kangen sama lo, lah.” Bara mengulurkan tangannya untuk mengacak- acak rambut gadis itu. “eh, kangen sama tante Dewi, deng.” Bara meralat kata- katanya sambil tersenyum saat melihat wajah Nugi mulai menegang. Sepertinya jika Bara sedikit saja menyulut Nugi, laki- laki itu akan langsung terbakar. “tante Dewi ada, kan?” tanyanya lagi. “Ada, tuh, di dalam.” Meninggalkan Ciara dan Nugi, Bara masuk ke dalam rumah dan menemui Dewi yang sudah ia anggap sebagai ibu sendiri di ruang tamu. Wanita itu sedang menonton acara gosip di televisi. Setelah mencium punggung telapak tangan wanita itu, ia mengambil tempat di samping wanita itu dan mengambil toples berisi kerupuk bawang di atas meja. “Jangan nonton gosip apa, Tan.” Kata Bara. “Nggak ada acara yang bagus.” Kata Dewi. “Nonton biskop aja yuk, Tan.” Ajak Bara yang langsung disambut gelengan oleh wanita itu. Bara mengambil isi dalam toples dan memasukkannya ke dalam mulut. “Nggak, ah. Kamu kalau mau nonton aja Ciara aja sana.” kata Dewi. “Bara lagi malas ribut.” Kata laki- laki itu. “Kenapa ribut?” “Ya pasti Bara bakal ribut sama Nugi kalau ngajak Ciara nonton. Nugi nggak asik orangnya, cemburuan.” Bara bercerita. “Masa?” Dewi melihat laki- laki di sampingnya mengangguk pelan. Mulut laki- laki itu masih sibuk mengunyah kerupuk bawang. “Tadi pas ngelihat Bara datang aja lirikannya udah sinis gitu. Udah kayak ngelihat musuh bebuyutan.” Kata laki- laki itu, “lihat aja, sebentar lagi pasti dia ngelarang Ciara deket- deket sama Bara, ngelarang Bara ke sini. Ih, yakin deh.” “Ya nggak mungkin lah. Ciara pasti cerita kamu itu siapa dan udah sedekat apa sama kita.” “Kan Bara bilang, Nugi nggak asik, Tan.” *** Bara masih asik berbincang dengan Dewi saat Nugi masuk ke ruang tamu dan berpamitan pada Dewi. Tatapan Bara fokus pada layar datar di depannya. Keduanya sama- sama bersikap seperti orang yang tidak saling mengenal. Setelah mendengar suara motor laki- laki itu keluar dari halaman, Bara bangkit dari duduknya dan menghampiri Ciara yang masih duduk di kursi yang ada di beranda rumah. Ia mengambil tempat di depan gadis itu, di pisahkan oleh meja kotak berbahan kayu jati. “Pacaran mulu lo.” Kata Bara pada Ciara yang langsung menatapnya dengan tatapan bingung. “di kampus ketemu, di rumah ketemu, cepat bosan lo lama- lama.” Katanya lagi. “Lah, ya suka- suka gue, lah.” Kata Ciara sambil tekekeh ringan. Bara berdecak. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. Dengan sebelah tangannya, ia membuka menu galeri dan membuka foto yang sudah ia kirimkan dari ponsel Ayra ke ponselnya kemarin. Sebuah foto yang juga memotret keberadaan Mahesa. Ciara menatap benda pipih yang di ulurkan Bara. Sebelah tangannya terangkat untuk mengambil gawai milik laki- laki itu. Ia menatap foto yang terpampang di sana. Dahinya mengernyit, merasa bingung mengapa laki- laki itu menunjukkan foto itu. Hingga akhirnya ia menangkap satu sosok dalam foto itu. Ia memperbesar gambar hingga layar di penuhi oleh potret yang tak sengaja masu ke dalam frame. Ciara terdiam. Ia menatap laki- laki itu lekat- lekat. Bibirnya bergetar, jantungnya berdegup kencang, ia seperti baru saja melihat sebuah penampakan. Ia menengadahkan kepalanya dan menatap Bara yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Jadi, Lara tahu di mana Mahesa?” tanya gadis itu. Ia melihat laki- laki di depannya mengangkat bahu tak acuh. “Kalau Mahesa minta dia buat nggak ngomong apa- apa, gue yakin Lara nggak akan buka mulut kalau gue tanya.” “Ini pertama kalinya atau…” Ciara tak melanjutkan kata- katanya. Ia melihat laki- laki di depannya mengangkat bahu lagi. Ciara menarik napas lalu meletakkan benda pipih itu di atas meja. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia tahu bahwa bagi Bara, mungkin ini adalah sedikit titik terang. Namun bagi dirinya yang sudah sangat putus asa, ini tidak lagi berguna. Seperti kata Bara, jika Mahesa meminta Lara untuk tutup mulut, gadis itu tak akan pernah memberitahukan meski Bara mendesaknya sedemikian rupa. Sebagaimana kerasnya Bara, Lara pun juga begitu. TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN