Bagian Satu

1555 Kata
Seperti rutinitas, Laras menebus obat ayahnya di apotek setiap hari. "Laras?" Gadis itu menoleh keasal suara. Dari arah belakang muncul pria tampan, dengan kemeja mustard yang makin menonjolkan warna putih s**u kulit pria itu. Posturnya tinggi, dengan tubuh tegap. "Pak Adi! Pagi pak!" Sapanya santun, sambil menundukkan tubuh. Laras tidak menyangka bertemu dosennya, di apotek sepagi ini. "Siapa yang sakit?" Tanya dosen tampan bernama Adi itu. "Obat rutin aja Pak, buat Ayah Ibu." Laras menunjukkan dua lembar resep. "Oh!" Adi mengangguk paham. "Pak saya duluan, takut Ayah sama Ibu udah nunggu". Pamitnya sopan pada Adi. Adi mengangguk, ia juga segera fokus pada obat yang ingin ia beli. Laras menyempatkan diri, mampir ketukang soto di depan apotek. Ia memesan dua porsi soto daging untuk di bungkus. Semua gerak-gerik gadis itu, tidak luput dari mata Adi. Pria itu jadi ikut memesan soto. "Bang bayarnya sekalian aja!" ujarnya sambil mengangsurkan selembar uang. "Pak nggak usah loh!" Laras terlihat tidak enak. "Huss, rejeki jangan di tolak!" seloroh Adi. "Sarapan bareng yuk!" ajaknya pada Mahasiswinya yang paling cantik dan paling cerdas itu. "Terima kasih Pak! Bukannya mau nolak, tapi ayah sama ibu belum minum obat, takutnya telat." Laras menolak halus ajakan dosennya itu. ΩΩΩΩΩ "Ibu sama Ayah jangan lupa minum obatnya, udah Laras siapin. Makan siang dan malam ada di dapur tinggal di panasin nanti kalau mau makan!" pesan Laras untuk kedua orang tuanya. Ia terampil dan telaten mengurusi keduanya. "Ibu gak usah capek-capek gosok, laundry biar Mbak Siti yang urus ya!" ujarnya, sementara tangan dan tubuh Laras sibuk memandikan sang ayah dan mengganti pempers. Damar adik laki-lakinya, ikut membantu. Ibunya memang tidak lumpuh seperti sang ayah. Tapi batuknya sering keluar darah saat kecapekan. Dokter memvonis ibu menderita batuk kronis, karena ada radang di paru-parunya. Jadi ibu tidak boleh banyak bergerak. Sebisa mungkin Laras dan Damar, menyelesaikan pekerjaan rumah, menyiapkan keperluan ayah dan ibu, memastikan agar ibu hanya tinggal melayani keperluan kecil, seperti mengambilkan air putih saja. Laras juga sudah memastikan agar kamar mandi bersih dan kering, jadi saat ibunya ingin ke kamar mandi, itu tidak licin. "Ini uang buat bayar kontrakan, listrik, air sekalian buat bayar gas!" Laras menyerahkan beberapa lembar uang untuk ibunya. "Nanti kalau Bu Tuti datang kasih aja ya Bu, terus kalau ada keperluan mendadak pas Laras gak ada, ambil aja dari uang laundry!" imbuhnya sambil meracik teh hijau untuk kedua orang tuanya. Ia menyuguhkan teh hijau untuk ayah dan ibu, cukup sampai siang. "Laras kuliah sampai sore, habis itu sift malam, mungkin besok pagi baru pulang." ujarnya sambil meraih tasnya, lalu memakainya. Ia merapikan sedikit penampilannya. Laras memang di anugerahi tubuh yang seksi dan molek, wajahnya sangat cantik meskipun jarang perawatan mahal. Mungkin kebiasaannya, yoga dan mengunjungi gym saat senggang, efektif untuk menjaga penampilannya yang aduhai. "Damar! Ini uang buat bayar sekolah kamu,sisanya ambil buat uang saku!" Laras menyerahkan beberapa lembar uang pada adiknya. Damar hanya mengambil uang SPP saja. "Sisanya Mbak tabungin aja, Damar dapat upah kok dari bengkelnya Mas Iqbal." ujar Damar sambil menyiapkan motornya. Laras tidak sadar menitikkan air matanya, ia terharu melihat adiknya begitu pengertian. Terlebih Damar begitu penurut, dan tidak neko-neko. Ia lebih sering di rumah menemani ayah dan ibu. Ia menatap punggung Damar, yang sibuk menyiapkan keperluan sekolahnya, lalu menyantap sarapan. Pemuda yang duduk di bangku kelas dua SMP itu, menyantap makanan yang di masak sang kakak. Damar tidak pernah memilih-milih makanan. Tidak lupa ia membawa bekal makan siang dari rumah. "maafin mbak ya Damar!" Batin Laras lirih menyesali tubuhnya yang kotor. Ia amat sangat merasa bersalah pada keluarganya. Andai keluarganya tahu, ia mendapatkan uang dengan menjual tubuhnya! Apa Ayah, Ibu dan Damar mau memaafkan dirinya? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban terus bergemuruh di benak Laras. Hingga deheman sang ayah membuyarkan lamunannya yang mengembara. Laras mengusap air matanya. Lalu mendekati ayahnya. "Ayah perlu sesuatu?" Laras mendekat, mengamati wajah tirus ayahnya yang makin kurus karena sakit. Ayah terlihat berkaca-kaca. "Maafin ayah ya nduk! Kamu harus mati-matian bekerja untuk kebutuhan keluarga." kali ini suara ayah, terdengar menyesal dan bersalah. Ibu ikut menangis karena ketidak berdayaannya. "Ayah ini ngomong apa sih! Sudah jadi kewajiban Laras, ayah sama ibu jangan mikir macam-macam." Ia menyelimuti tubuh ringkih sang ayah hingga batas d**a. "Istirahat! Laras sama Damar berangkat dulu!" pamitnya lalu menyalami tangan ayah dan ibu bergantian, tidak lupa mencium punggung tangannya. Damar melakukan hal yang sama. Sambil mengenakan helm, "Ibu juga jangan lupa istirahat, gak usah mikir macem-macem ya!" pesannya lagi sambil duduk di jok penumpang. "Assalamualaikum!" seru Laras dan Damar, saat motor matic warna hitam itu meninggalkan rumah kontrakan sederhana itu. ΩΩΩΩΩ Sudah jadi rutinitas Damar, mengantar Laras hingga kampus. Karena motor mereka hanya satu. Laras membelinya dengan menyecil, dari hasil jerih payahnya, meskipun keliru. Ia membiarkan Damar mengendarainya, agar adiknya itu bisa tepat waktu ke sekolah. Setelah memastikan kakaknya turun dari motor dengan selamat. Lalu menyimpan helm yang tadi di pakai Laras kedalam jok. Ia mencium punggung tangan kakaknya terlebih dulu.Damar segera memacu motornya menuju sekolah, yang lumayan jauh jaraknya. Apalagi ia sudah kesiangan takut terjebak macet. Laras menatap punggung adiknya yang menjauh dan menghilang di tikungan. Ia hendak masuk, saat sebuah janggut nempel di pundaknya. "Makin kece aja tuh Damar, kenalin dong." celetuknya mengamati berbinar, arah Damar pergi. "Rea gak bakal ya gue kenalin Damar sama tante-tante, macem lu!" Laras memutar bola matanya, tak habis pikir. Ribuan cowok ngantri untuk jadi stok pacar sekali pakai sahabatnya itu. Tapi masih saja mau gangguin adiknya. "Ih pelit amat, gue gak bakal makan Damar." ketus Rea, yang hanya di tanggapi gelengan, dan senyum cengo dari Laras. Ia berjalan meninggalkan sahabat karibnya. Belum juga jauh ia melangkah masuk, pergelangan tangannya dicekal, lalu ditarik ketaman belakang parkiran kampus, yang lumayan sepi. "Ada job lagi?" Laras menatap manik matap hitam, yang terlihat menawan. "Kali ini orang penting, kamu harus berikan dia service terbaikmu." Laras bisa melihat cetakkan uang, di mata pria blasteran ini. Bobby adalah mucikari, sekaligus kakak almamaternya, yang membawanya ke dunia gelap ini. Beruntungnya Laras, ia tidak harus menyetor uangnya pada Bobby. Karena pria itu telah dapat banyak keuntungan dari Laras. Justru malah terkadang, Laras bisa mendapatkan bonus lebih dari Bobby. "Oke kirimkan aku alamatnya!" ujar Laras enteng, lalu meninggalkan Bobby. Karena tidak memperhatikan jalan, ia menabrak orang lain. Lengannya terasa panas karena kopi yang di bawa, orang itu tumpah di lengannya. Bobby yang melihat kejadian itu, langsung lari mendekat, menyambar lengan kanan Laras, yang mulai merah. "Hati-hati dong Pak Adi! Lengannya Laras jadi merah nih!" Bobby tampak sangat cemas, ia tidak ingin ada cacat di tubuh asetnya. "Bobby jangan berlebihan! Ambilkan aku lidah buaya itu!" Laras menunjukkan tanaman panjang, seperti lidah buaya, diseberang kolam, ditaman kampus. Bobby menurutinya, ia melakukan apapun yang di minta Laras. Dengan telaten ia mengoleskan getah lidah buaya kebagian yang tersiram air panas. Setelah ditunggu beberapa menit, dan di bilas air, lengan Laras tidak jadi melepuh, justru kembali putih seperti semula. Bobby yang melihatnya tersenyum cerah. Tapi matanya kembali tajam, menatap Adi Pamungkas, yang juga dosennya itu. "Untung tangan Laras baik-baik saja, kalau tadi sampai melepuh Bapak harus tanggung jawab!" mata tajam Bobby, menunjukkan permusuhan pada dosen tampan itu. Lalu pergi menjauh dari koridor kampus, di dekat taman. ΩΩΩΩΩ "Lengan kamu beneran gak papa?" suara bariton Adi, memastikan. Laras menunjukkan lengannya. "Nanti aku di tuntut loh sama pacar kamu!" imbuh Adi, menunjuk angin kearah tadi Bobby pergi. "Bobby maksud Pak Adi?" Laras tertawa terbahak-bahak. Adi tampak heran, perasaan tidak ada yang lucu. "Kita gak pacaran pak, Bobby aja yang lebay Pak." Laras menegaskan. Adi tidak menemukan kebohongan di mata Mahasiswi cantik ini. Ada perasaan lega yang aneh di hatinya, mendengar Laras masih single. "Sekali lagi maafkan Bobby ya Pak! Dan terima kasih untuk sotonya tadi pagi!" Laras mengambil arah kanan saat sampai di koridor bercabang. Sementara Adi harus kearah kiri. Pria tampan itu hanya tersenyum, menanggapinya. Entah kenapa ia masih ingin lebih lama berjalan, beriringan dengan Laras. Ia mengutuk koridor kampus ini yang kurang panjang. ΩΩΩΩΩ Kantin di buat gempar. Para gadis pemuja Bobby, dan pemuja Dosen Adi, sedang bergosip. Mereka mengeluh iri, pada Laras, yang dapat perhatian spesial dari dua pria paling tampan di kampus ini. Bahkan ada gadis yang bilang, rela menjalani sakitnya operasi plastik, hanya untuk mencari perhatian Bobby. Ada pula yang rela diet ekstrim, hingga jatuh sakit hanya untuk terlihat lebih seksi dimata Adi. Sedangkan Laras yang acuh dengan penampilan, justru dengan mudah mencuri perhatian Adi dan Bobby. Untuk pertama kalinya, kedua kubu yang saling bertentangan itu, bekerja sama untuk mencari kelemahan Laras. Tidak banyak dari mereka yang mencoba menjilat Laras, mengajaknya berteman. Hanya untuk bisa, sedikit di perhatikan pria idaman kampus, seperti Adi Pamungkas, dan Bobby Chandra. Laras menggelengkan kepalanya geli, ia terus fokus menyantap sate dan bakso di depannya. Tidak perduli dengan orang lain. Sementara Rea sang sahabat, sepertinya tengah sembunyi, dan menikmati cumbuan dar berondongnya, disaat dirinya harus menerima cobaan ini, "sungguh sahabat bangke lu!" umpat Laras dalam hati. ΩΩΩΩΩ Laras berdiri didepan hotel bintang lima yang megah. Seorang tamu Agung, telah menunggunya, di dalam sana, di salah satu kamar terbaik hotel ini. Laras melangkah percaya diri. Menuju salah satu kamar yang cukup megah. CEKLEK Gadis cantik itu membuka pintu. Matanya hampir melompat dari kelopaknya. "PAK ADI!" Laras membekap mulutnya. Begitu pula Adi yang tampak terkejut. Bersambung Mohon dukungannya untuk cerita ini. Salam santun dari saya, ❤️❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN