Sebuah Pertanda
Udara malam yang membekukan tulang seketika berganti dengan hembusan lembut yang hangat. Sebuah pertanda, nenekku pernah berkata seperti itu dalam salah satu dongengnya sebelum tidur. Aku mulai bergidig.
Kata nenekku, "Jangan berkedip, perhatikan setiap bayangan, bisa jadi dia bersembunyi di antara mereka dan padamkan semua pelita agar ia kehilangan kekuatan terkutuknya."
Mataku mulai berat seiring udara koridor yang mulai hangat. Kirolos, prajurit senior yang ditugaskan menjaga pintu ruangan pemandian air panas bersamaku tertidur dengan gaya khas kami yang terlatih berdiri tegak tanpa goyah.
Kelopak mataku yang tak berkedip mulai perih memperhatikan bayanganku dan milik temanku. Tak ada yang aneh, mereka patuh seperti biasa, mengikuti apapun gerakan kami.
Cengkramanku pada gagang pedang bergetar, tapi cukup siap untuk mematikan obor di dinding jika dia benar-benar muncul. Dari ujung koridor tiga pelayan membawa baki-baki berisi bunga dan parfum.
Posisiku kembali siap dan wajahku lurus ke depan minim ekspresi. Dari sudut mataku, satu pelayan senior yang sangat bulat terlihat angkuh dengan dagunya yang penuh lemak mendongak.
Di belakangnya dua pelayan kurus mengikuti dengan baki di tangannya. Mereka memandangku dengan pandangan mencibir khas para wanita. Dan bayangan mereka, membuatku sulit bernafas.
Bayangan pelayan yang seharusnya sebulat tubuhnya terlihat gagah dengan bahunya yang bidang. Ya, ampun itu dia. Tubuhku menjadi kaku, suaraku tak bisa lolos dari mulutku.
Pintu sudah menutup, aku menggedornya dengan gemetaran. "Bu-bu … bu-bu-ka!"
Pintu terbuka dan pelayan bulat itu menatapku garang, wajahnya sama mengerikannya dan aku semakin sulit bicara. Jariku menunjuk ke arah dalam.
"Apa?" tanyanya, kemudian menambahkan dengan cepat dialek kampung yang sangat tidak sopan. "Cepat bicara atau kucincang lidahmu!"
"Ba-ba-ba-ba …."
"Bayangan …!" jerit sang Permaisuri dari dalam ruangan. Disusul jeritan-jeritan lain.
Pelayan itu langsung berlari dengan tubuhnya yang berat, mematikan lilin-lilin. Kirolos terbangun dan dengan sigap memadamkan semua obor di dinding koridor.
Aku terpukau dengan keahliannya berpindah dari alam bawah sadar menuju alam sadar. Itulah kenapa aku di sini, prajurit bawahan yang harus belajar dengannya. Aku membeku di ambang pintu, benar-benar tak bisa melihat apapun, kelam.
Kurasa dia sudah pergi, suara sumpah serapah dengan kesal mulai terdengar, derap kaki berlarian ke arah kami bersama cahaya obor. Aku menyingkir memberi jalan rombongan prajurit lengkap dengan kepala bagian keamanan, Kirolos membuntut.
Samar-samar terdengar namaku disebut, sebuah pertanda buruk. Nama prajurit rendahan seperti kami tidak akan pernah disebut sampai sebuah petaka sudah pasti akan menimpa kami.
Tak lama dua orang prajurit keluar, tanpa basa-basi mencengkeram lenganku dan menyeretku ke penjara bawah tanah. Aku dimasukkan dalam sebuah peti yang hanya memiliki lubang sebesar koin.
Tubuhku meringkuk dalam peti yang panjangnya hanya setengah dari tinggi badanku. Aroma air seni dan kotoran membuatku hampir muntah. Aku sudah pernah mendengar hukuman seperti ini, dan baru percaya kekejaman seperti ini sungguh ada.
Entah sudah berapa lama, yang pasti aku sudah tidak bisa merasakan kakiku. Beberapa saat aku terlelap dan saat berikutnya aku meratapi keputusan bodohku menjadi prajurit.
Aku tidak memiliki kelebihan apapun selain tubuhku yang bongsor bisa diterima menjadi prajurit dengan upah sedikit lebih besar daripada penebang pohon di hutan.
Andai saja aku bisa lebih bersabar menjadi penebang pohon, nasibku tidak akan berakhir seperti ini. Sudah syukur mereka belum memisahkan kepala dari badanku. Bagaimana nasib adik perempuanku jika itu terjadi.
Suara berisik gembok yang dibuka dengan tidak sabar membuat nafasku tertahan. Cahaya masih minim saat pintu peti dibuka. Aku menarik nafas dalam-dalam membersihkan bau busuk dari rongga dadaku.
Dia membungkuk di atasku, lalu mundur sambil mengernyitkan hidungnya. "Kau tahu apa selanjutnya?" tanya penjaga tahanan itu.
"Te-te-ten-tu, a-ku akan dihukum," jawabku berusaha tabah dengan hukuman apapun itu.
"Bukan itu," katanya. "Berikutnya. Sebelum yang itu." Ada ketegangan dari suaranya sekarang.
"Aa-ku tahu maksudmu," kataku, mencoba mengulur waktu untuk duduk dan kakiku masih kaku, hanya ada sedikit, sedikit sekali tenaga untuk berdiri. "K-k-kau tak perlu membantuku, aku masih cukup kuat untuk membersihkan diri."
Aku merangkak keluar dari peti, tubuhku berguling ke dinding penjara yang dingin dan susah payah berjalan merambat keluar sel.
Aku melucuti atribut prajurit yang kupakai dan menggantinya dengan jubah bertudung sewarna dengan dinding batu penjara, dari bahan kain paling buruk yang pernah kupakai.
Rasa gatal menjari kulitku yang bergesekan. Setelah puluhan anak tangga melingkar, aku berada di ruang terbuka tempat para penguasa menjatuhkan hukuman sesuka hati mereka.
Begitu tiba di sana dua orang pengawal tahanan memukuliku, aku meringkuk seperti bola. Siksaan itu berhenti saat suara gaun berat menyapu lantai batu dan kedua lenganku diseret, bersungkur di depan kaki sang Permaisuri.
"Jadi … kau sempat melihatnya?" teriaknya melengking, menyakiti telingaku. Suaranya saja sudah cukup membuat seekor monster berhenti mendekat.
Jika bukan karena pakaian bangsawannya, sudah pasti aku mengiranya seorang penyihir. Dia tidak memilik pesona yang biasanya dimiliki seorang istri raja; suara yang lembut penuh keindahan.
Aku mengangguk, pelan. "Yy-ya … Ya-yang--".
"Cukup! Aku tidak perlu membuang waktuku untuk menunggumu berbicara," teriaknya lagi dan berhasil membuatku telingaku sakit lagi.
"Setelah sekian lama dia mengacau di belahan Timur, sekarang makhluk itu mengusikku. Tak ada yang tahu persis wujudnya seperti apa kecuali kau … dan kemudian aku." Kalimat terakhirnya terucap pelan, enggan menyandingkan kata 'kau dan aku' karena aku dan dia tidak akan pernah sederajat.
Suara tangis seorang anak perempuan yang sangat kukenal mendekatiku, ia didorong dengan kasar menimpa badanku.
"Kaka!" seru Nazel seraya memelukku.
"Tidak ada yang memberimu izin bersuara di hadapanku gadis t***l!" Permaisuri Rachel menghentakkan kakinya. Adikku seketika bersujud meminta ampun.
Permaisuri membiarkan punggunggungnya sedikit rileks bersandar di singgasananya dan menyesap anggur, tidak mencerminkan wanita beradab yang biasa makan dan minum dengan punggung tegak. Kengerian di wajahnya, mengalahkan kecantikannya.
"Gadis itu." Telunjukknya yang runcing menunjuk adikku. "Akan menjadi mainan untuk monsterku jika kau tak kembali dalam kurun waktu satu tahun dengan kabar baik telah menjinakkan bayangan itu dan membawanya ke hadapanku. Jika tidak, monsterku akan sangat senang dengan gadis muda yang cantik seperti dia. Dia akan menjadi pelayanku sambil menunggumu kembali, atau jika tak pernah kembali kau tahu kan di mana dia akan berada. Prajurit, lemparkan dia keluar gerbang tugaskan bersamanya satu peleton prajurit. Sekarang!"
Wanita itu pergi dan menghilang di belokan lorong. Adikku menghambur ke arahku, memelukku erat lalu mengusap darah di pelipis dan hidungku. "Gazel, bawa aku bersamamu." Nazel mulai terisak lagi.
Aku mulai berkata menggunakan bahasa kuno yang sudah tidak dimengerti penduduk di kerajaan ini, nenekku yang mengajarkan kami.
"Na-nazel, kau masih ingat kan di mana letak peninggalan keluarga kita yang kusembunyikan di makam nenek. Jika hal buruk terjadi kau harus pergi dari sini dan jangan pernah lupa membawanya bersamamu. Dan kau gadis pintar, latih terus kemampuanmu menyelamatkan diri jika mereka akan berbuat jahat. Simpan terus racun dan pasir bercabai itu, gunakan jika kau terpojok." Aku menyelesaikan kata-kataku dalam satu tarikan nafas dan prajurit memisahkan kami.
Nazel selalu membawa racun dan bubuk cabai yang kubuat untuk menjaga dirinya, dia sangat cantik. Aku khawatir pria berengsek akan mengganggunya.
"Gazel … Aku tahu kau akan berhasil, aku akan terus menunggumu. Aku tidak akan pergi tanpamu. Gazel, aku menyayangimu."
Aku diseret sampai di depan gerbang, sepeleton prajurit sudah bersiap. Hatiku sakit masih terbayang wajah adikku yang tidak bersalah menjadi korban kebodohanku.