Nyanyian Kuno

1022 Kata
Kami menuju hutan, aku diberi kuda yang paling jelek di antara kuda-kuda yang digunakan sepeleton prajurit itu. Sangat lambat, beberapa kali aku hampir tertinggal di belakang.  Mereka bilang, aku sengaja digiring ke bibir hutan dan menjauh dari istana. Seperti yang sudah-sudah, biasanya bayangan Raja Andrew akan menghabisi siapapun yang telah mengenali bayangannya.  Hembusan angin di antara pohon seperti bisikan mengerikan. Gemerisik gesekan cabang-cabang yang tinggi sudah cukup membuatku gelisah.  Saat kegelapan mulai menyelimuti langit, kami berhenti di bibir hutan, menambatkan kuda-kuda kami dan memakan perbekalan; hanya air dan roti yang sekeras kayu. Api unggun dinyalakan, bayangan kami saling tumpang tindih. Aku ditugaskan berdiri di tengah dengan sebuah pedang dan memaki bayangan itu. Semua prajurit bersiaga dengan senjata yang sudah dimantrai. Beberapa pemanah ditempatkan di atas pohon, sisanya membentuk titik seperti rasi bintang kalajengking. Pimpinan dari rombongan ini adalah seorang penyihir.  Segala sumpah serapah yang kuketahui kuteriakkan dengan tergagap. Bahkan tak sengaja ada satu dua makian dalam bahasa kuno milik keluargaku. Aku terkejut saat suara asing yang berat iku bergabung dengan suaraku memaki dalam bahasa kuno.  Aku merasakan getaran kekaguman saat mendengarkan bagaimana suara itu sangat fasih, sefasih nenekku. Selain bau kayu pinus yang dibakar, ada aroma baru; bau darah yang berkarat semakin pekat. Dan kemudian aku menjadi sendirian. Tempat terbuka ini menjadi penuh sesak dengan prajurit yang bergelimpangan. Senyap, bahkan telingaku tak menangkap satu pun lenguhan kesakitan.  Lututku hampir tidak bisa menyangga tubuhku. Keringat dingin bercucuran. Kemudian suara pria itu melantunkan nyanyian kuno yang sering dinyanyikan nenekku, diiringi nyanyian serangga malam. "Saat angkara murka menghanguskan apapun yang dilaluinya, hanya hati yang bersih mampu memadamkannya … api menjadi air, dan segala marabahaya sirna …." Kemudian suara itu tertawa lumayan lama. Tak ada lelucon yang bisa ditertawakan kecuali diriku sendiri.  Bayangan itu muncul mendekati bayanganku, tingginya hampir sama dengan tinggi bayanganku, hanya lebih tinggi milikku satu jengkal. "Kau tidak bertanya kenapa aku bisa berbicara bahasa kuno itu?" Bayangan itu terkekeh. Aku mengangguk cepat, suaraku tertahan di tenggorokan. Ia semakin mendekat, bersatu dengan bayanganku. Punggungku yang menghadap api unggun membuat bayanganku tepat di depanku.  "Nenek moyangmu dulu tinggal di gunung-gunung batu di wilayah kekuasaan ayahku. Postur kalian yang tinggi dan kuat menjadi ciri khas, aku bahkan mengagumi bagaimana kalian membangun istana kami yang megah dari batu-batu gunung." Bayangan itu menjelaskan. Aku juga pernah mendengar nenekku bercerita tentang itu, tapi tidak pernah menyebutkan di mana kerajaan itu berada, agar kami tak kembali ke kampung halaman kami. Di sana sudah tidak aman. Bayangan itu terdiam, kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Memperhatikan para prajurit yang sudah tidak bernafas.  "Kau tidak bertanya kenapa aku belum menghabisimu?" Bayangan itu bertanya lagi dengan nadanya yang arogan.  "Aa-aa … ku-ku-ku … Aarrrggghhhhh," teriakku saat tangan bayangan itu memasuki mulutku yang tergagap.  Rasa sakitnya menjalar sampai ke rongga telingaku. Tenggorokanku rasanya hampir pecah dan setelah beberapa saat, dia melepaskanku. Aku terduduk di tanah dengan nafas tersengal. Ia melipat tangannya di d**a, "Aku hampir tidak pernah berbuat baik kepada orang lain, tapi kali ini aku harus melakukannya. Aku paling benci menunggu."  Aku mencoba merangkak mundur, tapi bayangan itu menempel denganku, "Aku tahu tentang saudara perempuanmu yang akan menjadi persembahan monster milik Rachel tahun depan. Aku akan menolong adikmu jika kau bisa menemukan di mana tubuhku." "Apa?" Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Sudah bagus dia belum menghabisiku tapi sekarang dia malah menawarkan sebuah pertolongan.  Tunggu sebentar, apa aku tadi berbicara lancar. Apa telingaku tidak salah dengar. Aku berdehem, mencoba berkata, "Suaraku …." Aku tidak tergagap.  "Kau manusia yang tidak tahu berterima kasih, kau belum sadar aku yang telah membenarkan mulutmu itu." Suaranya terdengar kesal. "Tentu … tentu … terimakasih Tuan bayangan. Katakan bagaimana aku bisa menemukan tubuhmu?" "Yang kudengar mereka menyembunyikannya di sebuah tempat yang sangat gelap. Aku bahkan tidak bisa mendekatinya."  "Bagaimana dengan pengikutmu? Aku mendengar kau memiliki pengikut setia yang tidak sedikit." "Mereka semua tak ada yang pernah sampai ke sana, hati mereka sama busuknya denganku. Raja-raja sialan itu sudah memprediksinya. Dan memantrai tempat-tempat itu hingga membuat mereka yang berhati jahat tidak akan sampai kesana."  "Jadi karena itu kau membiarkanku hidup?" tanyaku.  "Aku tidak akan menyingkirkan yang masih berguna."  Aku bangkit perlahan, menekan bengkak yang ada di wajahku yang mulai berdenyut-denyut. "Baiklah, tidak semestinya kita membuang waktu di sini. Beri aku petunjuk ke arah mana harus menemukan tubuhmu itu."  Bayangan itu bergerak pelan, menunjuk ke arah barat, "Barat, teruslah berjalan sampai kau melihat matahari terbenam di atas lumpur hitam." "Hah, sepertinya kau suka sekali dengan teka-teki." Aku mendengus.  "Seperti itulah petunjuknya. Dan aku sudah lama tidak ke tempat itu, hanya itu petunjuk yang pasti. Kau tahu, terkadang pohon-pohon di sana tumbuh begitu cepat dan berpindah-pindah. Sampai kau lupa di mana jalan yang benar."  Aku menghela nafas, "Baiklah, bahkan aku merasa sudah tersesat sekarang dengan petunjuk yang aneh itu. Sulit dipercaya jika tempat seperti itu benar ada. Lalu kenapa kau ada di sini?"  "Aku sedang meneror wanita jalang itu. Aku berencana membuatnya gila, itu saja." Ia mengangkat bahunya.  "Kenapa?" tanyaku heran. "Dia dan suaminya terlibat dalam usaha memenjarakan tubuhku. Sayangnya mereka cukup cerdik dengan segala macam penangkal bayangan. Saat tubuhku sudah kembali, aku akan menuntaskan urusanku dengan mereka." Aku mengambil benda-benda berharga dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan, mengumpulkannya dalam tas kulit yang kuikat di punggung. Dan senjata dengan kualitas terbaik; pedang, belati, busur dan anak panahnya. "Lalu bagaimana kau bisa mengalahkan penyihir ini?" Aku menunjuk penyihir yang memimpin rombongan kami.  "Mudah saja, aku hanya sedang beruntung. Mereka berangkat dengan sangat tergesa, ada yang terlupakan dengan bahan-bahan sihirnya. Dia terlalu arogan dan percaya diri, tapi kurang teliti." Aku memilih kuda sang Penyihir sebagai tungganganku. Kuda itu terlihat sangat kekar dan hitam legam, kudengar kuda-kuda itu sangat cepat.  "Seleramu tidak buruk, " komentarnya saat aku mulai menunggangi kuda itu. "Kuharap kau tahu cara menungganginya." "Whoooaaaa … !"  Kuda itu melesat sangat cepat, untung kedua tanganku masih sempat memeluk lehernya. Sial, bagaimana menghentikannya.  Bayangan itu terkekeh, suaranya hampir tak terdengar dikalahkan angin yang menderu. Kuda itu baru berhenti setelah sebuah sungai menghadang.  Sepertinya dia belum akan berhenti, aku cepat-cepat membenarkan posisiku yang hampir melorot, mengapitkan kedua kakiku dengan erat. Kuda hitam itu mundur untuk melompati sungai dan kami terbang di atas arus yang sangat deras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN