Lumpur Hitam

1032 Kata
Kaki belakangnya hampir tergelincir di tepi sungai. Tapi kaki depannya mampu menguasai keadaan meski batu-batu berlumut itu hampir membuatnya terpeleset.  Dalam kegelapan, sepatu kudanya memercikkan api bergesekan dengan jalanan berbatu, kurasa sebentar lagi kami akan mendekati pemukiman karena biasanya jalan berbatu yang tersusun rapi merupakan pertanda adanya peradaban.  "Berhenti!" Bayangan Raja Andrew menepuk leher kuda dan seketika kuda itu berhenti. Kuda itu melambat di dekat sebuah kebun anggur. Mulutnya mengeluarkan suara-suara aneh seperti desisan ular tapi nadanya terdengar senang dan dengan lahap memakan anggur. Aku masih lemas dan mengatur nafas, kuda itu benar-benar telah membuatku gelagapan. Sedangkan bayangan itu sedang sibuk sendiri mengamati keadaan sekitar. "Matahari terbit tidak akan lama lagi. Kau bisa tidur sementara waktu, kuda ini juga butuh istirahat. Tunggulah di sini sampai aku kembali. Aku akan memeriksa sesuatu." Ucapannya terdengar lebih seperti perintah yang tak boleh dibantah. "Apa yang akan kau periksa?" "Kau tidak perlu banyak bertanya," bentaknya. *** Penantian yang cukup lama membuatku muak. Aku tidak bisa tidur dengan cahaya matahari yang begitu banyak. Aku mengendus bau tanah yang sulit dipahami, terbawa angin dari arah barat. Kurasa aku sudah keluar dari perbatasan Negeri Syamaal.  Kuda hitam itu kubiarkan tertambat di pohon dekat kebun anggur. Aku berjalan mengitari pagar kebun sampai suara seorang wanita berteriak menghentikan langkahku, "Penyihir, ada penyihir …!" Suaranya tegang sambil memegang pagar di sisinya.  "Sialan, aku?" Gigiku terkatup dan menyipit memandang lurus ke arah wanita itu.  Aku memiringkan kepala, menengok ke arah belakang untuk melihat seorang lelaki berperut gendut berlari dari arah belakangku. Kakinya tersangkut sesuatu, tersungkur dan sulit untuk bangkit.  Setelah beberapa saat aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah wanita yang ketakutan itu. Di belakangnya berlarian selusin laki-laki dengan perlengkapan berkebun yang tajam; garu, parang, tongkat dan semacamnya.  Aku merasa bingung. Sorot kebencian pada mata mereka membuatku bertanya-tanya apakah mereka ingin menangkapku. Benar-benar konyol jika harus bertarung tanpa mengerti apa yang menyulut pergulatan ini.  "Tunggu, aku bukan pe--" Seorang pria yang berlari paling depan menarik garunya ke belakang dan menghujamkan ke arahku. Aku menghindar ke samping, kutarik lengannya hingga ia tersungkur dan garunya menancap kuat di tanah.  Pria lainnya menyalak, memakiku dan melemparkan sejenis tombak untuk mengusir serigala. Lemparannya melebar melewati atas kepalaku tanpa membahayakan siapapun.  Dengan dua langkah panjang dan tangan membentang, ia hampir menyergapku jika aku kalah cepat menarik tangan kurusnya dan melemparkannya ke pagar. Pagar hancur menggelegar, pria itu merunduk dan meringis.  Kali ini aku kehilangan keinginan untuk bersimpati dengan mereka. Aku memaksa diriku untuk rileks, mencengkram busur dan anak panah. Aku segera menyipitkan mata dan membidik yang memegang belati dengan hati-hati. "Buang senjata kalian, dengarkan penjelasanku!"  Mereka mengikuti perintahku, melemparkan alat-alat berkebun mereka ke tanah, "Aku bukan penyihir. Itu kuda yang kuambil dari seorang penyihir yang telah dikalahkan." Salah seorang yang paling tua maju, "Kau bisa mengalahkan seorang penyihir?"  "Uumm … bukan aku, tapi temanku." Aku menunjuk ke arah belakang. "Dia sedang ada urusan."  "Kalau begitu apa urusanmu ke desa ini?" tanyanya lagi.  "Kami sedang menuju sebuah tempat. Aku tidak tahu persis di mana letaknya, hanya sebuah petunjuk, matahari tenggelam di lumpur hitam. Apakah kalian tahu?"  Nada-nada terkesiap membuatku menjadi tegang, kurasa itu bukan tempat yang bagus. "Tak ada penduduk desa yang berani mendekati tempat itu. Salah satu di antara kami pernah melihat makhluk mengerikan dari lumpur hitam itu dan dia menjadi gila." "Di mana tempat itu?" tanyaku ragu-ragu tak bisa membayangkan makhluk seperti apa yang akan kutemui di sana nanti.  "Kau hanya perlu terus berjalan ke arah barat, ikuti aliran sungai di sebelah sana." Jarinya menunjuk ke arah belakangku.  Ia melanjutkan, "sungai itu akan membawamu ke sebuah muara yang penuh lumpur yang menghitam. Di sana mengerikan, dulunya ada sebuah jembatan yang menghubungkan tanah di sana dengan tanah di seberangnya, tapi banyak hal buruk terjadi di tempat itu dan kami tidak pernah mendekatinya lagi."  "Baiklah, petunjuk kalian cukup jelas. Aku harus berterimakasih untuk itu dan meminta maaf atas kekasaranku ini." Aku menurunkan busurku dan menggantungnya di punggung.  "Kami akan sangat berterimakasih jika Anda bisa singgah sebentar di desa kami, mungkin saja penyihir itu akan takut pada Anda dan tidak akan pernah mengusik desa kami lagi."  "Penyihir? Seperti apa dia?" Jadi mereka menyerangku karena penyihir itu.  "Dia akan berkeliaran di desa kami pada malam-malam tertentu, biasanya saat bulan penuh. Menculik warga desa yang masih muda-muda tapi bukan anak-anak, kisaran usia enam belas sampai dua puluh lima tahunan. Kami hampir kehabisan anak-anak muda. Seluruh area sudah kami sisir, tapi kami belum bisa mendapati di mana sarangnya." Air mata menggenang di matanya yang keriput.  "Baiklah, mungkin saja temanku bisa mengatasinya." Warga desa menyediakan sebuah kamar yang cukup nyaman dan makanan enak. Aku bisa beristirahat sampai malam tiba.  *** Aku terbangun dengan suara bayangan Raja Andrew yang terus-terusan menggerutu.  "Tutup mulutmu, aku butuh istirahat," bentakku.  "Bocah sialan, kau berani membentakku?" teriaknya. "Belum ada yang berani membentakku." "Kalau begitu bagus, kau harus membiasakan diri," jawabku. "Tidak ada tuan atau anak buah. Kita sederajat, kau membutuhkanku dan aku membutuhkanmu."  "Akan kulenyapkan kau setelah kudapatkan tubuhku." Nada bicaranya menjadi datar. "Tentu saja, setelah kesepakatan kita berakhir bukan." Aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. "Tapi kau harus membantu penduduk desa, seorang penyihir menculik anak-anak muda." "Hah, yang benar saja, apa untungnya bagiku?"  "Mereka akan membantu kita menemukan tempat yang kau maksud." Aku merendahkan suaraku. "Tidak perlu, aku sudah menemukannya." Nada bicaranya yang arogan kembali lagi.  "Aku jadi meragukan kehebatanmu. Pantas saja kau tidak bisa menolong dirimu sendiri." Aku berusaha memprovokasinya.  "Itu beda kasus, kau jangan meremehkanku." Nada suaranya terdengar kesal. "Aku akan menunjukkan kepadamu bagaimana membereskan penyihir itu nanti malam, kuharap kau tak berkedip saat menyaksikanku menang."  Malam harinya aku berpatroli bersama bayangan Raja Andrew yang sudah menyatu dengan bayanganku lagi. Aku harus berulang kali mengingatkannya agar bergerak seirama dengan gerakanku, tapi dia terus saja bergerak semaunya sendiri. Tidak mungkin aku menjelaskan pada penduduk desa bahwa aku bersama bayangan Raja Andrew yang sangat terkenal kejahatannya dan paling di kutuk di tanah manapun yang pernah disinggahinya. Tempat ini juga tak luput. Desa ini dulunya penghasil minuman anggur terbaik. Tapi hanya karena mereka tidak mengirimkan anggur tepat waktu karena musim dingin tahun itu lebih panjang, Raja Andrew membakar habis kebun-kebun mereka.  Suara ringkikan kuda penyihir semakin mendekat. Sekelebat bayangan hitam melintas. Bayangan Raja Andrew melesat, aku tertinggal. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN