Dari arah Gunung Kidung, angin kering berhembus selirih nyanyian pria kesepian yang merana. Udara itu mulai mengepung lembah nan subur yang diagungkan; Kedaton Waisaloka yang loh Jinawi.
Ladang-ladang menguning dan semua sumber air minum hampir mengering. Bibir-bibir rakyat jelata yang berkerak sekering tanah yang mereka pijak mulai menyampaikan kabar burung yang semakin membuat ketar-ketir siapapun yang mendengarnya di pasar.
Seorang pedagang ikan kering yang tubuhnya hampir sama keringnya dengan dagangan yang ia jual bertanya kepada seorang dayang istana yang sedang berbelanja rempah.
"Mbak Yu, apakah benar desas-desus yang membuat geger pasar pagi ini bahwa Pawang Kerajaan sedang sakit keras?"
Perempuan gemuk berkemban hijau dengan corak daun emas khas kerajaan Waisaloka itu menarik lengan kurus Wagiman, "Ssssttt!" Jari telunjuknya menekan bibir tebalnya yang bergincu merah. Legimah mengangguk cepat. "Jangan keras-keras kalau ngomong, Kang! Kalau ada prajurit yang mendengar, kita bisa kena hukuman dera!"
Tiga kuda kerajaan yang berlari memasuki pasar mengepulkan debu, membelah keramaian dan membungkam setiap mulut yang berbicara. Kaki-kaki kuda melambat di tengah pasar dan berhenti tepat di sebuah batu besar yang dipahat
Ketika rerumputan mulai menguning karena hujan tidak turun selama dua minggu berturut-turut, sang Pawang tahu bahwa waktunya telah tiba untuk segera memulai ritualnya. ,
Bayu Aji segera menaiki mimbar yang sudah lengkap dengan sesaji, usianya yang sudah lanjut dan angin kering yang dikirim musuh menguji kesabarannya.
Pria tujuh puluh tahun itu duduk bersila menghadap laut dan mendongakkan wajahnya ke arah langit. Segenggam garam didekatkan ke mulutnya yang komat-kamit dengan tatapan waspada.
Ia tahu semua kekuatan jahat membenci sesuatu yang murni seperti garam. Angin yang membawa hawa panas itu menghilang, sebuah pertanda bahwa pembuat kekeringan telah diusir.
Tangan kirinya mendekatkan cerutu tua ke bibirnya, lalu mengepulkan asapnya ke arah langit dengan merapalkan mantra Merayu Langit agar hujan turun.
Asap cerutu itu membubung semakin besar membentuk seekor singa. Ia berlari ke arah laut dan tak lama kembali dengan menggiring gerombolan awan hitam seperti domba.
Matahari terik di atas kepala ketika mendadak langit menjadi gelap dan geledek menyambar. Riuh suara penonton bahagia menyambut hujan yang lebat. Sebuah tontonan yang selalu dinanti rakyat Waiboga.
Tak lama, gumpalan asap hitam tiba-tiba muncul di tengah lapangan dan menghentikan hujan. Suara ledakan membuat penonton berlarian menjauhi lapangan.
Pria bertubuh kecil keluar dari gumpalan itu, berseluncur di atas lapangan berlumpur licin dan dengan sekali hentakan ia menghancurkan mimbar. Bayu Aji melompat ke udara sebelum potongan-potongan kayu mimbar menghempasnya.
Ia mendarat di atas tanah becek dengan setengah menunduk, namun pandangannya tetap tegak waspada terhadap lawan yang lebih muda.
Sobekan panjang terlihat di jubah kebesarannya sebagai pawang kerajaan karena serpihan kayu mimbar. Di kaki kanannya darah cerah mengalir yang bercampur air hujan.
Suara bola api menderu di antara kedua telapak tangan Sanca Geni diikuti oleh tawa kepuasan telah mengucurkan darah Bayu Aji. Gumpalan api itu menjadi gulungan sanca setinggi pohon kelapa.
Bayu Aji menarik kerisnya, mengacungkan ke langit. Awan hitam di atasnya mengeluarkan kilat dan bergemuruh, menerangi langit redup sekilas.
Ledakan gemuruh berikutnya ketika cahaya biru dan putih kilat bertemu dengan puncak keris, menyedot kekuatan alam dahsyat.
Ular api itu melayang menerjang Bayu Aji. Lima jengkal sebelum api itu menghantamnya, Bayu Aji berguling ke kiri. Ular itu menghantam deretan bunga bakung dan menghanguskannya.
Bayu Aji menyabetkan petir biru-putihnya yang membentuk cambuk ke arah lawannya. Sanca Geni mencoba berguling menghindari jangkauannya namun petir biru putih itu berhasil membaca gerakannya dan berbelok menyengatnya.
Suara teriakannya teredam oleh ledakan dan percikan api. Tubuhnya terpental ke belakang.
Perlawanan terakhirnya dengan mengeluarkan seluruh energinya dalam bentuk Sanca api yang besarnya dua kali lipat dari yang pertama, yang melesat menyasar tubuh Bayu Aji.
Tangan kanan Bayu Aji menggenggam gagang kerisnya dengan ditopang oleh tangan kirinya yang mencengkeram pergelangan tangan kanannya, menyalurkan seluruh energi untuk membentuk tameng.
Tameng berwarna biru putih dengan letupan-letupan kilat kecil menelan energi sanca api. Sanca Geni tersungkur tanpa tanda-tanda kehidupan.
Langit kembali gelap dengan hujan deras mengguyur sisa-sisa pertempuran yang menghanguskan keindahan bunga-bunga di sekitar lapangan istana.
Bayu Aji jatuh berlutut dan tersungkur, usianya tak seimbang dengan beban ilmunya. Ia tak se-perkasa dulu. Nafasnya naik turun dengan sangat berat, sesekali ia terbatuk.
Di pelupuk matanya ia mengharapkan Biantara Aji, putra satu-satunya sebagai wadah baru menampung ilmu turun-temurun milik leluhurnya. Tubuh muda yang kokoh, yang akan mampu menanggung dahsyatnya kekuatan itu.
Pasukan terbaik iparnya, Raja Hattala telah mencari ke banyak tempat namun belum berhasil menemukan putranya yang telah ia tinggal sejak umur dua belas tahun.
Waktu itu Bayu Aji baru saja mewarisi ilmu dari ayahnya dan diangkat sebagai pawang kerajaan, di sana ia tergoda oleh kecantikan putri raja.
Pesonanya sanggup membuatnya berpaling dari istri yang sebelumnya sangat sabar hidup apa adanya bersamanya.
Pernikahannya dengan Dewi Maheswari hanya menghasilkan lima anak yang kesemuanya merupakan perempuan. Bayu Aji membutuhkan seorang putra sebagai pewaris.
***
Sementara di kapal Perompak Nagagini, Biantara Aji berhimpitan dengan tiga b***k lain yang sangat kurus sampai bola matanya cekung.
Sudah hampir satu bulan sejak kapal pencari ikan milik Biantara Aji dibajak Perompak Nagagini dan ia dijadikan b***k.
Grendel kabin paling sempit itu dibuka, awak kapal mabuk memukuli Biantara hingga pelipisnya mengucurkan darah sebelum memerintahnya membersihkan lumut di geladak buritan.
Tiga rekannya yang lain mengalami hal yang sama. Mereka lebih dulu tertangkap dan sekarang kematian lebih mereka harapkan daripada kehidupan sebagai b***k.
Biantara mengutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apapun untuk melawan kekejaman para bajak laut.
Seandainya saja ia memiliki kekuatan lebih pasti ia tidak akan seperti ini. Ia berjanji akan menumpas manusia-manusia tak berperasaan itu.
Ia menatap ke daratan, tepat di pusat kerajaan Waiboga berada. Di langit Waiboga bergumul awan hitam yang berputar-putar, sesekali kilat menyambar.
Ia bertanya-tanya, pergolakan apa yang sedang terjadi di tempat ayahnya bercokol. Tak lama, langit di atasnya pun turut menggelap.
Ia masih terus menyikat lantai geladak yang mulai berlapis lumut. Bian menengok ke arah Kapten Kamandaka yang sedang di ruang kemudi.
Obrolannya bersama awak terbaiknya hilang ditelan kabut dan kegelapan. Ada gerakan di haluan, awalnya ia mengira itu adalah burung-burung pelikan yang sering bertengger di sana.
Biantara mendengar deburan ombak menghantam lambung kapal dan getaran benturan yang tidak biasa. Ia melihat bayangan samar di balik kabut tipis dan suara getaran asing itu lagi.
Akhirnya ia memberanikan diri menuju pagar dan melihat ke bawah. Di sana sebuah perahu kecil dengan lima pria yang berusaha memanjat kapal.
Ikat kepala mereka tidak asing, milik para prajurit Waiboga. Itu armada laut yang biasa memburu para bajak laut, tapi ini di luar batas perairan Waiboga.
Bian mulai mengerutkan kening, kenapa mereka mengejar sampai ke sini? Tangannya berpegangan pada pagar, laut mulai kasar dengan ombaknya.
Ia mengamati sesuatu yang besar di balik kabut yang menebal. Petugas yang berjaga di atas pasti sedang mabuk, mereka tidak melihat ancaman yang datang.
Tiga tiang kapal dengan bendera Waiboga mulai nampak jelas. Tidak biasanya, pasti ada yang salah dengan kapal ini.
Insting menyuruhnya merunduk dan berjongkok di antara gulungan tali kapal. Kepala pertama prajurit yang mendaki sudah muncul di atas pagar, kemudian menyelinap ke geladak.
Disusul beberapa bayangan lain yang mengendap-endap menuju anjungan kapal. Suara teriakan pertama muncul dan pedang saling berdenting. Suara-suara daging ditusuk pedang membuat Bian semakin meringkuk.
Lambung kapal kerajaan menghimpit lambung Nagagini, tali temali beterbangan dengan bayangan prajurit yang bergelantungan untuk menyebrang ke geladak.