|9|

1691 Kata
Chapter 9 (Who is she?) ●●● Rebel mengetukan sepatunya pada lantai kafe, bergerak gelisah karena menunggu Corey yang masih belum sampai. Tidak biasanya Corey datang terlambat jika ingin bertemu dengannya. Tangan Rebel juga saling berpaut khawatir, Rebel tiba-tiba jadi panik, memang sih, tujuannya mengajak Corey untuk bertemu di sini karena ada hal serius yang ingin dirinya bicarakan. Rebel rasanya seperti sedang patah hati. Corey sebenarnya sosok yang sangat sempurna untuknya, Corey benar-benar mau menerima dirinya apa adanya, bahkan disaat Rebel tidak memiliki reputasi yang baik di masyarakat, Corey masih tulus mencintainya. Lelaki itu, sangat mengesankan. Sosoknya yang dewasa dan penyayang, Corey selalu memaafkannya jika dia melakukan kesalahan, tidak pernah marah ketika Rebel teledor, dan Rebel merasa Corey terlalu memendam kekecewaannya seorang diri. Corey tidak pernah menunjukan rasa kecewa padanya, dia selalu tersenyum tulus, padahal sebenarnya menurut Rebel, Corey terlalu memendamnya sendiri. "Maaf jika aku terlambat." Corey muncul di hadapannya, begitu menawan dengan setelan kemeja bergarisnya dan celana panjang navy dipadukan dengan sepatu kulit berwarna cokelat muda miliknya. Rebel tersenyum menyapa. Aduh, kenapa jadi canggung seperti ini ya? Padahal saat waktu itu Rebel bertemu, dia tidak merasa secanggung ini. Apakah justru yang canggung itu adalah Corey? Jujur, detak jantung Corey tidak berhenti marathon sejak tadi. Percaya tidak percaya, bahkan sekarang tangannya berkeringat. Corey sebenarnya juga merasakan aura canggung diantara mereka, tidak biasanya Rebel bertindak seperti ini, benar kan, ada sesuatu yang tidak beres kali ini. Corey juga sudah menyiapkan hatinya untuk sebuah keputusan besar yang akan Rebel keluarkan. Apapun itu Corey akan berusaha menerimanya. "Mau pesan minum?" tanya Rebel setelah beberapa menit terdiam karena canggung. Corey menggeleng. "Tidak usah tidak apa, lagipula, aku tidak akan lama, aku harus mengurus suatu hal nanti." sambil tersenyum. Terlihat Rebel mengangguk patuh, tangan Rebel diusapkannya kemudian memberanikan diri untuk menatap kedua bola mata berwarna cokelat terang yang juga sedang menatapnya. "Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan." "Ada apa?" Rebel sebenarnya ragu akan keputusannya ini, tetapi lagi-lagi hatinya berkata lain, hatinya tetap menyuruhnya untuk melakukan hal itu, untuk tidak lebih dalam lagi menjerumuskan lelaki baik ini ke dalam kehidupannya. "Kau bisa tenang, Rebel." Benar kan. Lelaki di depannya ini benar-benar dewasa dan penyayang, sekarang buktinya, tangan besar itu menangkup tangan Rebel yang bergetar di atas meja, kemudian bergerak meremasnya lembut. Baiklah. Keputusannya sudah bulat. Maafkan aku Corey, aku benar-benar akan menyesalinya. "Aku ingin, hubungan kita ini berakhir, kita berteman saja ya?" Setelah mengucapkan itu, Rebel menunduk dalam, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sial, Rebel yang memutuskannya, tetapi Rebel benar-benar patah hati. Dia patah hati karena membuat lelaki sebaik Corey kecewa. Cairan bening itu akhirnya mengalir di pipi Rebel, membuat Rebel pada akhirnya terisak menangis setelah merasakan kepalanya disentuh oleh tangan Corey. "Hey, tidak apa Rebel. Aku menerimanya. Serius." Corey masih sibuk mengelus lembut kepala wanita yang sangat dicintainya ini, tetapi bukannya membuat Rebel tenang, malah sebaliknya, Rebel terdengar terisak hebat di dalam tundukannya. Tangan Corey gatal, ia ingin sekali membawa Rebel untuk masuk ke dalam pelukannya, menenangkannya dengan ucapan sayangnya. Tetapi, rasanya Corey sungkan. Tidak, ia harus melakukannya. Untuk yang terakhir kalinya. Pada akhirnya, Rebel kembali masuk ke dalam pelukan lelaki itu, pelukan hangat yang selalu Rebel dambakan yang kini hanya meninggalkan luka. Baik itu Rebel dan Corey. Keduanya sama-sama terluka. Luka yang dipendam sehingga rasanya hampir mematikan saraf tubuhnya. Menyakitkan. Sungguh. ••• Arey mengerjapkan matanya saat menangkap sinar matahari begitu menyilaukan. Ugh, sudah jam berapa ini? Berapa jam Arey tertidur? Jika Arey perkirakan, silau matahari ini artinya sudah pagi. "Jadi aku tertidur selama itu?" Sudah dipastikan, sejak kemarin saat habis dia berkeliling ruangan kamar yang ditempatinya itu, Arey tertidur setelahnya. Bahkan pakaian Arey masih sama dengan yang kemarin ia pakai. Bagaimana bisa tidurnya begitu lelap? Apakah karena kasur yang di tempatinya begitu nyaman? Hahaha, kampungan sekali dirinya. "Ugh. Bagaimana bisa aku mandi?" tubuh Arey bergerak bangun dan duduk di atas kasur sambil merengangkan tubuh, matanya tak sengaja tertuju kepada tumpukan kaos dan celana yang ada di ujung kasur. Arey bergerak mengambilnya, kemudian tak sengaja hidungnya mencium bau khas Deon. Bahkan bau khasnya yang sudah dicuci saja masih tersisa di pakaiannya? Sangat menenangkan. Wangi harum yang segar seperti perpaduan kayu manis dan segarnya hujan dipadukan dengan harum khas pewangi pakaian. Kalau ada parfum berbau khas seperti ini, Arey mau membelinya. "Baiklah, aku akan segera mandi." • Ah, besar sekali sih! Heran Arey di dalam hatinya. Saat Arey sudah selesai mandi tadi, dia segera memakai pakaian yang sudah disiapkan oleh Deon. Tetapi saat Arey memakainya, seakan tubuhnya tenggelam di dalam baju itu, menutupi sampai ke tengah lututnya. Ini, bajunya yang memang besar dan panjang, apa Areynya yang memang pendek ya? Ah, sepertinya pilihan kedua lebih realistis. Tangan Arey bergerak membuka pintu ruang ganti yang ternyata memiliki pintu sambungan dari toilet. Arey juga cukup terkejut begitu dia menapakan kakinya di lantai toilet. Berdecak kagum untuk yang kesekian kalinya. Bagus banget. Sangat mewah. "Apakah Deon sudah bangun? Apakah aku harus ke bawah ya? Atau aku di sini saja?" Bahkan Arey terlalu binggung untuk memutuskan hal yang akan ia lakukan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu dari luar mengejutkannya yang sedang melamun. Arey berjalan setengah berlari mengingat jarak dari kasur ke pintu sedikit membutuhkan tenaga. Saat pintu terbuka, Deon rupanya sudah berdiri di depannya, mengenakan pakaian santai rumahan khasnya, sambil tersenyum. "Mau makan?" Arey mengangguk kemudian memunculkan seluruh tubuhnya yang tadi sempat tertelan daun pintu. Deon menatapnya diam. Menggemaskan. Ucap Deon di dalam hatinya. Keputusannya yang sejak setengah jam dia pikirkan ini rupanya menimbulkan hal baik. Melihat Arey di depannya saat pagi hari terasa menyenangkan. "Kenapa?" Deon menggeleng. "Tidak ada. Kau hanya terlihat lucu." Setelah itu Deon berbalik dan berjalan menuruni lantai tangga menuju ruang makan bersama Arey. "Kau ingin makan apa?" tanya Deon sambil berjalan menuju dekat kompor, lalu bergerak membuka pintu kulkas dan melihat isinya. Arey akhirnya berjalan menghampiri Deon, lalu ikut juga melihat isi ke dalam kulkas. Ada banyak telur, keju, daging ayam, dan juga beberapa sayuran. "Omelet?" Deon mengangguk lalu bergerak mengeluarkan bahan yang dia perlukan untuk memasak. Tidak sulit untuknya untuk memasak, dia sudah terbiasa melakukan itu. "Jadi, kemampuanmu bertambah satu ya?" Deon mengernyit. "Maksudmu?" Arey menghampiri Deon yang sedang memotong bawang, berdiri di samping lelaki yang tingginya sebelas dua belas sama tiang bendera. "Aku sudah melihat semus kekuatanmu. Dan maksudku, point kau bertambah ketika aku tau jika kau bisa masak." Deon tersenyum. Dia senang saat Arey tidak merasa takut kepadanya. Saat masih sibuk berkutat dengan masakannya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. "Ada tamu?" tanya Arey sedikit terkejut. Pasalnya, kedatangannya di rumah ini kan tidak ada yang tau, bagaimana jika akhirnya banyak orang mengetahui kalau Arey pernah tinggal serumah dengan Deon. "Kau tunggu di sini, biar aku yang membukakan pintu." Setelah Deon berucap dia bergegas untuk pergi ke luar, memeriksa siapa yang datang dan terus menekan bel rumahnya dengan terus-menerus. Arey memutuskan untuk berjalan ke arah kursi yang terletak di samping meja makan, lalu duduk di sana, menunggu Deon yang hampir 20 menit belum juga kembali. Tak lama suara langkah kaki terdengar, tetapi kali ini bersautan. Apa tamunya ikut masuk ke dalam ya? "What the hell. Who is she Deon?" ucapan cempreng milik seorang perempuan membuat Arey mengalihkan padangannya ke arah datangnya suara. Arey melihat disana ada seorang perempuan yang terlihat asing di matanya, disusul Deon di belakangnya. Siapa perempuan ini? Urusan apa yang dilakukan dengan Deon sampai dia tau lokasi rumah Deon yang mungkin tidak terdeteksi di GPS. "Kau terlalu berisik Jena. Dia Arey, kenalkan Arey ini Jena." Deon berjalan menuju dekat kompor, melaksanakan kegiatannya yang sempat tertunda. Perempuan yang Arey dengar bernama Jena itu berjalan menghampirinya, dengan dress hitam agak ketat miliknya, rambut keriting gantung yang tergerai dan bentuk tubuh seperti gitar spayol. Terlihat cantik. "Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Jena sambil memincing. Arey gelagapan, tidak tau harus membalas apa. "Dia kekasihku, wajar bukan, pergi ke sini." sanggah Deon. Arey terlihat begitu terkejut mendengar penuturan Deon, begitupula dengan perempuan itu. Wah, Deon sudah mulai macam-macam denganku. "Kau tidak perlu berbohong seperti itu, Adeva. Aku akan membantumu memasak." ucap Jena sambil berjalan mendekati Deon. Jika Arey lihat dari belakang, mereka tampak begitu serasi, Deon yang tampan dan Jena yang sangat cantik, perpaduan yang sangat pas. Deon berbalik dan berjalan menghampiri Arey, kemudian menarik tangannya untuk menjauh dari Jena menuju ruang tengah. "Aku serahkan kepadamu." Jena terlihat seperti cacing kepanasan. Dia kesal kepada Deon, lelaki itu selalu saja senang berbuat seenaknya. Kemarin merangkul perempuan dan meninggalkannya di mobil sendirian, sekarang Deon meninggalkannya lagi dengan perempuan. Tunggu, mata Jena memincing memandang perempuan yang sedang duduk di ruang tengah itu. Postur tubuhnya mirip dengan perempuan yang dirangkul Deon saat malam itu. Jadi, wanita ini ya, yang rupanya bisa mengalahkanku dalam mengambil hati Deon. Padahal, jika dibandingkan dirinya, perempuan bernama Arey itu tidak memiliki apapun yang menarik, sangat berbeda jauh dengan Jena yang menawan dan wangi. Kemudian, masakan pun jadi, walau dilaksanakan oleh Jena dengan hati kepanasannya. Dia membawa dua piring makanan lalu beranjak menghampiri Deon lalu duduk di depannya. "Makanlah, sudah siap." Jena mendorong piring putih berisi omelet yang terlihat menggiurkan ke hadapan Deon. "Hanya punya ku, bagaimana dengan milik Arey?" Jena mengangkat bahunya acuh. Arey tersenyum memahami, sepertinya perempuan ini terlihat sangat kesal dengannya, seolah kehadirannya di sini sangat menganggu. "Biar aku ambil punyaku sendiri." ujar Arey lalu berdiri dan berjalan kembali ke dapur untuk mengambil sarapannya. Tak lama, Arey juga merasakan ada langkah kaki yang ternyata mengikutinya. "Hai." Rupanya Jena. Perempuan itu menelisik dari atas hingga bawah tubuh Arey, seolah ada yang salah. "Aku Jena." Arey diam. Tidak paham dengan maksud perempuan cantik tetapi aneh di hadapannya ini. "Kau tidak mau membalasku?" Aku tersenyum kemudian mengulurkan tanganku, "Aku Arey." Lihat. Benar-benar menyebalkan kelas krodit. Tangan Arey bahkan hanya dibiarkan menggantung di udara sedangkan Jena, tangannya bergerak bersedekap. Arey jadi merasa seperti dibully. "Kau harus meninggalkan rumah ini." Ucapannya ambigu. "Dia hanya memanfaatkanmu, pergilah dari sini." Arey masih diam juga, tidak tau harus membalas apa. Tetapi aku jadi mencerna kata-kata Jena. Memanfaatkan? Apa ya maksud dari memanfaatkannya ini? Apakah Deon hendak memanfaatkannya? Berbagai pikiran aneh melintas di dalam otak Arey. Apakah nanti saat Deon sudah mendapatkan batu yang dia mau, apakah Deon akan meninggalkannya? Menelantarkannya? Atau yang lebih parah, apakah Deon akan melenyapkannya ya? Masuk akal, ucapan Jena begitu masuk akal. Tetapi, bagaimana aku bisa kabur dari Deon. Deon begitu peka, sulit untuk mengecohnya. Baiklah, nanti malam, Arey benar-benar akan menyusun rencana kabur untuk yang kesekian kalinya. Doakan Arey. Semoga dia berhasil dan tidak menyesal. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN