Olivia

1050 Kata
Tetapi kata siapa Olivia hanya membaca buku novel kisah-kisah romantis? Setiap pulang sekolah entah di dalam taksi atau duduk di kursi bis umum, ia sering membaca buku sejarah, ekonomi, filsafat dan buku lain yang menarik untuk di baca selembar demi selembar. Bahkan ia tertarik membaca buku-buku berat yang kadang bis memecahkan kepala. Siang ini, ketika ia pulang sekolah sekitar jam satu siang, ia tundukkan kepalanya membaca buku tebal selembar demi selembar yang berjudul filsafat nilai. Ada satu kalimat pembuka dari bab pertama dari buku yang ia baca ini, sebuah pertanyaan singkat dan sederhana, yaitu “apakah suatu nilai seperti baik, buruk, indah dan cantik dan lainnya itu bersifat mutlak atau bisa berubah kapan saja?”.  Demi menjawab pertanyaan sederhana itu, ia pun sejenak menghentikan bacaannya dan menutup buku tersebut dengan satu jari telunjuknya, lalu ia menoleh ke arah jendela kaca mobil, dan mengamati beberapa pemandangan di luar sana. Dari mobil yang lalu lalang di jalan, gedung-gedung hingga langit berasap ia perhatikan satu persatu. Namun ia memfokuskan pandangannya ke arah langit, dan ia pikirkan sejenak tentang nilai yang terkandung di dalam langit berasap tersebut.  Sesaat itu, Olivia pun menyimpulkan bahwa sebuah nilai bisa berubah tergantung bagaimana situasi dan kondisi yang kita lihat saat ini. Ia menilai langit berasap di atas itu cukup buruk, namun kondisi seperti ini sewaktu-waktu bisa saja berubah jika asap yang menyelimuti langit Jakarta sekarang telah berubah menjadi cerah.  Tiba-tiba taksi yang ia tumpangi dan ratusan kendaraan lainnya terhenti oleh ratusan massa yang berdemo di depan gedung DPR-RI, akibatnya aksi tersebut menimbulkan kemacetan yang sangat panjang.  Hujan aksi di depan matanya ini, penuh dengan orasi-orasi liar yang menyinggung para DPR, bendera-bendera dari organisasi eksternal mahasiswa berkibar tertiup angin memenuhi di dalam massa aksi. Mereka menyanyikan lagu-lagu juang dan semangat pemberontakan, namun ada juga yang hanya merekam dengan handphone.  Mereka terlihat gagah, bagai sosok pahlawan yang membela kebenaran. Banyak sekali pria yang memakai ikat kepala bagai pendekar sakti yang ingin mengalahkan penjahat.  “Bisa-bisa ini sampai sore, Dek...” ucap sopir sambil menghela nafas.  “Ini demo apaan lagi, pak?” tanya Olivia melihat kerumunan di depannya.  “Entah... Yang pasti, mereka membela rakyat,” jawab sopir taksi. Akan tetapi, aksi yang di pelopori oleh ribuan mahasiswa dan ratusan pelajar itu tiba-tiba terlihat ricuh, jadinya ada yang membakar puluhan ban, bahkan merusak fasilitas umum di jalan, dan ada juga yang melempari petugas keamanan dengan botol bekas minuman mereka. Semua itu mereka lakukan atas dasar kebencian mereka terhadap petugas keamanan yang tidak memihak kepada rakyat. Namun konon, yang membuat kericuhan dalam kerumunan massa aksi seperti ini, itu di sebut sang provokator. Dan provokator itu sendiri katanya berasal dari para petugas keamanan yang menyamar sebagai massa aksi. Para provokator ini sendiri akan mengompori massa aksi hingga mereka terbawa arus kericuhan, jadinya, para petugas Kepolisian yang berlindung di balik tameng kawat besi yang melingkari sepanjang gedung, keluar dan mulai menyerang massa aksi.  Mereka akan menyemprotkan gas air mata hingga massa aksi akan berlarian membubarkan diri. Namun kebanyakan juga ada massa aksi yang melawan dengan cara melempari petugas dengan batu kecil atau botol plastik yang telah mereka isi dengan berbagai benda hingga berat. Para petugas yang telah bersenjata lengkap pun marah, lalu mengejar massa dan akan mengamankan mereka yang di anggap melawan mereka. Lalu dari arah depan taksi mereka, ada pria pelajar berlari kencang mengenakan slayer yang menutupi wajahnya. Di belakangnya, ada dua polisi mengejarnya lengkap dengan senjata pentungan mereka.  Mungkin pelajar ini telah kehilangan stamina untuk berlari kencang dan kabur dari pengejaran polisi, hingga ia berhenti di sebelah mobil taksi mereka lalu mengetuk kaca pintu mobil taksi secara berkali-kali dan memohon kepada sopir agar ia membuka pintu mobilnya.  Olivia yang sedikit ketakutan, meminta kepada sopir taksi agar ia tidak membukakan pintu untuknya. Namun karena Olivia sedikit panik, ia pun terlambat menyampaikan keinginannya, sehingga sopir taksi terlebih dahulu membuka kunci otomatis pintu mobil; dan pria pelajar itu dengan cepat masuk dan telah duduk di sebelah Olivia.  Gadis yang terkenal pemarah di sekolahnya itu tiba-tiba seperti seekor tikus yang terjebak dalam perangkap mangsa. Olivia teriak ketakutan sambil memanggil polisi yang tengah berlari mengejar dan mencari pria yang kini duduk menghela nafas di sampingnya. Kemudian pria itu bergegas menarik slayer yang menutupi wajahnya dan sedikit merapikan rambutnya.  “Tolong diam...!” ucap pria itu berkali-kali sambil mengarahkan kedua tangannya kepada Olivia dengan maksud menenangkan. Namun Olivia malah mengartikan bahwa ia ingin menyentuh sehelai tubuh yang sebelumnya belum tersentuh pria mana pun. Ia pun menutupi tubuhnya dengan kedua tangan sambil memejamkan mata.  Lagi-lagi ia teriak sambil menggelengkan kepala dan meminta pria yang mungkin berumur sama dengannya itu untuk pergi keluar mobil dengan segera. Lalu Olivia mengancamnya.  “Jika kamu tidak keluar, maka aku yang keluar dari taksi ini...!” kata Olivia.  “Maaf seribu maaf... Tetapi aku hanya menumpang untuk bersembunyi, setelah itu aku akan pergi...” jawab pria itu dengan rendah hati. Semua ini masalah pandangan, dan artikulasi apa yang terkandung di balik pertemuan mereka. Baru saja Olivia membaca buku tentang filsafat nilai, dan kali ini ia di hadapkan pada seseorang yang harus ia nilai.  Ia teringat akan tulisan di dalam buku yang sedang ia peluk sekarang ini. Sehelai kata yang telah melekat di dalam kepalanya tentang sebuah nilai. Tentu sangat mudah jika ia harus menilai pria yang sedang menatap ke arah lengan kanannya ini, dari kelakuan dan tingkahnya, sudah pasti Olivia menilai bahwa pria ini memiliki karakter yang sangat buruk.  Namun pria yang berseragam sekolah lengkap ini, semakin menit berganti, ia semakin terlihat senang. Matanya seakan berbinar saat mengetahui Olivia dari SMAN 1 Jakarta. Bagai baru saja ia mendapatkan wahyu pertama dari sang Ilahi semesta.  “Ini keberuntunganku... Tepat sekali, bahwa selama ini kami mencari pelajar dari SMA 1 untuk kami rekrut bergabung dengan kumpulan diskusi kami,” ucap pria itu sambil tersenyum senang.  “Namaku, Roki Nanda dari SMAN 3 Jakarta...” ucapnya kembali. “Keluar...!” Teriak Olivia dengan keras. Senyum bahagia pria yang bernama Roki Nanda itu pun di akhiri dengan perkenalan singkat yang tidak Olivia respons sama sekali. Ia pun keluar dari mobil tempat ia sembunyi setelah merasa aman dari pengejaran polisi. Dan kemacetan panjang pun telah kembali normal setelah massa aksi mulai hilang satu persatu. Namun Roki telah mencatat nama Olivia di dalam pikirannya, dan bagaimana pun ia harus berhasil menemukan nomor telepon dan mengajaknya ke perkumpulan diskusinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN