BAB 5

1067 Kata
"Bapak-bapak silahkan turun," aku berucap dengan nada dibuat seramah mungkin. Sebenarnya di dalam hati aku kesal bukan main. Aku kira ngantarin Arghani dan Bang Abraham ya cuma ngantarin. Taunya aku dijadiin supir sama mereka. Bayangkan saja mereka berdua duduk di kursi belakang, tidak ada yang mau menggantikanku membawa mobil. Rasanya gondok bukan main saat tadi Bang Abraham berkata, "Kamu yang nyupir ya Di. Abang capek, Arghani klien Abang gak mungkin disuruh nyupir." Kurang ajar bangetkan? Mau aku laporin ke bunda aja pulang nanti. Bang Abraham menindas adik cantiknya ini, liat aja nanti aku bakalan gantian nindas dia. Aku ikut turun dengan kedua pria itu. Kami mengunjungi sebuah rumah besar. Dari hasil pengupinganku selama di mobil tadi ini rumah Arghani. Dia baru beli rumah dan mau direnovasi, minta tolong sama Bang Abraham. Aku berkedip beberapa kali. Gila aja Arghani ini duitnya gak berseri kali ya. Jadi fotografer terkenal dengan model kebanyakan artis bisa beli rumah segede ini. Kalau begini niatku buat ngincar Arghani tambah kuat deh. Secara siapa sih yang mau ngelepasin pria hot nan kaya serta keren macam Arghani ini? Selama ini para perempuan keenakan diajak main sama Arghani doang kali ya. Pada merem melek keenakan jadi lupa kalau Arghani super kaya. Aku mengekor di belakang Arghani dan Bang Abraham. Mereka berbincang serius tentang rumah yang dalamnya masih kosong itu. Aku sih gak ngerti mereka ngomongin apaan, habis aku sibuk menerka-nerka berapa kira-kira harga ini rumah. "Di kamu antar Arghani ya. Abang buru-buru ini si Milly minta beliin martabak sekarang," ujar Bang Abraham saat mereka sudah beres melihat kolam renang. Aku mencium adanya bau-bau tipu muslihat di sini. "Sekalian aja sih Bang. Mau balik juga ini, emang Kak Milly bunting lagi? Ngidam martabak mulu," cerocosku rada kesal. Bang Abraham mendelikkan matanya, kemudian mengedip-ngedipkannya cepat. Berasa aku lagi ngeliat dia mau sakit ayan aja deh. Matanya kelilipan apa ya? Tetapi kemudian Bang Abraham mendekat ke arahku dan berbisik, "Gue kasih kesempatan lo godain si Arghani. Lumayan banyak duitnya." Aku langsung terbatuk-batuk mendengar bisikan abangku yang rada sinting itu. Dia bahkan langsung ngacir dengan abang ojek online yang sudah menunggu. "Balik Ghan. Diantar adik gue ya," serunya saat motor sudah mulai melaju. Tadinya aku kesal, tapi sekarang rasanya kok senang bukan kepalang. Lumayan aku bisa tahu Arghani sekarang tinggal dimana. Siapa tau nanti suruh datang ketemu calon mertua jadi gak nyasar lagi kan. Oke aku menghayal terlalu tinggi emang. "Ayo gue antar," ucapku berjalan mendahului Arghani menuju mobil. "Gue aja yang nyetir. Kuncinya mana?" Arghani menarik tanganku pelan. Duh baru tangan yang ditarik aja aku udah panas dingin begini. Aku mau pura-pura jual mahal. "Gak papa gue aja yang nyetir," ucapku. Arghani mendengus pelan, dia melepaskan pegangannya di tanganku. "Gue gak biasa disupirin cewek," ucapnya rada tidak suka dengan ucapanku. "Tadi gue supirin." "Gue gak enak sama Abang lo. Buruan mana kuncinya!" Arghani agak sedikit menaikan suaranya. Jujur saja aku kaget dan sempat berjengit sebentar, kesal juga dibentak begitu. Mau tidak mau aku menurut saja maunya Arghani ini apa. Aku diam saja duduk di sampingnya. Wajah Arghani juga terlihat rada tidak bersahabat. Kemudian entah kenapa aku menjadi tersadar bahwa rumah Arghani sepertinya searah dengan rumahku. Tapi kemudian aku menjadi sadar, mana mungkin ada kebetulan yang luar biasa seperti ini. "Ngapain lo ngantarin gue balik?" ujarku sambil mendelik tidak suka. "Nanti gue dijemput Ghiska, dia udah nunggu di depan komplek rumah lo," sahut Arghani santai, tangannya begitu.lues menyetir. Kini aku menatap Arghani tidak suka. Lagian dari mana dia tau rumahku? Agak mencurigakan deh. "Lo tau rumah gue dari mana?" "Tadi siang gue sempat tanya-tanya Abraham dan dia ngasih tau gue alamat dia. Karena katanya dia punya adik perempuan perawan tua," kata Arghani yang melirikku sekilas. Fuck! Bang Abraham minta disembelih! Aku diam saja, gak mau komentar apa-apa. Malu bukan main, beberapa hari ini aku terus merecoki Arghani, bahkan sampai dia tahu muka aku m***m gimana. Sekarang dia tahu aku perawan tua, bener-bener deh abangku itu menjatuhkan harga martabak adeknya sendiri. "Soal kontrak kemarin gimana?" akhirnya aku mencoba menanyakan hal lain. Kali aja aku bisa membuat dia lupa kalau aku ini perawan tua. Pengen sih ngeledekin Arghani perjaka tua, tapi kayaknya dia udah gak perjaka lagi sih. "Masih gue pertimbangkan. Karena jujur aja gue gak nangani pemotretan untuk butik." Aku bingung harus berkata apa lagi. Habisnya aku tahu Arghani ini fotografer profesional yang hanya bekerja untuk artis dan model ternama, serta event-event besar. "Ghiska itu pacar lo?" akhirnya pertanyaan itulah yang terlontar dari bibirku. Sesuatu yang tidak terbayangkan olehku adalah, Arghani tertawa. Suara tawanya bahkan terdengar begitu renyah dan luar biasa. Sulit untuk mendeskripsikannya. "Gue gak lagi ngelawak ya," cetusku sebal. Aku nanya baik-baik lah dia malah ketawa. Emangnya aku sule apa, baru masuk panggung bisa langsung buat orang ketawa. Arghani berdeham sebentar, dia seperti mencoba mencegah tawanya kembali pecah. "Emangnya kenapa? Ghiska cantik dan dia cukup umur buat pacaran," Arghani akhirnya memberikanku jawaban. Aku melirik Arghani sebal. "Lo p*****l? Ghiska itu masih kuliah, kasihan gue anak orang pacaran sama lo yang rada c***l," ujarku. Arghani memarkirkan mobil di tepi jalan, di dekat gerbang masuk komplek perumahanku. Dia duduk agak miring menghadapku, tatapan matanya tajam menilaiku. Sepertinya aku sudah salah bicara. "Gue c***l? Lo perempuan c***l," tuding Arghani dengan nada suaranya yang terdengar rendah. "Lo nyerah aja buat dekatin gue." Aku menaikkan sedikit daguku, ini agar terlihat aku tidak termakan oleh intimidasi Arghani. Jujur saja aku mulai keder juga dibuat Arghani. Tapi aku jelas tidak akan menyerah dan lari menjauh begitu saja, aku akan buktikan bahwa Arghani bisa bertekuk lutut di hadapanku dan mengemis cintaku. Senyum tipisku terbit. "Gue gak akan nyerah gitu aja. Gue akan buat lo mohon-mohon minta gue nikah sama lo," kataku dengan penuh percaya diri. Sayangnya Arghani tertawa mendengar ucapanku. Mungkin baginya aku terdengar seperti perempuan c***l dan banyak membual. Atau mungkin aku lebih terlihat seperti perempuan frustasi setengah gila? "Lo perlu ke rumah sakit jiwa segera." Arghani membuka pintu mobil di sampingnya. Dia keluar dari mobil dan aku pindah tanpa mau repot-repot keluar dari mobil. Saat pintu akan tertutup aku menahan pintu yang akan ditutup Arghani. "Ghan," panggilku pelan. Aku menarik tangan Arghani hingga pria itu menunduk di hadapanku. "Lo bilang gue c***l? Sekalian aja gue wujudin persepsi c***l itu," bisikku pelan. Entah setan apa yang merasukiku, aku mencium Arghani. Aku menempelkan bibirku di bibirnya. Kemudian memejamkan mataku dan berusaha menyecap bibir Arghani. Berusaha keras aku mengingat bagaimana cara berciuman dari film-film yang sudah aku tonton.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN