“Sudah beres, mbak.” Ammar bangkit berdiri sambil mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangan. Pemuda itu mengibas-kibaskan topi kumal miliknya menghalau rasa panas. Milly dan bi Neneng tersenyum senang dan tak hentinya mengucapkan terima kasih, Davika pun begitu lega pada akhirnya.
“Sudah hampir maghrib, saya pamit dulu ya mbak, bi,” ucap Ammar sambil mengenakan kembali topi di kepalanya. Matanya menengadah menatap langit yang mulai dipenuhi semburat warna jingga.
“Sebentar mas,” cegah Davika sambil tangannya merogoh tas mewah yang tersampir di pundaknya. Sesaat kemudian Davika mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah pada pemuda bernama Ammar tersebut. “Ini buat mas, segitu cukup nggak?”
Ammar cukup kaget beberapa saat, namun kemudian pemuda itu kembali menampilkan senyuman khas miliknya sambil menggeleng dan mengangkat kedua telapak tangannya isyarat menolak pemberian Davika. “Terima kasih, tapi saya ikhlas kok mbak, jadi lebih baik mbak simpan saja uangnya.”
“Tapi kenapa? Saya juga ikhlas kok ngasih ini buat mas, oh atau kurang ya?!” Davika kembali merogoh isi dalam tasnya.
“Bukan begitu, mbak, bukan saya menolak pemberian, saya benar-benar ikhlas membantu, saya tidak mengharapkan imbalan apa pun.” Lagi-lagi Ammar tersenyum, senyum yang membuat Davika benar-benar terganggu.
Sebelum Davika membuka mulutnya untuk kembali mendebat Ammar, Milly sudah lebih dulu menyenggol lengan sahabatnya itu memintanya untuk diam. Milly sangat tahu bagaimana keras kepalanya Davika Azzura. “Udah lah, Dav, bilang makasih aja cukup kali,” bisik gadis bermata sipit itu di telinga Davika.
“Ehmm, ya udah mas, kalau gitu saya ucapin terima kasih banyak karena mas udah mau bantuin kita,” ucap Davika dengan senyum kecil, gadis itu menjulurkan tangan hendak menjabat pemuda itu sebagai bentuk terima kasih. Namun pemuda bernama Ammar itu sama sekali tak menyambut uluran tangan Davika, dia hanya menangkupkan kedua tangannya di depan d**a sambil lagi-lagi tersenyum, “Sama-sama, mbak, kalau begitu saya pamit dulu ya,” jawabnya masih dengan senyum ramah.
Davika terkejut dengan cara pemuda itu menanggapinya. Tangannya masih mengambang di depan tubuhnya, terjulur dalam udara kosong saat pemuda itu telah berbalik untuk pergi diiringi ucapan terima kasih dan kata-kata lain dari bi Neneng maupun Milly.
Selama ini Davika tumbuh di lingkungan elit, bergaul dengan teman-teman yang selalu mengikuti perkembangan zaman milenial. Dan pemuda yang baru saja tanpa sengaja dia temui itu membuatnya bingung, bahwa ternyata di jaman yang serba modern dengan segala kebutuhan yang memerlukan uang ini masih ada orang lugu dengan pemikiran dan sikap kuno seperti Ammar. Menolong dengan ikhlas? Hah, Davika hampir tak percaya dengan pendengarannya. Dan bagaimana pemuda itu menolak menjabat tangannya tadi? Itu sedikit melukai harga diri dan egonya. Oh, ayolah, Davika gadis paling populer, banyak pria yang mengejarnya dan rela untuk bersimpuh di kakinya. Hanya saja, mata Davika tertutup hanya pada Fabio saja selama ini, dasar bodoh. Tapi pemuda kampung tadi? Kenapa dia bersikap seperti itu?
*
Mereka melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda saat hari mulai beranjak gelap. Rumah bi Neneng sudah dekat, sepanjang perjalanan yang tersisa itu hanya hening. Milly yang cerewet pun tak bersuara, dan bi Neneng bersandar di kursi penumpang dengan mengantuk. Sementara Davika masih larut dalam pikirannya sendiri tentang pemuda aneh dengan sikap dan senyum khasnya tadi.
“Tuh cowok kenapa nggak mau salaman sama gue, ya?” Gumamnya dengan rasa heran. Bahkan Davika tak sadar tanya yang terlontar dari bibirnya membuat Milly maupun bi Neneng menoleh menatapnya.
“Apaan, Dav?” Milly mengernyit, meminta sang sahabat mengulang apa yang baru saja dia ucapkan.
Davika menggeser tubuhnya, mengarahkan posisi badannya menghadap Milly dan memasang wajah serius, “Itu cowok yang tadi, kenapa nggak mau salaman sama gue? Heran banget gue, seumur-umur belum pernah gue digituin sama cowok, aneh banget!”
“Jangan heran, non. Yang tadi itu namanya Ammar, cucunya pak Rahman. Nah Pak Rahman ini orangnya alim, non, paham agama. Si Ammar juga begitu, non, makanya nggak mau salaman sama non Davi, karena non Davika kan bukan muhrimnya, nanti dosa,” Jelas bi Neneng.
“Hari gini masih ada yang begitu, bi?” tanya Davika heran dan tak habis pikir. Zaman sudah sangat maju. Dan ternyata masih ada orang-orang yang benar-benar memegang teguh pendirian sesuai syariat agama. Jujur Davika akui, jarang sekali orang-orang yang dia temui atau bisa dikatakan tak ada satu pun dari teman-teman kuliah, teman-teman nongkrongnya atau bahkan siapa pun di lingkungannya yang benar-benar religius.
“Yah namanya juga di kampung, Dav, beda sama di kota, maklumin aja kenapa sih, gitu aja ribet lo ah.” Milly menggelengkan kepalanya, hal sekecil itu saja dipikirkan oleh sahabatnya itu. Davika hanya menghela napas dan kembali menatap jalanan desa yang terbuat dari tatanan batu dan tanah di depannya. Meski begitu pikirannya tak berhenti seperti yang dia inginkan. Pemuda bernama Ammar itu benar-benar aneh dan menyita pikirannya tanpa dia sadari.
*
Davika meletakan gelas berisi teh manis yang masih terisi separuh setelah menyesapnya beberapa kali untuk menghilangkan dahaga di kerongkongannya yang mengering. Sementara Milly meneguk semua hingga tandas tak bersisa. Hari sudah benar-benar gelap, suara jangkrik dan binatang-binatang malam saling bersahutan di sekitar rumah bi Neneng.
“Udah hampir jam tujuh, kita pulang dulu yuk, Mil,” Kata Davika sambil menatap arloji yang melingkar di lengannya.
“Iya deh, yuk, keburu malem nanti sampai rumah.” Milly menyetujui ucapan Davika dan mulai bangkit untuk berpamitan pada bi Neneng dan keluarganya.
“Lo yang bawa mobil ya, Dav! Gantian, gue capek,” ucap Milly sambil melempar kunci pada gadis cantik berambut panjang itu. Davika mengangguk dan bergegas masuk ke dalam mobil miliknya, dan mulai melajukan kendaraan roda empat tersebu untuk membawa dirinya dan sang sahabat untuk pulang. Jalanan desa yang tak begitu ramai, bahkan bisa dikatakan cukup sepi itu tampak temaram. Hanya lampu-lampu penerangan seadanya yang berukuran tak lebih dari lima watt berada di beberapa titik di tepi jalanan berbatu itu.
Sayup-sayup terdengar adzan isya’ berkumandang dari pengeras suara yang rasa-rasanya terdengar tak begitu jauh dari jalan yang tengah mereka lalui itu. Milly terlalu lelah, gadis itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok mobil tanpa berniat mengeluarkan sepatah kata pun seperti biasanya. Sementara Davika berkonsentrasi mengemudi sambil mengingat-ingat jalan yang tadi mereka lalui. Namun konsentrasi gadis itu dibuyarkan oleh sesuatu yang mengganggunya. Lebih tepatnya, seseorang yang tengah mengendarai sepeda motor dengan lambat tepat di depan mobilnya. Gadis itu kesal, di jalan yang tak begitu besar ini, seharusnya si pengendara itu sedikit leebih menepi. Apa dia buta, bahwa tengah ada mobil di belakangnya yang juga ingin melewati jalan tersebut?
‘TIIIIINNN!!!’ dengan keras Davika menekan klakson mobilnya. Bukan hanya pengendara di depannya yang terkejut, bahkan Milly yang hampir tertidur pun ikut berjingkat dari duduknya karena kaget.
“iihhh, lo apa-apaan sih, Dav? Bikin kaget gue aja.” Gadis itu bersungut sambil memukul bahu Davika yang masih menatap tajam ke depan dengan ekspresi kesal.
“Tuh, liat! Emang dia pikir, ini jalan punya nenek moyangnya apa? Naik motor di jalan sempit kaya naik keong, lama amat! Nggak lihat apa, mobil segede ini juga mau lewat!” Tangan Davika menunjuk ke arah depan. Milly mengrahkan pandangannya pada apa yang tengah ditunjuk oleh Davika melalui ujung jemarinya.
Seseorang yang tengah mengemudikan sepeda motor butut itu tampak terkejut, melambatkan lajunya dan kemudian menepikan kendaraan roda dua miliknya tersebut. Milly mengerutkan keningnya kala mengamati sosok pemuda dengan motor tersebut dan dirinya menyadari sesuatu.
“Dav, itu bukannya cowok yang nolongin kita tadi sore?” lagi-lagi Milly menepuk bahu Davika beberapa kali. Kali ini Davika yang menajamkan penglihatannya. Dengan hanya diterangi lampu depan mobilnya, Davika mulai melihat motor butut yang telah menepi itu. Benar pemuda bernama Ammar yang mereka jumpai tadi sore. Namun kali ini penampilannya sedikit berbeda, dengan mengenakan kemeja koko dan sarung serta sebuah kopiah berwarna putih di kepalanya. Sedikit berbeda dengan penampilan sore tadi yang kotor dan bau matahari.
Milly membuka kaca jendela mobil di sampingnya, kemudian sedikit melongokkan kepalanya keluar, “Maaf ya, mas. Davika nggak sengaja bikin mas Ammar kaget.”
Pemuda itu tersenyum, senyum yang lagi-lagi membuat Davika terganggu. Senyum khas yang terlihat begitu tulus, senyum yang begitu ramah seakan hidup pemuda itu sempurna dan bahagia tanpa beban.
“Tidak apa-apa mbak, saya juga minta maaf kalau saya mengganggu perjalanannya,” jawabnya dengan ramah membuat Milly yang merasa tidak enak.
“oh, enggak apa-apa kok, mas. Oh ya, ngomong-ngomong mas Ammar mau kemana?” Milly masih berceloteh, sementara Davika tetap diam sambil tangannya menggenggam kemudi dengan kuat. Davika tak tahu harus bagaimana, dirinya tak tahu bahwa pemotor yang dia katai lambat bagai keong adalah pemuda yang telah membantunya sore tadi. Ada rasa tak enak dalam hatinya.
“Saya mau ke masjid mbak, mbak berdua sudah mau pulang ya?” tanyanya dengan sopan.
“Iya mas kita mau pulang, ya udah kalau gitu kami pamit dulu ya mas, sekali lagi maaf.” Milly akhirnya mengakhiri percakapannya dengan Ammar setelah berulang kali Davika menyikut pinggangnya.
Davika hanya mengangguk dan tersenyum canggung pada Ammar sebelum akhirnya melajukan kembali mobilnya untuk segera pergi dari desa tersebut. Dan masih terekam dalam benak Davika bagaimana Ammar membalas menunduk dan tersenyum amat- sangat ramah padanya tadi. Entahlah, ada sesuatu yang membuatnya gelisah, semacam rasa bersalah dan tak enak hati. Padahal seumur-umur belum pernah Davika merasa seperti ini. Tentu saja, karena dia adalah Davika. Putri kesayangan papanya, dan gadis populer di sekolahnya dulu dan kampusnya kini. Apa yang Davika inginkan akan dia dapatkan. Tak pernah ada rasa rendah diri dan kalah dalam hidupnya selama ini.
*
Pagi menjelang, suara burung-burung bersahutan di luar jendela kamar. Davika menggeliatkan tubuhnya. Perlahan gadis itu bangun dengan wajah yang terlihat lelah. Perut yang kosong minta diisi memaksanya untuk bergegas cuci muka dan berlari ke bawah menuju meja makan.
Terlihat sang papa dan mamanya telah terlebih dulu duduk sambil menikmati santapan pagi mereka. Sejujurnya Davika belum ingin bertemu papanya setelah percakapan mereka kemarin tentang ide keputusan papanya yang memaksanya untuk segera menikah, seolah tak ada solusi lain selain ide konyol itu.
“Pagi, ma, pa,” sapanya enggan sambil menggeser kursi tepat di samping sang mama. Kemudian dirinya mulai mengisi piring dengan nasi goreng yang baunya sudah sangat menggelitik saraf-saraf di hidungnya, membuat cacing-cacing di perutnya berontak minta diberi makan.
“Semalam kamu dari mana?” tanya sang papa saat baru saja sesuap nasi hampir mendarat di mulutnya.
“Jalan-jalan sama Milly,” jawabnya cepat dan datar, bahkan Davika enggan menatap mata papanya.
Arman meletakkan sendok dan garpunya, meski nasi dalam piringnya masih tersisa. Pria paruh baya dengan aura yang masih begitu berwibawa itu mengelap mulutnya menggunakan tisu dan kemudian memasang wajah yang serius menatap lurus pada sang putri yang memilih acuh.
“Dav, soal apa yang kemarin papa bicarakan, itu semua serius.” Belum sempat sang papa menyelesaikan kalimat yang ingin dia ucapkan, Davika menghela napas jengah dan menutup matanya. Gadis itu benar-benar muak, selera makannya lagi-lagi menguap menghilang. Baru saja dirinya hendak beranjak berdiri, tangan lembut sang mama menahan pergelangan tangannya, memaksa gadis itu menurut dan kembali duduk meski rasanya berada di ruang makan yang nyaman itu mendadak terasa menyiksa.
“Dengarkan papa dulu, sayang,” bisik sang mama sambil kembali membelai lembut lengannya.
“Davika, sejujurnya papa merasa bersalah, kamu anak perempuan papa satu-satunya. Tapi papa merasa selama ini papa belum bisa mendidik kamu dengan baik, bahkan terkadang papa merasa sangat gagal. Mungkin papa selalu bisa memenuhi tanggung jawab sebagai pencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan kamu, tapi melihat bagaimana pergaulan yang kamu jalanin di luar sana selama ini, membuat papa sadar bahwa papa telah salah mendidik kamu dengan memanjakan kamu selama ini.” Ucapan Arman benar-benar lembut, ada sebuah penyesalan dalam setiap penekanan kata-katanya.
Davika masih mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat, namun ada pergolakan di dalam dadanya saat lagi-lagi sang papa membahas tentang semua ini. Seolah semua yang dia lakukan selama ini dianggap sebagai hal yang salah dan memalukan. Memangnya apa yang salah? Dirinya masih muda, hanya bersenang-senang, menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk nongkrong dan berkumpul apa salahnya? Ini zaman modern, merokok, minum minuman memabukkan sudah menjadi hal yang sangat umum. Berdansa sampai pagi di tempat hiburan juga sudah merupakan hal yang biasa, nyatanya tempat hiburan didominasi oleh kalangan muda seperti dirinya. Lalu kenapa hal itu tiba-tiba dianggap slah dan berbeda untuknya.
“Papa sudah semakin tua, papa Cuma ingin tenang melihat hidup kamu tertata dengan baik. Papa tidak mau kamu semakin berantakan lebih dari ini, Dav. Papa mohon kamu ngerti, papa akan sedikit lebih tenang ketika ada seseorang yang menjaga kamu, berada di sisi kamu, mengarahkan kamu. Menikah bukan berarti masa depan kamu akan berhenti dan hanya akan menjadi ibu rumah tangga, kamu bisa melanjutkan kuliah, menjadi wanita karir kelak. Tapi setidaknya dengan memiliki seorang suami, ada imam yang bisa membimbing kamu.”
Kepala Davika mendadak terasa begitu pening, gadis itu memegang dahinya dengan kedua telapak tangannya yang bertumpu pada meja makan. Dirinya tak tahu harus menjawab apa sekarang. Ya memang harus dia akui, apa yang papanya inginkan semua hanya demi kebaikannya saja, tapi hatinya masih terus berontak tak terima untuk mempertaruhkan masa mudanya hanya untuk membuat sang papa senang.
“Oke!” Davika mengeluarkan suaranya dengan tegas, ada kemarahan dalam helaan napas ucapannya tersebut. Matanya memerah sambil menatap tajam sang papa, sementara baik sang papa dan mamanya cukup terkejut. Tentu saja raut wajah sang papa sedikit memancarkan kelegaan dan rasa senang.
“Tapi aku punya syarat, dan papa harus setuju dengan syarat yang aku ajukan ini.” Wajah Davika tak gentar dan terus menatap lurus papanya.