Part.05

2331 Kata
“Syarat apa?” selidik sang papa sambil menelisik raut wajah Davika, mencoba menemukan apapun yang mencurigakan yang bisa saja tengah disembunyikan oleh sang putri.  “Aku yang pilih calon suamiku, dan papa gak boleh ikut campur soal itu.” Keras kepala dan tegas, persis seperti papanya. “Tapi papa tidak akan pernah setuju kalau kamu memilih si ber....” “Papa tenang aja, bukan Fabio orang yang akan aku pilih untuk jadi calon suami.” Ucapan Davika cukup melegakan bagi papanya yang bahkan belum sempat menyelesaikan ucapannya tadi. “Baik, lalu kapan kamu akan bawa calon suami kamu? Tapi kamu harus ingat, keputusan akhir pemuda ini pantas atau tidak untuk menjadi pendampingmu tetap ada di tangan papa. Karena bagaimanapun niat papa menikahkan kamu untuk membuat kamu berubah, jadi dia harus bisa menjadi pemimpin dan membimbing kamu.” Davika tampak berpikir dalam, mengingat dirinya saja belum tentu berhasil mendapatkan pemuda yang bisa dia manfaatkan. Apa yang harus dia katakan sekarang? “se...secepatnya, aku akan bawa dia secepatnya menemui papa setelah dia siap,” jawab Davika dengan gugup. Masa bodoh, yang terpenting sekarang adalah membuat papanya berhenti menjodohkannya dengan anak-anak dari kenalan dan koleganya. Papanya menganggukan kepala sambil tetap menatap dalam pada kedua mata anaknya, meski Davika mati-matian menyembunyikannya. Yang terlintas di benak Davika kala akhirnya menyetujui keinginan sang papa adalah karena dia ingat ide yang kemarin terlontar dari bi Neneng, pembantu keluarga Milly. Kali ini tak ada jalan lain, menemukan lelaki yang bisa dia bayar untuk menjadi suami pura-puranya untuk beberapa bulan ke depan. Davika sangat yakin itu tak mudah, jika dia salah memilih orang, sama artinya dia yang menggali kuburannya sendiri. Dan Davika yakin, papanya tidak akan melepaskannya. Namun anehnya, di saat otaknya kalut memikirkan semua kekusutan masalah ini, mengapa pemuda kampung yang dia temui saat mengantar bi Neneng kemarin yang justru terlintas di benaknya. “Ammar,” gumamnya dalam hati. * “Lo gila ya, Dav? Enggak lagi sakit kan lo?” tanya Milly sambil menempelkan punggung tangan pada dahi sahabatnya itu. Mereka bertiga tengah duduk di bangku sebuah cafe yang terletak tepat seberang jalan depan kampus mereka. “Ammar siapa sih? Lo berdua pada bahas siapa, sih? Gue enggak ngerti deh,” Maura menggaruk kepalanya bingung, tak paham dengan apa yang tengah kedua sahabatnya bicarakan. Saat Davika tiba-tiba mengatakan pada dirinya dan Milly bahwa seseorang bernama Ammar cocok untuk menjalankan rencananya seperti yang diusulkan oleh bi Neneng kemarin. Dan kenapa Milly terlihat terkejut? Maura benar-benar tak mengerti. “Dav, lo yakin? Cowok yang kemarin kita temui itu bahkan kita belum kenal gimana orangnya. Ketemu juga baru sekali, dapet ide dari mana lo kepikiran mau jadiin dia laki lo?” Milly geleng-geleng kepala tidak habis pikir kenapa mendadak siang ini sahabatnya itu mengutarakan ide konyol tersebut. Memang Milly akui, saran bi Neneng untuk mencari suami bayaran cukup masuk akal untuk sebuah solusi dalam kondisi Davika saat ini. Tapi tentu saja dengan resiko yang cukup besar juga, kalau sampai pernikahan yang sakral itu dijadikan mainan oleh Davika. Jika papanya tahu, Milly yakin seribu persen Davika akan menghadapi masalah yang jauh lebih berat dibandingkan saat ini. “Gue enggak punya jalan keluar lain, Mil. Lo enggak ngerti posisi gue sih, lo enggak tahu gimana kaku dan ngototnya bokap gue kali ini. Gue enggak mau nikah beneran untuk saat ini, gue belum siap.” Suara Davika meninggi, frustrasi dan dilema tentu saja. “Iya, gue tahu Dav, tapi kenapa pilihan lo ke Ammar? Lo kan lihat sendiri kemarin, dia jabat tangan lo aja enggak mau. Inget enggak apa kata bi Neneng? Dia itu orangnya agamis, gue nggak yakin dia bakalan mau bantuin lo buat nikah pura-pura.” “Terus menurut lo gue harus minta tolong ke siapa Mil? Entah kenapa gue sendiri enggak tahu kenapa dia yang terlintas di otak gue. Tapi yang pasti, Mil, Ammar bukan berasal dari lingkungan kita, jadi semua akan jauh lebih aman dari jangkauan bokap gue kan? Yang penting gue bayar, semua pasti beres kan?” ucap Davika sambil menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Lo lupa, gimana dia nolak duit yang lo kasih sebagai ucapan terima kasih kemarin?” jawaban Milly mengingatkan pada kejadian tempo hari. Davika tak habis pikir, di jaman seperti ini masih ada orang yang pura-pura jaim dan seolah tidak tertarik dengan uang seperti Ammar. Ingatan tentang pertemuannya dengan pemuda itu kembali berputar di kepalanya. Pemuda kampung yang terlihat miskin karena pakaian dan motor butut yang dia kendarai itu begitu aneh bagi Davika. Bagaimana dia menolak bersalaman dengannya juga terasa berbeda, tentu saja sebab tak ada seorang pemuda pun yang pernah menolak pesona Davika. Dan jangan lupakan dengan senyum menyebalkan yang membuat Davika terganggu namun sekaligus melekat di ingatannya. “Kalau memang dengan uang dia enggak bisa gue dapetin, maka satu-satunya cara adalah dengan bikin dia jatuh cinta sama gue.” Ucap Davika dengan suara datar namun bersungguh-sungguh, membuat Milly membanting tubuhnya bersandar ke belakang dan menepuk dahinya dengan tangannya. “Gue enggak ngerti kenapa lo keukeuh banget kali ini, Dav? Kasihan Ammar,” batin Milly dalam hati. Dirinya memilih tak menanggapi Davika lagi, lelah berdebat dengan sahabatnya itu jika sifat keras kepalanya sudah keluar seperti ini. Milly tahu Davika tak akan berhenti dan mendengarkan siapapun. Ahh, Ammar yang malang, sesuatu yang buruk tengah menghadang di depannya. “Guys ada yang mau jelasin ke gue enggak? Dari tadi gue bingung kalian bahas apaan, sumpah.” Maura benar-benar tak bisa menahan rasa ingin tahunya kali ini. Percakapan kedua sahabatnya itu terlihat begitu serius. Gadis dengan gaya stylist dan rambut yang dicat blonde itu menatap bergantian pada kedua sahabat baiknya itu. ** Seminggu kemudian... “Maaf ya, lagi-lagi saya ngerepotin mas begini,” Davika tersenyum tipis sambil berjongkok menatap Ammar yang masih berkutat dengan dongkrak dan ban mobil Davika. “Enggak apa-apa, mbak. Cuma saya heran kok bisa-bisanya ban mobil mbak bocor lagi di sekitar sini? Dan kebetulan yang nolongin saya lagi,” jawabnya dengan senyuman khass menghiasi wajahnya. Davika terkekeh kecil, “Iya ya mas, kebetulan banget. Tadi saya habis jengukin anak Bi Neneng, eh pas jalan pulang taunya bannya kempes lagi. Untung mas Ammar lewat tadi,” jawabnya dengan lancar. Tentu saja Ammar tak tahu, semua telah Davika rencanakan dengan sangat matang setelah pengamatannya pada aktivitas Ammar selama tiga hari sebelumnya. Bagaimana Davika sengaja menunggu Ammar kala pemuda itu lewat setelah pulang dari bekerja di toko sembako. Bagaimana dia berakting seolah ban mobilnya tak sengaja bocor. Tentu saja semua itu palsu, demi melancarkan rencananya. Ammar permadi namanya, usianya dua puluh lima tahun. Seperti yang Davika lihat secara fisik Ammar tidak terlalu buruk, bahkan jika mau jujur Ammar memang terlihat manis. Hanya penampilannya tidak terlalu terawat seperti teman-teman apalagi mantan-mantan pacar Davika. Pemuda itu memiliki tubuh yang proporsional, dengan kulit berwarna sawo matang, mungkin karena sehari-hari selain bekerja sebagai karyawan toko sembako, Ammar juga akan mencari rumput untuk makan ternak-ternak kambingnya. Pemuda yang bagi Davika begitu kuno dan polos. Seharusnya di usia Ammar yang terlihat masih cukup muda, lelaki itu harusnya bersenang-senang menikmati hidup. Tapi sepertinya keadaan hidup yang sederhana memaksa pemuda itu untuk bekerja keras seperti yang terlihat kini. Memang tak bisa dipungkiri, Ammar sangat ramah dan sosoknya terlihat sangat religius. Bagai sesosok kelangkaan yang bahkan sangat mustahil Davika temui di lingkungan hidupnya di kota. “Alhamdulillah, sudah beres mbak,” ucap Ammar sambil bangkit berdiri menepukkan debu dari kedua telapak tangannya. “Terima kasih ya mas, untung saya ketemu mas Ammar lagi. Kalau enggak, saya enggak tahu harus minta tolong ke siapa.” “Sama-sama mbak, kebetulan saya memang mau pulang buat makan siang. Eh ternyata ketemu mbak lagi di sini,” jawabnya sambil membetulkan letak topi kumal di kepalanya. “Oh iya mas, sebagai ucapan terima kasih, gimana kalau saya traktir mas untuk makan siang sama-sama. Kebetulan saya juga belum makan dari pagi, laper banget.” Davika berakting memegangi perutnya yang sesungguhnya tak begitu lapar. “Oh ya, ada restaurant di sekitar sini enggak?” lanjutnya. Ammar tersenyum kecil kala mendengar Davika menanyakan restaurant di kampung pelosok seperti ini. Beberapa saat Ammar tampak berpikir sejenak, ingin menolak namun rasanya tak enak hati, ingin menerima tawaran Davika, namun dirinya tak bisa. Pagi tadi sebelum berangkat, Ammar berjanji akan pulang untuk makan siang sebab nenek akan memasakkan makanan favoritnya, yaitu sayur lodeh dan ikan kembung goreng yang gurih. “Ehmm, di sini adanya Cuma warung makan sederhana mbak, tapi maaf mbak mungkin lain kali saja. Hari ini saya enggak bisa,” jawabnya, namun sedetik kemudian raut wajah Davika yang muram membuatnya tak enak hati. “Tapi saya akan senang kalau mbak berkenan mampir ke rumah saya untuk makan siang di rumah saya. Tapi yang ada Cuma masakan sederhana, mbak. Bukan makanan mewah seperti yang tersedia di restaurant atau yang biasa dihidangkan untuk orang kota,” tawarnya pada Davika. Mata Davika membeliak dan berbinar, tentu saja dia senang. Niatnya memancing teri, nyatanya justru gurameh yang dia dapatkan. Tawaran mentraktir makan siang adalah sebuah cara untuk memuluskan jalannya mendekati Ammar. Namun kini pemuda itu justru menawarkannya untuk datang ke rumahnya. Dalam hati, Davika bersorak kegirangan. “Wah, boleh mas kalau nggak merepotkan,” jawabnya bersemangat, tak ada jawaban berlagak menolak, dirinya tak akan ambil risiko untuk melewatkan saat ini. * “Assalamu’alaikum,” Ammar mengucap salam setelah mencuci kaki dan membasuh wajahnya di pancuran air sederhana di depan rumah. “wa’alaikumussalam.” Terdengar sayup-sayup jawaban salam dari dalam rumah. “Mari mbak, silakan masuk.” Suara Ammar mengejutkan Davika yang sedari tadi termangu sambil mengamati rumah milik Ammar dan keluarganya itu. Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau muda, lantainya hanya berupa plesteran semen yang tampak bersih karena disapu setiap hari. Terdapat balai-balai dipan bambu di teras yang tak begitu besar tersebut. Halamannya cukup asri dengan hiasan berbagai macam tumbuhan bunga yang ditanam pada pot-pot yang terbuat dari kaleng bekas cat tembok dan juga ember bekas. Suasana yang masih cukup asri alami jika dibandingkan tempat tinggal Davika. Davika mengangguk kala dipersilakan masuk oleh Ammar, gadis itu duduk pada dipan bambu yang hampir lapuk dimakan usia pada bagian pinggirannya. Sementara Ammar masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian seorang wanita sepuh dengan memakai jilbab yang warnanya telah pudar menutupi kepalanya tampak keluar. Wajah sepuh itu tersenyum ramah dan menghampiri di mana Davika tengah duduk. “Eh, ada tamu, kawannya Ammar ya?” sapa sang nenek tua dengan sangat ramah, Davika berdiri sambil tersenyum kaku, dan dianggukannya kepala sebagai jawaban atas pertanyaan sang nenek. “Saya Davika, bu.” Gadis itu mengulurkan tangannya pada nenek Ammar. “Saya Siti, neneknya Ammar, mari-mari silahkan,” jawab nenek Ammar sambil menerima uluran tangan Davika. Tanpa melepaskan tangan Davika, mereka berdua akhirnya duduk berdampingan pada dipan bambu tersebut. Tangan yang telah dipenuhi keriput dan kulit yang tak lagi kencang itu terasa hangat membelai dan menepuk tangan halus milik Davika, mengingatkan gadis itu akan mendiang neneknya dari pihak ibunya yang telah tiada. Ada sedikit kehangatan menelusup di dalam hatinya. “Neng cantik ini rumahnya di mana?” tanpa mengalihkan pandangan maupun melepaskan tangan Davika, nenek Ammar bertanya. Tentu ada rasa penasaran mengingat gadis yang kini tengah duduk di sampingnya itu tampaknya bukan berasal dari desa ini maupun desa tetangga. Wajahnya tak familiar, begitu pula penampilannya yang mencolok dan khas gadis kota yang modern. “Saya dari tangerang kota bu.” “oh, lumayan jauh ya neng, sudah lama kenal sama Ammar? Kala boleh tahu kenal di mana dengan cucu nenek?” sekarang rasa penasaran wanita sepuh itu kian bertambah. “Mbak, silakan minum dulu.” Ammar datang tepat waktu ketika Davika belum sempat menjawab. Ammar meletakkan dua gelas teh manis yang masih mengepul itu ke atas meja di depan Davika dan nenek Siti duduk. “Nek, sayur lodeh udah mateng? Aku udah laper.” Ammar meringis sambil mengelus perutnya membuat neneknya terkekeh. “Sudah, nenek siapkan sebentar, ajak neng Davika sekalian,” jawab sang nenek sambil beranjak meninggalkan cucunya bersama teman gadisnya yang sangat cantik itu. “Mbak kalau gitu saya mau dzuhur dulu takut kehabisan waktu, mbak mau sekalian? Bisa pakai mukena nenek di dalam ada,” tawar Ammar. “Dzu...dzuhur?” ada sesuatu yang tiba-tiba menggumpal di tenggorokannya. “Iya, sholat dzuhur, maaf mbak Davika ini muslim atau...?” kali ini Ammar yang mendadak tak enak hati. Takut terlalu lancang atas sesuatu yang belum dia ketahui tentang hal pribadi perihal kepercayaan masing-masing. “i...ya, saya muslim....” dengan canggung Davika menjawab, memang begitulah yang tertera dalam KTPnya, hanya saja dia bahkan tak ingat kapan terakhir kali menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ada kelegaan terpancar dari wajah Ammar, “Ya, sudah kalau begitu kita sholat dulu, mbak, setelah itu makan siang sama-sama.” Dengan perasaan yang tak menentu Davika mengekori Ammar. Pemuda itu membawanya ke dalam, di dekat kamar mandi, menunjukkan pancuran sederhana yang terbuat dari gerabah tanah liat untuk mengambil wudhu. Davika memperhatikan bagaimana cara Ammar mengambil wudhu, berusaha merekam dan mengingat-ingat urutan mana saja bagian tubuh yang harus di basuh. Tengkuknya terasa begitu panas ketika tiba gilirannya, suasananya bahkan menyerupai ketika ujian agama saat dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Ammar menunggunya, tapi bagi Davika hal itu terasa lebih mirip dirinya yang tengah ujian dan diawasi oleh guru. Beruntung Davika berhasil mengingat bagaimana Ammar melakukannya tadi. Gadis itu menghela napas dalam penuh kelegaan, ujian pertamanya telah lulus. Dia tak ingin reputasinya hancur di hadapan Ammar bahkan sebelum berhasil mencapai tujuannya. “Mbak Davika sholatnya di sini aja ya, kita kan bukan muhrim, jadi kita tidak bisa jamaah berdua, ini mukenanya.” Ammar tersenyum sambil menyodorkan mukena yang warnanya tak lagi putih. Meski begitu Davika bisa merasakan permukaan kain itu bersih dan wangi detergen yang masih menempel. Beberapa saat kemudian Ammar berlalu keluar, meninggalkan Davika di dalam kamar sederhana yang tampaknya milik nenek Siti. “Hahh, gue musti gimana, nih?” Davika mendesah, sambil menggigiti kuku jarinya, jujur, gadis itu tak ingat sedikitpun bacaan-bacaan sholat. Yang dia ingat hanya al-fatihah saja. Jika diingat-ingat, terakhir kali dirinya melakukan sholat adalah dua tahun lalu kala idul fitri yang bahkan tahun lalu dia malah kelupaan karena mengantuk dan tertidur hingga siang hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN