Part.06

1792 Kata
“Ammar.” Davika menggigit ujung kukunya dan memutar-mutar ponsel di tangannya sambil tengkurap di atas ranjang queen size miliknya. Ingatannya berlarian tentang kejadian tadi siang. Tentang bagaimana dirinya harus melakukan sholat yang bahkan dia sendiri lupa bagaimana caranya. Tentang bagaimana ramah dan lezatnya masakan sederhana buatan nenek Siti. Tentang bagaimana canggungnya Ammar ketika Davika mengatakan ingin mereka berdua menjadi teman dan meminta nomor pemuda itu. Pertemuannya dengan pemuda itu berhasil dengan baik, tak sia-sia baginya menempuh perjalanan ke daerah pinggiran kota itu. Semua harus berhasil sesuai rencana, meski gadis itu tak yakin akankah Ammar akan dengan mudah masuk ke dalam perangkapnya setelah tahu bagaimana alim dan lugunya pemuda itu. Yang bahkan terlihat sangat menjaga jarak dengannya. Di sudut hati Davika sesungguhnya terselip rasa tak enak hati, Ammar hanyalah pemuda biasa yang bahkan tak Davika kenal sebelumnya, namun menjadi target korban demi memuluskan rencananya. Bukan tanpa sebab Davika akhirnya memutuskan untuk menjadikan pemuda yang tak berdosa itu sebagai targetnya. Memilih pemuda dengan latar belakang orang biasa yang jauh dari lingkungannya adalah keputusan yang cemerlang. Pemuda itu tak akan tahu siapa Davika dan bagaimana pergaulannya selama ini. Davika tak ingin ambil resiko dengan melibatkan teman lelaki yang memang dia kenal. Selain karena kebanyakan kenalannya adalah pemuda b******k yang bisa saja akan memanfaatkan kesepakatan, juga sebagian yang lain pasti akan mundur karena tak ingin berurusan dengan Davika si pembuat onar, dan juga ayahnya. Ya, bisa dikatakan gadis itu tengah bertaruh dengan keberuntungannya. * Davika mengerjapkan mata, merentangkan kedua tangannya meski tubuhnya masih bergelung dengan selimut di atas kasurnya yang empuk. Jam di dinding kamarnya menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Hal yang pertama Davika lihat pagi itu adalah ponselnya, berharap pemuda kampung itu setidaknya mengiriminya pesan. Tapi nihil, selain hanya pesan dari sahabat-sahabatnya ada satu pesan dari orang yang bahkan namanya saja sudah tak ingin Davika sebut, Fabio. ‘aku mau ketemu sama kamu, aku mau jelasin semuanya, sayang.’ Bunyi pesan dari Fabio itu benar-benar membuat Davika ingin muntah. Kemana saja dia selama ini, kenapa baru sekarang b*****h itu ingin menjelaskannya? Bahkan setelah jelas-jelas mereka berdua putus. “Bodo amat!” Davika membanting ponselnya ke atas bantal. “Daaaavvv....” teriakan suara cempreng dari kedua sahabatnya itu menyambut Davika yang baru tiba di kampus. Dengan wajah berbinar dan senyum mengembang mereka menyongsong Davika dengan berbagai pertanyaan. “Gimana, Dav? Ceritain semuanya soal kemarin.” Wajah Milly tampak begitu antusias. “Eh siapa namanya tuh cowok, gue lupa?” Maura menimpali dengan raut wajah berpikir. “hihh, berisik banget sih lo pada, udah kayak wartawan aja deh!” sungut Davika sebal. “Ya kita kan penasaran, Dav, kita nanya doang,” jawab Maura sambil mengibaskan rambut blondenya yang telah diombre warna ungu bagian ujung. “Nanya apa nodong, buk?” Davika menoyor kepala Maura gemas. “Oke, gue ceritain, tapi pesenin dulu nasi goreng sama orange jus, gue laper belum sempat sarapan.” Davika menggamit lengan kedua sahabatnya itu ke kantin. “Jadi lo kemarin udah sampe diajak ke rumahnya?” Mily manggut-manggut sambil mengingat wajah pemuda yang telah beberapa hari ini menjadi target sahabatnya itu. Davika meneguk habis sisa orange jus dalam gelasnya, menyisakan buliran es batu yang belum seluruhnya mencair. “Iya, tapi orangnya kalem banget, mana alim lagi. Jadi menurut kalian, gue musti gimana , nih? Kemarin gue udah nyamperin, gue gengsi mau hubungin dia duluan. Gila aja sih, ada cowok yang anteng banget, nggak gatel gitu pengen chat-an sama gue, secara udah gue kasih nomer hape gue dengan suka rela.” Davika memasang tampang merengut, harga dirinya terasa jatuh sekali lagi untuk kali ini. “Iya juga ya, Dav? Kok ada sih cowok yang sampe nolak pesona lo?” tanya Maura yang lebih mirip ledekan. “iya juga ya, Ra? Langka banget ada cowok model begini.” Mily dan Maura tergelak, sementara Davika tampak kesal. “Eh, Dav, Dav...Fabio tuh,” bisik Maura sambil menepuk-nepuk lengan Davika, membuat Davika dan Mily serentak menoleh ke arah dimana Maura menunjuk. Benar saja, Fabio datang dengan cepat menuju ke arahnya, membuat Davika mendesah kesal. “Dav, aku pengen ngobrol sebentar sama kamu,” ucapnya begitu sampai di dekat Davika, tanpa menunggu persetujuan Fabio segera menggeser kursi dan duduk di samping Davika memaksa Mily harus beringsut menjauh. “Mau ngomong apa? Udah nggak ada yang perlu diomongin,” ucap Davika sambil menarik tangannya yang sempat digenggam oleh Fabio. “Bisa nggak, gue minta waktunya berdua sama Davika sebentar?” kali ini Fabio menatap Maura dan juga Milly, baru saja kedua gadis itu hendak angkat kaki, Davika sudah lebih dulu menghentikan mereka. “Lo berdua tetap di sini.” Maura dan Milly saling melempar pandangan satu sama lain, namun kemudian memilih kembali duduk berdampingan di seberang Davika dan Fabio. Fabio yang hanya bisa pasrah itu menghela napas berat, meski canggung namun mau tak mau Fabio harus bisa mengabaikan keberadaan para sahabat Davika itu di dekat mereka. “Lo mau ngomong apa, waktu gue nggak banyak.” Davika menatap arloji kecil yang melingkar di lengan kirinya. “Sayang aku Cuma mau jelasin sama kamu, kalau apa yang kamu lihat waktu itu Cuma salah paham. Semua itu nggak seperti yang kamu kira. Dan maaf, karena saat itu aku jadi bentak dan marahin kamu, karena aku emosi kamu nuduh aku yang enggak-enggak. Kita balikan lagi ya, aku masih sayang sama kamu.” Davika hampir saja tertawa meledak kalau saja dia tidak bisa menahan emosinya saat ini. “Kemana aja lo selama ini? Kalau emang kayak gitu, kenapa baru sekarang lo jelasin ke gue? Kemarin-kemarin lo terima aja waktu gue putusin lo, kenapa sekarang ngemis-ngemis, badut lo emang.” Davika tertawa sumbang. “Maafin aku, Dav, aku Cuma butuh waktu buat nenangin diri. Aku perlu waktu buat introspeksi diri. Tapi aku sadar, kalau aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dav.” Ratapan buaya itu bukan hanya membuat Davika saja yang muak, namun juga Mily dan Maura. “Introspeksi? Hahaha, lawak lo ya, Fab! Bukannya karena lo udah bosen sama mainan lo yang kemarin, trus lo mau mainin gue lagi, iya kan?” Davika menyeringai dengan senyum miris terluka di wajahnya. “Fab, dulu gue sayang sama lo, sampai gue bela-belain boongin bokap gue Cuma demi biar kita bisa jalan bareng, nyatanya apa, pengorbanan gue selama ini nggak lo anggep sama sekali. Enak-enakan lo jalan- jalan sama cabe-cabean kering.” “Asal lo tahu ya, Fab, gue udah lupain lo di hari dimana lo mengkhianati gue. Dan lo tahu apa? Gue udah nemuin pengganti lo yang jauh lebih baik ketimbang cowok gak tau diri kaya lo,” bual Davika, meski ada nada tidak percaya diri pada suaranya yang bergetar. “Maksud kamu apa, sayang?” Fabio mengernyitkan dahi, kedua tangannya mencengkeram dan menggoyang bahu Davika. “Lo gak denger? Lo dengerin gue baik-baik ya Fabio sialan, mending lo ke laut aja sana, karena gue dah gak tertarik lagi sama lo, cowok baru gue jauh lebih baik daripada lo.” Davika menghentakkan tangannya dan segera bangkit dari duduknya meninggalkan Fabio yang terbengong dan tak percaya. “Dav, maksud kamu apa? Gak mungkin kamu secepat ini ngelupain semua tentang kita, aku gak percaya, Dav.” Davika yang sudah melangkah menjauh, seketika berhenti dan membalik badannya ketika mendengar ucapan mantan kekasihnya itu. “Lo pikir Cuma lo aja yang bisa gampang lupain gue dan enak-enakkan selingkuh di belakang gue. Lo pikir lo siapa? Lo tahu apa yang paling gue sesalin? Gue sia-siain waktu berharga gue buat cowok b******k kayak lo!” Davika menuding tepat di wajah Fabio dengan telunjuknya. Kali ini Fabio benar-benar dibuat terkejut dan membuat pemuda itu mematung, ini di luar ekspektasinya. Bagaimanapun dia sangat tahu bahwa selama ini Davika sangat mencintainya, gadis itu rela melakukan apapun demi hubungan mereka. Fabio cukup percaya diri bahwa Davika tak akan menolaknya seperti tadi, tapi kenyataan berkata lain. “s**t!!” pemuda itu memukul udara dengan geram. “Dav, lo nggak apa-apa?” Mily mengusap bahu Davika yang naik turun. Gadis itu melihat cairan bening yang jatuh dari pelupuk mata Davika. Maura menatap Mily seolah bertanya kenapa dengan Davika, dan Mily hanya menggeleng tak mengerti. “Dav, lo baik-baik aja kan?” giliran Maura kini yang berusaha mendapatkan jawaban dari Davika. “Bohong kalau gue bilang, gue baik-baik aja. Hati gue sakit, gue masih nggak bisa lupain Fabio sedikitpun. Kalian kan tahu sendiri gimana sayangnya gue sama dia selama ini. Tapi...” Davika mendadak tersedu, buliran bening yang awalnya hanya menggenang kini luruh bagaikan air bah. “Ssshhh, gue tahu, Dav, Gue tahu. Semua nggak segampang apa yang bisa lo ucapin, gue paham. Tapi keputusan lo udah bener, apa yang lo bilang ke Fabio juga udah bener. Dia nggak pantes, Dav buat lo, asli deh. Lo bisa dapetin siapapun yang jauh lebih baik dibanding si tengik Fabio.” Mily berusaha menghibur hati Davika. Melupakan Fabio? Davika tahu ini tidak akan semudah yang terlihat. Hatinya sudah terlalu dalam mencintai pemuda itu. Fabio mungkin bukan pria yang baik, ya, sebenarnya Davika sendiri menyadari akan hal itu. Tapi bersama Fabio, Davika bisa menjadi dirinya sendiri. Pria itu pun terlihat mencintainya tanpa cela selama ini. Meski kenyataannya? Entahlah! * Seminggu berlalu sejak hari dimana Davika bertandang ke rumah Ammar kala itu. Dan yang paling membuat Davika jengkel, pemuda kampung itu bahkan tak pernah berinisiatif untuk menghubunginya terlebih dahulu. Dan ketika Davika mengalah pada egonya kemudian menghubungi Ammar terlebih dahulu jawaban yang dia terima hanyalah kalimat singkat yang justru semakin membuatnya kesal. Ammar adalah satu dibanding seribu dari model lelaki yang pernah Davika kenal. Mengapa pemuda itu terlihat tak tertarik padanya. Apa ada yang salah dengan dirinya? Secara fisik, jelas tak ada cela pada diri gadis itu. Dia cantik, menarik dan juga berasal dari keluarga yang sangat mapan. Puluhan pemuda akan rela berbaris dan berlutut di hadapannya. Lalu kenapa Ammar berbeda? Bahkan di saat Davika sendiri telah menawarkan sebuah pertemanan. Hal ini membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sebuah tantangan. Kali ini motivasinya untuk mendekati Ammar bukan hanya semata-mata demi melancarkan tujuannya, tapi juga untuk membuktikan bahwa tak akan ada seorang pemuda pun yang akan menolaknya, termasuk pemuda kampung bernama Ammar itu. Karena Davika Azzura tidak suka ditolak. “Enggak ada cara lain, gue yang harus bener-bener ngedeketin dia,” gumamnya. Bergegas Davika bersiap untuk mandi, dan akan mengunjungi Ammar. Tekadnya sudah bulat, dirinya sudah kepalang basah, tak ada alasan untuk mundur sekarang. Tak lagi perduli dengan gengsi. Perjalanan dari rumahnya menuju rumah Ammar memakan waktu yang lumayan, yaitu dua jam. Dengan mengendarai mini cooper berwarna merah kesayangannya Davika melaju dengan kecepatan sedang. Setelah sebelumnya gadis itu menghubungi Ammar dan mengatakan dirinya sedang dalam perjalanan menuju ke sana. “tapi saya masih kerja, mbak,” jawab Ammar dari seberang sana. “Kalau gitu, aku mampir ke tempat kerja kamu ya, sampai ketemu.” Davika mematikan panggilannya. Tak perduli Ammar mau beralasan seperti apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN