Beberapa pasang mata tertuju pada Davika yang tengah duduk di bangku panjang tepat di depan sebuah toko sembako yang tampak sedikit ramai oleh pengunjung. Hari masih belum terlalu sore, matahari masih cukup terik. Keberadaan Davika dengan tampilan ala gadis muda yang berpakaian serba mewah dan bermerek itu benar-benar terlihat mencolok di lingkungan desa seperti ini.
Senyum Davika terbit di kedua sudut bibirnya saat melihat seorang pemuda dengan kaos usang dan penuh dengan rembesan keringat itu datang menuju tempat dimana dirinya tengah duduk dan menunggu. “Sudah lama, mbak?” tanyanya ramah sambil mengusap peluh yang mengalir di dahinya dengan punggung tangan.
Davika menggeleng. “Belum, baru aja kok,” jawabnya sambil menggeser posisi duduknya memberi ruang untuk Ammar duduk di sampingnya. Tapi pemuda itu justru menarik sebuah kursi plastik yang terletak di sudut untuk dia duduki alih-alih duduk di samping gadis cantik yang beberapa hari ini telah dia kenal.
“Sebenarnya ada perlu apa mbak Davika mau ketemu saya?” jujur saja, wajar kiranya bila Ammar bertanya-tanya mengapa gadis kota yang baru dia kenal itu sampai rela jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya.
Lagi, Davika menggeleng. “Nggak apa-apa, Cuma pengen ketemu aja.” Begitu santai jawaban gadis itu, seolah tak ada beban saat mengucapkannya. Sementara Ammar mendadak gelagapan, tentu saja, bagaimanapun Ammar adalah pemuda normal, hatinya terasa lucu dan aneh saat seorang gadis cantik mengatakan rela jauh-jauh datang hanya untuk berjumpa dengannya. Ada bunga besar yang rasanya mendadak mengembang memenuhi rongga dadanya, apa dia spesial? Ammar menggeleng mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang melambungkan dirinya sendiri saat ini. Dia harus kembali ke tanah sekarang, pada realita bahwa dia hanyalah pemuda kampung dengan pekerjaan kasar. Terlalu berlebihan rasanya bila kedatangan Davika ini membuatnya berpikiran terlalu jauh. Hey, lihatlah, Davika gadis kota yang sangat cantik, berpendidikan dan tentu saja kaya. Pemuda mana yang tidak akan jatuh cinta pada pandangan pertama? Hanya orang buta sepertinya.
“Kakek sama nenek kamu apa kabar?” tanya Davika memecah keheningan dan rasa canggung yang tadinya menyerang Ammar.
“Alhamdulillah semuanya sehat mbak,” jawabnya tersenyum namun tak berani menatap mata gadis itu.
“oh, syukur deh kalau gitu, habis ini aku boleh main ke rumah?” Sebenarnya itu terasa seperti bukan sebuah pertanyaan, tapi penekanan bahwa Davika akan datang ke rumah Ammar.
“oh boleh mbak, tapi saya selesaikan kerjaan saya dulu, belum beres.”
Baru saja Davika hendak mengangguk, tiba-tiba seorang gadis cantik dengan hijab lebar berwarna ungu lembut hingga menutupi dadanya datang dengan membawa baki berisi dua gelas air putih.
“Abah bilang ada tamu yang cari kak Ammar, makanya Fiah bawain minum,” jelas gadis itu menatap Ammar lembut, sejurus kemudian gadis yang menyebut dirinya Fiah itu menatap Davika sambil tersenyum dan mengangguk. “Silahkan diminum, mbak,” ucapnya lagi sambil memindahkan gelas dari baki itu pada bangku panjang di samping Davika. Davika mengangguk dan tersenyum dengan canggung.
“Oh, iya, Fiah kenalin, ini mbak Davika, teman saya. Mbak Davika ini Zafiah, anak dari pak Haji pemilik toko ini,” terang Ammar sambil bergantian menatap kedua wanita yang sama-sama cantik namun berpenampilan bagai bumi dan langit.
Zafiah memang cantik alami, Davika yang seorang wanita saja bisa melihat bahwa gadis yang tampaknya jauh lebih muda dari dirinya itu memang cantik meski tanpa polesan makeup apapun yang menempel di wajahnya. Wajahnya putih bersih dengan pipi yang tembam dan merona, bulu matanya lentik, terlihat seperti menari-nari saat gadis itu berkedip. Pakaiannya pun begitu syar’i dan tertutup, sangat anggun. Tapi satu yang mengganjal di benak Davika, cara gadis itu menatap Ammar benar-benar berbeda. Ada rasa kekaguman atau entah apa namanya terpancar begitu jelas dari sorot lembut mata gadis itu. Apa mereka memiliki hubungan? Davika menarik napas dengan berat, sepertinya semua tidak akan berjalan mudah seperti yang dia harapkan.
“Davika,” ucapnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya, jemari tangan dengan kuku jari yang runcing dihiasi dengan cat berwarna tosca dan gliter sebagai hiasannya. Dengan sedikit canggung gadis cantik dengan hijab panjang itu menjulurkan tangan, meraih tangan Davika dan menyebutkan namanya, “Zafiah,” ucapnya pelan disertai anggukan kecil. Tangan gadis itu terasa dingin kala menempel di permukaan kuit Davika, dia bisa merasakan itu dengan pasti.
Cara gadis itu memandang Davika juga terasa berbeda, iya, gadis itu memanglah tersenyum, bahkan terlihat begitu ramah dan hangat, tapi Davika juga perempuan, dia bisa melihat bagaimana ada sedikit tatapan tidak suka yang mampir di sekelebat tertangkap pandangannya.
Atmosfer di tempat itu mendadak terasa canggung, udara menjadi lebih berat hanya sekedar untuk bernapas. Davika meneguk air putih yang dihidangkan Zafiah, tanpa kata.
*
Udara sore berembus halus, menerbangkan helaian rambut kemerahan milik Davika. Gemericik bunyi air di kolam sederhana yang berisi ikan gurame yang masih kecil-kecil itu menjadi nyanyian alam tersendiri yang jarang Davika jumpai.
Ammar duduk beberapa jengkal di sampingnya, menjaga jarak, memainkan helaian rumput yang bunganya kering dan kecoklatan. Keduanya duduk tanpa alas, hanya rerumputan hijau tepat di bawah pohon mangga yang sedang berbunga di samping kolam sederhana miliknya, yang beberapa tahun lalu dirinya dan sang kakek buat dengan kedua tangan mereka sendiri.
Ammar telah menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, dan disinilah mereka berdua, setelah sebelumnya Davika menemui sang nenek yang sangat ramah dan juga kakek Ammar yang sedang memandikan ayam jago di samping rumah tadi.
“Yang tadi itu pacar kamu?” pertanyaan Davika cukup membuat Ammar terhenyak. “Siapa? Maksud mbak, Zafiah?” tanyanya kali ini menatap lurus pada Davika.
“Iya, dia kelihatan suka banget sama kamu,” balas Davika sambil membalas tatapan mata Ammar tanpa keraguan, membuat pemuda itu segera menundukkan pandangannya.
“Ah, bukan mbak, dia kan anak majikan di tempat saya kerja,” jawabnya masih menunduk.
“Tapi kelihatan banget dia itu suka sama kamu, memangnya kamu nggak suka sama dia? Zafiah itu kan cantik.” Davika tidak berbohong ketika mengatakan bahwa gadis yang tengah mereka bicarakan itu cantik, karena memang begitulah kenyataannya.
“Saya suka sama Zafiah...,” ucapan Ammar menggantung di awang. Ada degup halus yang mendadak mendera relung hati Davika. Bukan cemburu, tapi seperti bahwa dirinya akan kalah bahkan sebelum memulai peperangan. Akan ada kesia-siaan tentang usahanya beberapa waktu ini. Ammar satu-satunya harapannya untuk melepaskan diri dari aturan otoriter sang papa. Tapi tentu saja semua akan gagal dan sia-sia jika Ammar memang memiliki gadis yang dia cintai. Merebut kekasih orang lain? Oh ayolah, Davika tidak sejahat itu.
“...Seperti adik saya sendiri, hanya itu,” Lanjut Ammar membuat napas Davika yang sempat tertahan berembus penuh kelegaan. Senyuman kecil terbit di sudut bibirnya, senyuman yang sempat tertangkap oleh mata Ammar. Kali ini Ammar yang memejamkan mata, mengenyahkan sesuatu yang tidak masuk akal yang akhir-akhir ini menelusup masuk ke dalam otaknya dan menari-nari tak tahu diri. Mengapa Davika tersenyum saat dirinya menjelaskan tak ada hubungan apapun antara dia dan Zafiah? Apa Davika bahagia karena kejelasan statusnya? Bolehkah Ammar berpikir tentang hal itu sedikit saja?
“Kamu nggak punya pacar?” Davika makin terdorong untuk lebih mendekatkan diri, waktunya tak banyak, dia harus bergerak cepat. Gadis itu bisa melihat dengan sangat-sangat jelas bahwa berulang kali Ammar tersipu sejak tadi. Bukankah itu sinyal yang bagus?
Ammar kehilangan kata-kata, hanya gelengan kepala sebagai jawaban. “Tapi pernah pacaran kan?” ahh, Davika benar-benar sudah kehilangan akal untuk berhenti, padahal wajah Ammar sudah mirip udang rebus. “Belum, mbak,” jawabnya sambil masih menunduk dan memainkan rumput tadi.
Hampir saja Davika berteriak tak percaya, kalau saja dirinya tidak sedang dalam misi untuk menaklukkan hati pemuda itu, tentu saja dia akan tertawa terbahak-bahak. Bagaimana masih ada manusia di jaman ini yang begitu kuno seperti Ammar ini. Apa dia hidup di dalam gua hingga tak tersentuh oleh modernisasi.
“Serius? Sekalipun belum pernah?” Davika benar-benar tak percaya, mata gadis itu membulat sambil memindai pemuda di hadapannya itu. Ammar sebenarnya cukup tampan, murah senyum, hanya saja penampilannya memang tak terurus. Bajunya tak terlihat bagus, kulit tubuhnya juga tidak putih dan bersih mengingat bagaimana kerasnya pekerjaannya setiap hari.
“Iya mbak, saya memang nggak mau pacaran, kalau memang ada jodohnya, saya maunya ta’aruf saja dan langsung menikah. Pacaran itu sama halnya mendekati zina, saya takut mbak,” jelasnya dengan gamblang. Dua kali Davika dibuat terkejut dengan penuturan pemuda itu. Otaknya tiba-tiba kosong, bingung sekali dengan cara berpikir Ammar yang kolot seperti itu.
Taaruf kemudian menikah? Hampir saja Davika menyemburkan tawanya tepat di muka Ammar kalau saja otak kecilnya yang licik tak menahannya dengan pemikiran relalistis. Bukankah itu bagus? Seorang pemuda kampung yang polos? Yang bahkan belum pernah sekalipun dekat dengan perempuan. Bahkan memiliki pemikiran yang kolot dan sangat kuno, bukankah itu lebih mudah untuk dikelabui? Ah, Tuhan begitu baik padanya, mengirimkan pemuda malang ini untuk melancarkan semua rencananya dengan jauh lebih mudah. Davika pasti melakukan perbuatan yang sangat baik di kehidupannya dahulu, sehingga tuhan membantunya di saat seperti ini.
“Memangnya gadis seperti apa yang kamu mau?”
Ammar mengangkat wajahnya, matanya memicing menatap langit yang menguning, pemuda itu menggigit sudut bibirnya sendiri seolah menerawang mencari jawaban di atas sana. “Saya suka perempuan yang keibuan, pintar masak, pintar mengaji dan yang paling penting ibadahnya bagus.”
Jawaban telak itu seperti sebuah bogem mentah yang dilayangkan tepat di wajah Davika namun terasa menembus hingga ke ulu hatinya. Pintar memasak? Davika tak ingat kapan dirinya masuk ke bagian rumah yang disebut dapur untuk hal yang dinamakan memasak. Ada beberapa orang pembantu yang siap menyiapkan segala kebutuhannya. Membedakan gula dan garam saja Davika tak becus. Lalu apa yang tadi Ammar katakan? Rajin beribadah? Ah haruskan Davika mundur sekarang? Bukankah sudah jelas tentang hal itu, Davika saja lupa caranya berwudhu kalau saja hari itu dia tak melihat bagaimana Ammar melakukannya.
“Ah, sayang banget, aku nggak bisa masak dan aku nggak pinter ngaji. Tapi aku berharap suatu hari dapat suami yang bisa bimbing dan ngajari aku,” katanya, bagai umpan yang menunggu dimakan oleh si ikan yang malang.
Davika melirik sebentar demi mendapati raut wajah apa yang ditampilkan oleh pemuda lugu itu. Bersemu, tentu saja, memangnya apa lagi? Davika yakin usahanya tak sia-sia. Memangnya siapa yang bisa menolak pesona Davika Azzura? Ammar yang terlihat percaya diri di pertemuan pertama mereka kala itu saja kini berubah dan bisa dia taklukan bukan?
Ammar berdehem sebentar meredam gugup yang tercipta, percakapan seperti ini tidak baik bagi hatinya yang lugu dan polos.
“Oh iya sejujurnya saya penasaran kenapa mbak Davika mau menemui saya? Apa sebenarnya ada sesuatu yang penting?” Ammar mengalihkan pembicaraan.
“Nggak ada, aku seneng aja datang kesini. Rumah kamu nyaman, suasananya masih alami. Kadang-kadang rasanya jenuh juga di kota dengan aktifitas yang monoton, teman-teman yang sibuk dan Cuma berkumpul saat bersenang-senang.” Davika tidak sepenuhnya berbohong akan hal itu, suasana rumah Ammar memang sedikit membuatnya tenang. Tapi untuk urusan teman dan bersenang-senang apa dia bersungguh-sungguh? Tentu saja tidak, Davika dan foya-foya adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Foya-foya adalah nama tengahnya.
Ammar mengangguk, tak menyangka gadis kota seperti Davika yang awalnya dia pikir hanya gadis yang menganggap semuanya bisa diselesaikan dengan uang adalah gadis yang memiliki pemikiran dewasa dan menghargai keadaan lingkungan desa seperti ini. Buktinya dia mau datang jauh-jauh karena memang menyukai tempat kelahirannya itu yang bahkan jauh dari modern, satu nilai plus yang Ammar sematkan pada diri Davika. Ah Ammar yang malang.
“Dan lagi, aku seneng punya temen yang baik seperti kamu, kamu mau kan temenan sama aku?”
Ammar terhenyak oleh ucapan Davika, tidakkah cukup sebagai kenalan saja? Bahkan gadis kota yang cantik dan baik hati ini menawarkan sebuah pertemanan. Apa yang harus Ammar katakan, pemuda itu bercermin pada dirinya sendiri. Apa dia cukup pantas menerima itu?