Sejak hari dimana sang papa menyetujui syarat yang dia ajukan tentang calon suami kala itu, papanya tak pernah lagi membuka mulutnya untuk sekedar berdebat. Pria itu memberi Davika sedikit ruang untuk bernapas dari kekangan dan komandonya. Hal itu Davika gunakan sebaik mungkin untuk semakin mendekati Ammar.
Davika tahu waktunya tak banyak, papanya tak akan berdiam selamanya. Dirinya tahu pria seperti apa papanya itu, sangat keras kepala. Sebelum kesabaran sang papa habis untuk menunggunya dan kembali menyodorkan pernikahan dengan calon yang tidak bisa dia bantah, maka lebih baik bagi Davika untuk bergegas mendapatkan Ammar.
Ini hari sabtu, sejak pagi Davika berkutat di dapur ditemani sang asisten rumah tangga menyiapkan makanan. Ya, benar, meski hampir mustahil tapi Davika memang sedang memasak. Memasak! Perlu penekanan di setiap suku katanya. Jangankan sang mama, bahkan bibi yang biasanya menyiapkan makanan untuk sang tuan putri itu pun terkejut saat gadis itu memintanya untuk mengajarinya memasak. Bukan makanan berat, hanya brownies panggang yang akan dia bawa untuk menemui Ammar. Tentu saja untuk mengambil hatinya, memangnya untuk apa lagi Davika rela bersusah payah di dapur dan merusak kuku jarinya yang cantik. Davika berharap semua pengorbanan ini akan sepadan dengan hasilnya.
“Tumben sih anak mama yang cantik mau masuk dapur? Bikin apa sih itu?” tanya sang mama sambil melongok kedalam mixer yang tengah berputar dengan adonan coklat teraduk di dalamnya.
“Kan biar bisa jadi istri yang baik, ma.” Jawaban yang sekaligus bermakna sindiran. Mamanya memilih tak lagi mendebati sang putri, membiarkan gadis itu melakukan apa yang ingin dirinya lakukan justru lebih baik dan aman untuk ketenangan. Menyinggung soal pernikahan dan perjodohan hanya akan membuat keadaan menjadi kacau. Wanita paruh baya yang anggun itu tahu baik suami maupun putrinya sama-sama keras kepala. Diam di tengah dan tak berpihak adalah hal yang paling bijak.
*
“Siap.” Davika tersenyum dengan puas memandangi brownis buatan tangannya sendiri yang kini telah terbungkus rapi di dalam kotak kue dengan hiasan pita berwarna emas yang sangat cantik. Ini benar-benar pertama kali bagi dirinya menghasilkan sesuatu yang benar-benar dapat dimakan. Baiklah, sejujurnya bibi banyak membantu demi menciptakan mahakarya berwujud brownis ini. Ah, sebenarnya bukan banyak membantu, tapi kelihatanya justru Davika-lah yang membantu dan selebihnya bi Narti yang membuatnya. Tak apa, setidaknya ada sentuhan tangan Davika dalam proses pembuatannya, sebuah pencapaian yang luar biasa bukan?
Davika telah berdandan cantik, sejujurnya hari ini gadis itu memberikan sentuhan lebih pada penampilannya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan yang tak boleh gagal. Karena ada dua hal yang membuat ini harus berhasil, pertama Davika tak suka kegagalan, dan yang kedua jika ini gagal maka tamatlah hidup Davika mulai detik itu juga.
Ini telah kesekian kalinya Davika bertandang ke rumah Ammar. Sejujurnya ada perasaan lain yang tak Davika pahami, tentang bagaimana hangat dan ramahnya kedua kakek dan nenek pemuda itu terhadapnya. Bagaimana mereka menerima kehadiran Davika dengan sangat baik sejauh ini. Ada sedikit perasaan bersalah di sudut hatinya yang paling dalam. Bagaimana dia dengan sengaja mendekati cucu kedua lansia itu untuk kepentingannya sendiri, dengan sengaja ingin memanfaatkan kebaikan dan ketulusan mereka semua. Davika memang bukan gadis yang bisa dikatakan baik, tapi dirinya bukan batu yang tak memiliki hati nurani. Tapi sekali lagi, dia tak punya pilihan lain selain ini.
“Assalamu’alaikum,” salamnya tepat setelah turun dari mobil yang dia kendarai. Davika kini telah terbiasa dengan ucapan salam yang bahkan sebelumnya tak pernah sekalipun mampir menghiasi bibir indahnya. Mengenal Ammar membawa hal positif yang tak Davika sadari.
“Wa’alaikum salam,” jawab sosok pemuda yang memang hendak Davika jumpai, seiring dengan tubuhnya yang menyembul keluar dari balik pintu. Pemuda itu tersenyum manis, dengan rambut yang masih basah. Davika bisa mencium aroma sabun dan juga shampoo menguar dari tubuh Ammar. Untuk beberapa detik Davika hampir terbius oleh pesona pemuda kampung itu, yang bahkan tak pernah Davika sadari sebelumnya. Dan Davika memang tak akan pernah mau untuk menyadari itu, tujuannya masih sama tak akan goyah oleh perasaan yang justru akan menjadi bumerang baginya kelak.
Tak butuh waktu lama untuk Davika menguasai diri kembali, gadis itu membalas senyuman Ammar tak kalah manis, membuat pemuda itu menunduk dan membuang pandangannya dari Davika. Satu poin lagi yang Davika peroleh, tentu saja karena hari ini Davika jauh lebih cantik dari biasanya.
“Oh iya, hari ini aku belajar bikin kue, aku harap kamu suka,” ucapnya sambil menjulurkan kantong berisi kotak kue yang sedari tadi dia bawa. Ammar menatap benda yang diulurkan oleh gadis itu dengan mata yang berbinar, sejurus kemudian pemuda itu menatap takjub dan tak percaya pada wajah Davika. Davika menangkap sorot kekaguman yang tak bisa Ammar sembunyikan di balik senyumannya. Satu lagi poin untuk Davika. Gadis itu bisa merasakan aroma kemenangan yang manis, usahanya tak akan sia-sia, dirinya telah bertaruh dengan nuraninya, maka dia pasti akan berhasil.
“Ini mbak buat sendiri?” Ammar takjub dan bahagia di waktu yang bersamaan. Davika mengangguk. “Iya aku buat sendiri khusus buat kamu....”
Ada rasa hangat menjalari d**a Ammar menembus hingga membakar kulit wajahnya. Perasaan yang meluap yang tidak lagi bisa dia bendung itu terbias jelas melalui rona merah jambu di pipinya. Lagi-lagi satu poin untuk Davika, gadis itu tetap tenang meski bersorak dalam hati. Semuanya akan mulus bukan? Ah, papa, anak gadismu ini bukan gadis bodoh yang bisa diatur seperti halnya Siti Nurbaya, dia jauh lebih licin dari belut dan cerdik seperti musang.
“Makasih mbak, seharusnya mbak tidak perlu repot-repot.’ Ammar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pemuda itu mempersilahkan Davika duduk dengan gerakan tangannya.
“Aku nggak keberatan direpotkan kalau cuma bikin kue buat kamu, aku juga mau jadi istri yang baik, jadi nggak ada salahnya kan aku belajar masak sesuatu meski yang sederhana.” Rasa-rasanya Davika ingin muntah oleh ucapannya sendiri, jadi istri yang baik, haha hatinya terasa geli.
Ammar semakin salah tingkah oleh ucapan-ucapan Davika yang semakin melambungkan perasaannya. Kasihan, benar-benar pemuda malang yang terlihat seperti kelinci putih yang terjebak dalam sarang harimau. Pemuda itu berdehem kecil salah tingkah. “Saya ambil piring dan pisau buat motong dulu ya mbak,” ucapnya mengalihkan pembicaraan dan melesat masuk ke dalam rumah secepat angin.
Ammar masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang terasa panas dengan air dingin. Ini tidak benar, Ammar mengumpat dalam hati. Mengumpati dirinya sendiri yang tak tahu diri, menganggap ucapan-ucapan Davika spesial dan membiarkan angan-angan kosong itu melambungkan mimpinya. Ammar tak berpengalaman tentang wanita, dari dulu hidupnya terlalu lurus dan monoton. Bukan tak ada gadis yang menyukainya, hanya saja dulu Ammar berpikir belum waktunya, dan seperti prinsip yang memang dia anut dengan kuat, bahwa tak ada hubungan sebelum menikah kecuali taaruf.
Tapi kehadiran Davika yang tak disengaja itu membuat perasaan baru yang berkecamuk dalam dirinya. Bagaimanapun kini dia seorang pria dewasa, bukan lagi remaja kaku yang lebih sering menunduk dan tak melihat gadis disekitarnya. Davika berbeda, Ammar sadar betul akan hal itu. Gadis itu berbeda dalam segala hal, kecantikan dan bentuk visualnya yang nyaris sempurna adalah hal yang terbantahkan. Gadis itu juga sangat baik, nyatanya status sosial mereka yang berbeda tak menghentikan gadis itu untuk menawarkan pertemanan dengan dirinya.
Pemuda itu menggeleng cepat, kemudian bergegas untuk keluar kembali. Saat dirinya mencapai ambang pintu menuju teras, sayup-sayup Ammar mendengar suara Davika dan neneknya tengah berbincang. Senyum Ammar mengembang demi melihat interaksi antara dua wanita berbeda zaman itu sekarang di depan kedua bola matanya. Davika dan sang nenek duduk berdampingan, berbincang dengan hangat, sesekali tersenyum, Davika mengelus tangan keriput wanita tua itu dengan penuh kasih. Lagi-lagi perasaan hangat itu hinggap di hati Ammar. Davika bukan hanya cantik parasnya, namun juga hatinya, seperti itulah dia dimata seorang Ammar kini.
*
Sepertinya tepi kolam telah menjadi tempat favorit bagi Davika di rumah keluarga Ammar. Terbukti gadis itu lebih suka berbincang di sana sambil menikmati udara yang berembus, membuat suara gemerisik dari dedaunan yang menari diterbangkan angin. Ada kenyamanan yang tercipta secara alami dan membuat hatinya terhubung dengan tempat itu.
Ammar diam tak banyak bicara, berusaha keras menjauhkan angan-angan yang sesekali mampir di benaknya. Keberadaan Davika di sekitarnya merupakan anugerah sekaligus cobaan yang berat. Mati-matian untuk tidak jatuh cinta pada gadis itu adalah kemustahilan yang paling nyata dan tak terbantahkan. Sementara Davika tengah menyusun ribuan kata di dalam otaknya, memilih apa yang akan dia ucapkan sebagai anak panah yang harus membidik tepat pada mangsanya.
“Ammar...,” ucapan Davika menggantung, namun begitu suara gadis itu menyebut namanya bagaikan nyanyian paling merdu di muka bumi ini yang pernah pemuda itu dengar selama hidupnya.
“Ya, mbak,” jawabnya sambil menoleh.
“Davika!” tegas Davika menyebut namanya sendiri, entah sudah berapa puluh kali gadis itu meminta Ammar memanggilnya dengan nama, tapi tak pernah Ammar indahkan. Bukan tak ingin, tapi pemuda itu merasa rendah diri dan tidak cukup pantas memanggil nama langsung pada Davika.
“i...iya mb....”
“Davika saja!” potong Davika dengan cepat.
“iya, D...Davika,” ucapnya kemudian, Ammar meneguk ludahnya sendiri dengan kasar.
Davika tersenyum puas, jarak yang Ammar ciptakan dengan terus menerus memanggilnya dengan sebutan ‘mbak’ itu akhirnya bisa dia singkirkan. Tidak akan baik untuk rencananya jika Ammar terus memberi jarak diantara mereka bukan?
“Aku boleh tanya sesuatu?” Davika sudah memulai, tak ada jalan mundur sekarang.
“Silakan,” jawab Ammar, dahinya sedikit berkerut, hal apa yang membuat Davika harus permisi terlebih dahulu sebelum bertanya.
Davika menelan ludahnya, tenggorokannya sedikit kering, ada sesuatu yang terasa tercekat di sana.
“Menurut kamu, aku ini perempuan seperti apa? Apa...masuk kriteria seperti calon istri yang kamu harapkan? Aku memang nggak bisa masak, tapi aku sedang belajar, aku juga tidak pandai mengaji, tapi...apa mungkin ada kesempatan untuk aku mencoba?” tangan Davika terasa dingin sekarang, jawaban Ammar akan menjadi penentu hidup dan matinya kini.
Seperti ada petir yang mendadak menyambar tepat di atas kepala Ammar. Otaknya mendadak kosong, ingin rasanya Ammar menampar pipinya sendiri atau mencubit lengannya sendiri. Apa dia sedang bermimpi sekarang ini? Atau ada yang salah dengan pendengarannya?
“m...maksud kamu apa?” tanyanya dengan wajah yang hampir memucat keseluruhan.
“Aku suka sama kamu, apa aku punya kesempatan untuk jadi istri kamu?”
Kalimat Davika membuat telinga Ammar mendadak berdengung, kali ini dia benar-benar mencubit lengannya, sakit. Artinya semua ini adalah kenyataan, bukan mimpi. Davika yang tepat berada di sampingnya, yang tengah dia tatap tanpa berkedip, yang baru saja menyatakan perasaannya itu adalah kenyataan.
Ammar merasakan hatinya dipenuhi kembang api, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata, namun sekaligus rasa takut yang besar. Realita membanting dirinya secepat angin, kenyataan bahwa siapa Davika dan siapa dirinya.
Apa pantas dirinya menerima perasaan gadis itu? Bagaimana kata orang nanti, bagaimana kata orang tua Davika nanti. Ammar hanyalah pemuda miskin yang hidup dengan kakek dan neneknya yang merupakan orang kampung, dia hanyalah anak piatu yang bahkan tak pernah melihat atau bahkan tahu tentang ayahnya. Apakah lelaki yang dia sebut sebagai ayah masih hidup atau tidak.
Sedangkan Davika? Bahkan bumi dan langit saja masih tak cukup untuk menggambarkan betapa jauh perbedaan dan kasta di antara mereka. Seandainya Ammar menerima, akankah dirinya sanggup memenuhi kebahagiaan untuk Davika?