"Pandanglah hari ini. Kemarin sudah menjadi mimpi. Dan esok hari hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini yang sungguh nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok sebagai visi harapan." -- Alexander Pope.
Dinda menelungkupkan kepalanya di atas meja belajar, menutup mata, diam.
Setelah melihat ayahnya kemarin, Dinda jadi makin banyak diam, walau dia sudah menjalani hari seperti biasa, berangkat ke sekolah, sarapan bersama keluarga Heni dan mengerjakan semua tugas sekolah yang tertinggal.
"... Din... Dinda... Dinda!" Heni sudah berulang kali memanggil nama Dinda, tidak ada reaksi apa pun dari Dinda.
Heni menatap Zahara, menghela nafas.
"Dinda, kami gak mau makan siang?" tanya Zahara yang berdiri memegang kotak makan siangnya.
Teman-teman sekelas mereka berbisik-bisik, bertanya-tanya kenapa Dinda bisa masuk sekolah lagi setelah satu bulan hilang tanpa kabar apa-apa, mereka menganggap sekolah tidak adil, Dinda seperti anak emas di sekolah.
Heni melotot kesal pada mereka yang masih berbisik-bisik. Anak-anak itu tidak mengubris, malah langsung keluar kelas.
Sampai jam pulang sekolah, Dinda langsung memakai tasnya di punggung, menunggu Heni mengeluarkan kertas-kertas remukan di lacinya. Saat Dinda melirik ke arah pintu, mata Dinda berpapasan dengan Fauzi yang hendak keluar kelas.
Dinda langsung mengalihkan pandangannya, malas melihat laki-laki satu itu. Fauzi adalah laki-laki kedua yang dibenci oleh Dinda setelah ayahnya.
Fauzi menundukkan pandangannya, merasa bersalah. Fauzi ingin meminta maaf pada Dinda, namun Heni sudah melarangnya untuk mendekati Dinda. Fauzi memilih pulang.
Putra yang baru saja selesai mengerjakan mata kuliah langsung ke parkiran, mau bertemu dengan Heni hari ini, sekaligus berbicara dengan Fauzi, yang telah melecehkan Dinda.
"Put, lo langsung pulang? Kita habis ini ada tugas kelompok!" sorak Heru berlari-lari kecil mengejar Putra, disusul oleh Edo dan Pito yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.
"Iya, entar gue ke tempat ngerjain tugasnya, gue ada keperluan bentar, pasti gue nyusul nanti kok." Putra memasang helm, mengernyitkan keningnya karena cuaca amat panas.
"Ya udah deh, kali ini aja, besok-besok kalau lo kabur lagi lo kerjaan tugas kelompok sendiri ya." Heru tertawa kecil, menepuk bahu Putra. Heru tidak sedang bercanda, dia benar-benar serius.
Edo melotot pada Heru. Pito hanya tetap sibuk dengan game online-nya.
Putra mengangguk pelan. "Iya-iya, tenang aja. Gue jamin kali ini aja kok. Dah dulu ya, bye!" Putra langsung menarik gas, pergi meninggalkan ketiga temannya itu.
Di waktu yang sama Dinda pergi ke ruang kepala sekolah ditemani oleh Heni dan Zahara. Hanya Dinda sendiri yang masuk ke ruang kepala sekolah, kedua sahabatnya itu menunggu di luar.
"Apa kabar Dinda?" tanya kepala sekolah berbasa-basi.
"Baik Pak," jawab Dinda sambil menganggukkan kepalanya.
Kepala sekolah menghela nafas, menatap Dinda dengan serius kini. "Kamu tau sudah berapa lama kamu meliburkan diri?"
Dinda mengangguk.
"Ini sekolah negeri, Dinda. Kamu tak bisa seenaknya libur selama sebulan lebih, saya dan guru-guru lain sengaja memberi kompensasi padamu mengingat bagaimana keadaan keluargamu, dan juga nilai-nilaimu cukup baik jadi pihak sekolah sangat menyayangkan jika kamu harus dikeluarkan. Kamu tau itu?"
Dinda mengangguk kembali.
"Ehm!" Kepala sekolah mendehem pelan, tak sampai hati melihat ekspresi bersalah Dinda. "Begini saja Dinda, kamu tetap bisa bersekolah asal kamu tidak pernah izin lagi, yah jika kamu sedang sakit, silahkan izin untuk beberapa hari sampai keadaanmu membaik, di luar itu tidak ada izin. Yang terpenting mulai dari sekarang, kamu harus aktif ikut kegiatan di sekolah ini, harus ikut olimpiade, tergabung di osis atau duta sekolah kita."
Dinda menggeleng, tidak mau. "Maaf Pak, saya tak bisa ikut organisasi."
"Kamu lebih memilih dikeluarkan dari sekolah?"
Dinda terdiam, tidak berkomentar lagi.
"Besok temui saya di sini lagi, saya tunggu jawabanmu. Nah, kalau begitu sekarang kamu boleh pulang."
Dinda mengangguk, langsung berdiri, menyalimi kepala sekolah, mengucap salam.
Sampai di ruangan kepala sekolah, Heni dan Zahara langsung memasang ekspresi wajah penasaran, bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan di ruang kepala sekolah.
Tepat saat itu ponsel Heni berdering, ada telepon masuk dari Putra. Heni mengambil jarak, menjauh dari kedua sahabatnya itu dulu, menjawab telepon Putra.
Dinda menggeleng pada Zahara. "Ra, aku kayaknya akan berhenti sekolah."
Zahara melotot kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Dinda. "Ke... kenapa Din?" tanya Zahara gelagapan.
Dinda menceritakan semua yang terjadi di ruang kepala sekolah tadi. Zahara mulai berpikir, terdiam.
"Ada apa?" tanya Heni yang baru datang setelah menjawab telepon Putra. "Eh kok kalian diam-diaman gini? Memangnya apa yang kamu bicarakan dengan kepala sekolah Din?" tanya Heni penasaran.
Dinda memalingkan wajahnya dari Heni, tak enak hati jika harus menceritakan keputusannya pada Heni. Heni dan mamanya sudah membantu Dinda selama ini, Heni pula yang meminta Dinda untuk pergi ke sekolah, meminjamkan Dinda catatan-catatannya agar tidak ketinggalan pelajaran, membantu Dinda mengerjakan tugas-tugas yang tertinggal.
Setelah Zahara menceritakannya pada Heni, Heni langsung mematung, kaget dengan apa yang didengarnya.
Heni menatap Dinda, memeluk Dinda, menangis. "Kenapa?"
Zahara ikut memeluk kedua sahabatnya itu, sedih.
Setelah beberapa detik, mereka saling melepas pelukan, menyeka air mata. Kepala sekolah yang hendak keluar ruangan mengurungkan niatnya setelah mendengar suara ketiga murid-muridnya itu di balik pintu.
"Dinda, Heni, ayo jalan keluar dulu," ajak Zahara, tersenyum tipis pada kedua sahabatnya itu.
Heni dan Dinda mengangguk, melangkah bersama keluar dari gedung sekolah. Selama melangkah Zahara terpikirkan sesuatu, tapi ia masih ragu untuk menyampaikannya pada Dinda dan Heni.
"Dinda, kamu mau mendengar saranku?" tanya Zahara ragu-ragu.
Dinda dan Heni bersamaan melirik Zahara, penasaran ada apa, serentak mengangguk.
"Aku akan menceritakannya setelah sampai di rumah Heni." Zahara tersenyum tipis, membuat Dinda dan Heni menghela nafas kecewa.
Sampai di rumah Heni, Dinda dan Zahara menyegerakan shalat ashar, sedangkan Heni yang sedang haid langsung keluar dari rumah, menemui Putra yang sudah menunggunya. Hari ini mereka berdua akan berbicara dengan Fauzi.
"Udah lama Kak?" tanya Heni terengah-engah, habis berlari.
"Hmm... 5 menit yang lalu mungkin?" Putra berpikir, mencoba mengingat-ingat.
"Aduh, maaf kalau gitu Kak."
"Hahaha gak apa-apa. Dinda bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Putra.
Ekspresi wajah Heni langsung berubah masam. "Katanya, Dinda mungkin-- ah bukan apa-apa, kalau udah pasti bakal aku sampaiin, atau mungkin Dinda akan cerita pada Kakak." Heni menyeringai, terpaksa.
Putra tidak melanjutkan pertanyaan, peka dengan apa yang terjadi. "Ayo kita menemui laki-laki itu."
Heni mengangguk. "Aku sudah menyuruhnya ke taman dekat kompleks sebelah, kayaknya dia udah nunggu di sana." Heni menjelaskan, naik ke motor Putra. "Kakak bakal ngapain dia?" tanya Heni penasaran.
"Haha gak tau." Putra tertawa kecil, benar-benar tidak tau mau melakukan apa. Kalau dipukul dia takut Dinda akan marah padanya, Putra akan bertindak setelah melihat bagaimana wajah dan penampilan Fauzi. Motor Putra langsung menuju taman yang dikatakan Heni.