Bagian 1
Aku tidak pernah berfikir kalau aku akan mengalami nasib yang sama dengan siti nurbaya. Sesuatu yang menurutku hanya sebuah mitos, namun kini mencekikku di kehidupan nyata yang aku jalani saat ini. Aku harus di hadapkan dengan perjodohan yang tidak pernah aku inginkan, bahkan banyak pula diantara kita yang tidak menginginkannya.
Oh iya, sebelumnya aku perkenalkan diriku dulu. Aku Mutiara Kumala Sari, biasa di panggil Muti atau Mutia. Aku di jodohkan dengan pria yang sangat sangat aku kenal sejak aku masih duduk di bangku SMP. Kini aku sudah bekerja di restoran yang tak jauh dari rumah.
"Mutia, selesai makan, papa dan mama mau bicara sama kamu" Kata Ridwan Anggara, papaku, kebetulan saat ini kami sedang makan malam.
Aku sudah bisa menebak apa yang akan di bicarakan oleh papa denganku, sudah pasti itu masalah perjodohanku dan aku sungguh sudah bosan karena hampir tiap malam kami membahasnya. Seketika selera makanku hilang, aku tak bisa membayangkan jika aku lagi-lagi harus berdebat dengan papaku.
Makan malam selesai, kami duduk di sofa di ruang tamu. Tak ada yang ingin memulai percakapan, sampai akhirnya papaku angkat bicara.
"Ehm," Papaku berdehem untuk memecahkan keheningan. "Sebaiknya kau yang bicara" ucap papa sambil melihat ke arah Maria Putri Ayu, mamaku tercinta.
"Apa yang harus aku katakan? Sebaiknya kau yang mengatakannya. Aku tidak ingin ikut campur dengan masalah ini, jadi katakan saja apa yang ingin kau katakan" jawab mama.
"Baiklah" papa mengusap wajahnya kasar, menghela nafasnya dalam lalu membuangnya kasar. "Bagaimana dengan perjodohanmu Mutia? Apa kau sudsh siap? Kalau kau sudah siap, mungkin tante dan nenekmu akan datang ke sini untuk membicarakannya lebih serius" lanjut papa.
"Pa, tidak bisakah sekali saja tidak membahasnya? Aku malas berdebat dengan papa setiap kali membahas itu, lagi pula aku masih terlalu muda untuk menikah, dan aku belum siap" jawabku kesal.
"Tapi paribanmu (sepupumu) itu adalah pilihan yang tepat untuk kamu, papa yakin dia juga setuju dengan perjodohan ini. Kalau kamu menunda dan mengulur-ulur waktu, yang ada pariban (sepupu) kamu itu kepincut dengan wanita lain." Papa menatapku tajam, sebenarnya aku ingin menatap papa lebih tajam, tapi kau mencoba untuk tetap menjadi anak yang patuh.
Papa melihat ke arah mama, seolah sedsng meminta pembelaan. Seketika mama melihat ke arahku yang tak bisa menjawab ucapan papa, lalu beralih melihat papa.
"Sudah, kalian besok di bahas lagi. Tidak baik berdebat malam-malam begini, dan aku yakin tidak akan ada yang mau mengalah di antara kalian." Ucap mama seolah sedang membelaku.
"Tidak, papa menunggu jawaban dari kamu Mutia. Kamu mau di jodohkan dengan pariban ( sepupu) mu itu atau tidak?" tanya papa.
"Kalau Mutia menolak, apa papa akan menyetujuinya?" tanyaku lagi tanpa menjawab pertanyaan papa.
"Tidak. Apapu jawaban kamu, papa tidak peduli. Mau tidak mau, kamu harus mau di jodohkan dengan paribanmu itu. Karena kalau tidak, hubungan kekeluargaan kita akan pecah, akan hancur. Perjodohan ini sudah dibicarakan sejak kamu masih SMP, dan semua keluarga sudah menyetujuinya termasuk Siska Amelia Pratama, tante kamu." tegas papa.
"Kalauaku tidak bisa memberi pendapat dan menolak, lalu untuk apa papa menanyakannya padaku? Itu sama saja papa membuang waktuku, waktu papa. Lalukanlah apa yang ingin papa lakukan, apa yang membuat papa senang tanpa memikirkan perasaan orang lain. Sudah sedari dulu aku tau kalau papa itu egois, selalu ingin menang sendiri" Ucapku lalu pergi meninggalkan papa dan mama.
"Mutia.. Mutia.." Teriak papa namun aku tidak menghiraukannya. "Dasar anak pembangkang kamu ya, tidak mau sedikitpun mendengarkan orangtua. Asal kamu tau, setiap pilihan orangtua itu yang terbaik untuk anankya" aku masih mendengarnya dari kejauhan, namun aku tidak menghiraukannya.
Aku masuk ke kamarku, tak ada yang bisa menenangkanku selain air mata yang mampu membuatku merasa lega. Hanya itu yang bisa aku lakukan setiap kali berdebat dengan papa, menangis san menangis sampai aku merasa lega dan sedikit tenang.
Mama menghampiriku, menyeka air mataku lalu memelukku. Aku membalas pelukannya, bahkan aku memeluknya seerat mungkin. Belaian lembut mama berikan dari ujung kepalaku, menciumiku penuh cinta. Entah apa yang merasuki fikiranku saat ini, banyak hasutan-hasutan iblis yang berdendang indah di telingaku. Namun aku tetap mencoba untuk menepisnya, mengingat aku masih memiliki mama yang sangat mendukung keputusanku.
"Tidak bisakan aku bahagia dengan pilihanku sendiri ma? Tidak bisakah aku menentukan masa depanku sendiri? Hiks..hiks.. Dunia terlalu kejam jika harus menjadikanku seaseon ke dua dalam cinta Siti Nurbaya. Itu sungguh tidak adil, aku tidak hidup di zaman itu lagi, hiks..hiks.." air mataku kembali mengalir, bahkan bisa di katakan seperti air terjun, karena sebelumnya aku tidak pernah menangis seperti ini, tangisanku hanya sebatas air mengalir.
"Sabar nak, kau harus kuat. Mama akan mencoba membicarakannya dengan papa kamu, mama akan berusaha semampu mama untuk itu. Mama juga tidak ingin memilah milih pasanganmu ke depan, karena yang menjalaninya adalah kamu, bukan mama" jawab mamaku dengan nada lembut, bahkan sangat lembut bak malaikat yang menyejukkan hati. Tidak salah sang khalik menjadikan ibu menjadi malaikat untuk anak-anaknya, karena hanya ibulah yang paling dahulu membatu dan menjaga anak-anaknya.
"Tapi kenapa papa berbeda ma? Kenapa papa tidak memikirkan itu? Kenapa papa hanya mengikuti egoisnya dan membuatku menderita? Hiks..hiks.. Belum juga menikah aku sudah merasa menderita, apalagi setelah menikah dengannya? Aku tidak tau apakah aku semenderita ini atau bahkan lebih parah dari ini. Yang jelas aku tidak mau menikah dengan pariban (sepupu) ku itu ma, kenapa tidak papa saja yang menikah?" Ucapku kesal.
"Hei, tidak mungkin papamu yang menikah dengannya? Yang ada jeruk makan jeruk dong" Goda mama.
"Mama apaan sih, aku sedang tidak ingin bercanda." kataku ketus, tak terima saat mamaku mengejekku.
"Iya sayang, makanya jangan terlalu serius. Hidup di bawa santai saja, nanti kita bicarakan lagi dengan papamu. Setidaknya kamu harus menghindar dulu, supaya papa kamu tidak terus-terusan nanyain kamu. Kamu tsu kan kalau papamu sudah menggila, tidak ada satupun yang bisa menentangnya. Sekarang kita cari cara bagaimana supaya kamu bisa menghindari papa, setidaknya untuk mengulur eaktu dan mengurangi keributan antara kamu dan papa. Kau tau, mama pusing melihat kalian yang setiap kali bertengkar, seperti kucing dan tikus saja." ujar mama.
"Ini lagi, masa anak sama suaminya di samain sama kucing dan tikus. Mama dosa loh sama papa bilangin papa kucing" protesku.
Mama kan hanya mengibaratkan, bukan mengatakan papa kamu kucing dan kamu tikus" jawab mama tak mau kalah.
"Tetap aja dari kalimat mama itu seolah-olah mengatakan papa kucing. Memangnya papa kucing apa ma? Kucing garong?" tanyaku yang membuat kami tertawa bersama.
"Kamu ini ya, bisa juga ngelawak ternyata. Yasudah mama keluar dulu ya, jangan terlalu di fikirkan omongan papa kamu. Cukup fikirkan saat kalian sedang bicara saja, sisanya lupakan dan nikmati hidup kamu" ucap mama yang ku jawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum, lalu pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku mengusap wajahku kasar, menghela nafas dalam lalu membuangnya kasar, aku berharap papa tidak menanyakan hal itu lagi sampai aku pergi.