Boy memegang bahunya, dan hal itu menyebabkan Sahira bereaksi lebih. Dia mendekatkan wajahnya dan langsung menempelkan bibir nya pada boy yang ada dihadapannya. Boy tersenyum miring, umpan sudah termakan. Dan, dia menerima dengan senang hati.
Cumbuan panas pun terjadi diantara keduanya. Sahira mengalungkan tangannya ke leher boy dan semakin memperdalam cumbuannya. Dia sudah tak sadar apalagi ingat kalau Boy bisa saja membalas dendam karena dia sudah diputuskan dengan semena-mena olehnya.
****
POV Sahira
Jam 10 pagi aku terbangun. Mataku memicing menatap cahaya yang memaksa masuk melalui celah jendela. Sangat silau, membuat ku mengernyitkan mata. Tapi mengapa warna gorden kamarku berubah, perasaan kemarin warna pink deh. Mungkin sudah diganti oleh mbak dewi, pikirku. Ku bungkus kembali tubuhku yang kedinginan dengan selimut tebal ini. Hmm ... Hangatnya. Tapi ... Kenapa wangi selimutnya beda yaa. Dengan malas kubuka kembali kedua bola mataku. Plafon kamarku juga ikut berubah, aku mengernyit menautkan kedua alisku dengan perasaan aneh. Seketika aku tersadar ternyata ini bukan kamarku.
Astagaa ... Aku dimana ini? Kenapa aku ada disini.
Mendadak kepalaku menjadi terasa sangat pusing. Ingin sekali aku berbaring lagi, tapi kenapa seperti ada sesuatu dari dalam perutku yang mendesak ingin keluar. Tanpa bisa mencegahnya aku langsung memutahkan semua isi yang ada didalam perutku ke samping ranjang besar ini.
Hueekkk... Hueekkk... Hueekkk.
Dengan lemas, ku tatap bekas muntahanku. Hiyyy ... Sangat menjijikan sekali. Mulutku juga terasa sangat pahit dan kepalaku masih berdenyut sakit.
Apa mungkin aku sakit?
Sembari memiijit kepala yang terasa semakin sakit, ku sibak selimut yang menempel di tubuhku dengan perlahan.
Dinginnya suhu kamar seketika menerpa tubuhku. Astagaa... Kenapa sangat dingin sekali.
Dann ... Kenapa aku bisa telanjang seperti ini. Kemana pakaianku, lalu siapa pula yang membuka bajuku. Pikiran negatif langsung menyerbu otakku tapi dengan susah payah aku mencoba berpikir positif. Mungkin secara tak sengaja aku membuka pakaianku sendiri. Ya, mungkin begitu. Kucoba bergerak mencari baju disekitar ranjang ini. Namun, sesuatu dibawah sana terasa sangat nyeri. Sepertinya agak sedikit bengkak.
Apa? Bengkak?!!
Dengan panik dan mengabaikan rasa sakit yang mendera tubuh bagian bawah ku. Kulihat sangat berantakan nya seprei dan bantal-bantal bertebaran di lantai.
Setelah menyibak selimut dengan sempurna aku melihat bercak berwarna merah yang sudah mengering di bagian tengah seprei berwarna putih polos ini.
"APA INI YA TUHANN"
Seperti ada petir yang menyambar hatiku disiang bolong. Jantungku berdetak lebih kencang dengan nafas memburu.
Tidak mungkin kan, aku melakukan sesuatu yang di luar batas? Tidak mungkin juga aku rela memberikan mahkota berharga ku pada orang yang tidak aku sayang dan tidak aku sadari.
Tapi bercak merah ini apa Sahira??? Dengan histeris aku membantah semua pikiran negatif yang memenuhi otakku.
Tapi buktinya bagian bawah tubuhmu juga terasa sakit, Sahira. Apa itu tidak cukup untuk membuktikan perkiraan otakmu.
Seperti ada suara- suara yang membisikannya untuk membenarkan dan mempercayai semua pikiran negatif ku.
Dengan lemas aku tersadar, tanpa aba-aba lagi rintik air mata mengalir deras dikedua bola mataku.
Ya Tuhaann ...harta berharga ku telah hilang oleh orang yang sama sekali tidak aku ingat.
Pikiranku berkecamuk memikirkan kemurkaan Mama dan Papa, memikirkan reaksi kak joni bila mengetahui ini semua dan bagaimana jika aku hamil. Ya Tuhan siapa yang telah berani melakukan ini semua terhadapku.
Aku menjerit sekeras-kerasnya meluapkan semua kemarahan dalam hatiku. menjambak rambutku yang sudah berantakan ini. Dan, membanting semua benda yang ada di dekatku hingga menimbulkan suara gaduh. Aku tidak peduli. Aku benci semua ini. Aku benci ... Aku bencii...
Brakkk
Suara pintu di dobrak membuatku terkejut. Dengan cepat kututupi semua tubuhku dengan selimut tebal. Aku menunduk untuk menghalangi wajahku agar tidak ada yang mengenaliku. Tapi terlambat,
"Sahira? Jadi Lo masih dirumah gue?! Astagaa ... semalam Ardi nyariin Lo sampai setengah gila tau nggak."
Rayhan?! Jadi aku masih berada di rumah Rayhan. Ya Tuhan, tolong cabut nyawaku sekarang. Pintaku.
"Ra, lo kenapa?" Rayhan kembali bertanya dengan hati-hati. Raut wajahnya menunjukan rasa penasaran yang nyata.
Aku diam, hanya rintihan tangis yang mewakili suaraku. Aku maluu, aku sangat malu ya Tuhan.
Betapa memalukan dan menyedihkan nya seorang Sahira di perkosa di rumah orang. Ya Tuhan, otakku rasanya mau meledak memikirkan ini semua.
"Lo kenapa, Ra?"
Reyhan mencoba mendekat tapi aku menggelengkan kepalaku kuat. Aku tidak mau didekati oleh siapapun.
"Oke-oke gue akan telpon Ardi." Dengan cepat Rayhan mengotak atik telepon genggamnya mencoba menghubungi Ardi.
Ardi, kenapa lo ninggalin gue semalam. Lirih ku.
Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan hal seperti ini kepadaku.
Bagaimana kalau aku diusir dari keluarga Riandi. Bagaimana, bagaimana dan bagaimana. Pertanyaan itu memenuhi pikiranku sehingga membuatku kalut dan menjerit-jerit histeris.
"Ra, tenang... Ra, Ardi bentar lagi kesini. Lo tenang yaa.." Rayhan mencoba menenangkanku tapi aku tak peduli, aku terus menjambak rambutku dan menjerit-jerit tak terima akan nasib ini.
20 menit berlalu dengan Rayhan yang semakin panik karena tingkahku.
Bagaimana aku tidak histeris, seseorang telah mengambil mahkota ku tanpa aku tahu siapa orangnya. Aku pun merutuki diriku sendiri, kenapa aku bisa kebablasan minum alkohol terlalu banyak semalam.
Maafkan aku Maa...maafkan. Aku telah ternodai dan aku kotor.
Hatiku sakit begitupun dengan tubuh di bagian bawahku.
Brakkk
Ardi.
"Ra, Lo kenapa? Astaga. Siapa yang berani melakukan ini sama Lo Ra. Jawab gue!!!" Ardi bertanya dengan panik, bahkan tidak sadar suaranya naik beberapa oktaf yang membuatku semakin takut dan kalut.
Aku menatap Ardi dengan tatapan hancur. Seakan tersadar dia langsung memelukku dan mencoba menghentikan gerakan tanganku yang semakin brutal untuk menghilangkan noda yang ada ditubuh ini.
Bulir Air mata seakan tidak ada habisnya dia turun dengan deras, membasahi pipiku hingga berjatuhan. Isakan demi isakan keluar dari mulutku. Aku tak mampu menjawab dan berpikir jernih.
Tangan kekar Ardi mengusap-usap punggungku yang telanjang. Dia terdiam beberapa saat. Menenangkan dengan terus memeluk ku erat.
"Ra, bilang sama gue siapa yang ngelakuin ini sama Lo?" Suara Ardi melembut, namun aku tahu di dalam hatinya dia sedang meredam amarah sama seperti ku.
Aku menggeleng, akupun tidak tahu siapa yang melakukannya. Aku tidak ingat sama sekali. Gara-gara alkohol sialan itu.
Ardi tak memaksaku untuk menjawab, Ardi membantu melilitkan selimut tebal ini pada tubuhku kemudian dia menggendongku ke kamar mandi. Aku melihat sekeliling kamar, tidak kudapati Rayhan dikamar. Entah sejak kapan Rayhan keluar dari kamar ini.
Ardi mendudukkan ku di closed, air mata seperti tak mau untuk berhenti barang sedetik saja dia tetap turun dari kedua bola mataku. Ku yakin saat ini mataku sudah memerah dan bengkak.
Ardi kembali menenangkan.
"Hiks... hiks... Hiks.."
"Ssttt... Udah Ra, Lo tenang. Nanti gue akan cari tahu siapa yang berani ngelakuin ini sama Lo. Lo tenang yaa..ada gue disini."
Aku tak menjawab, rasanya aku malu sekali, aku kotor dan hina. Aku pun jijik dengan diriku sendiri.
Aku kembali meraung, rasanya dunia ini tak adil padaku.
"Gue kotor di.. hiks hiks."
"Ssttt... Udah, lo tenang Ra. Lo gak kotor, dan jangan berpikiran seperti itu, okey." Dengan sabar Ardi terus memberiku pengertian. Ardi, kamu memang sahabat sekaligus orang yang aku percaya. Kamu selalu jadi pelindung serta tempat bersandar ternyaman untukku. Tak salah rasanya hatiku menaruh rasa cinta padamu.
"Sekarang Lo mandi dan gue nunggu Lo di luar." Perintahnya lembut.
"Tapi sakitt dii... Gue gak bisa jalan." Aku sedikit meringis kalau menggerakan kakiku.
"Yaudah gue gendong. Lo mandinya pelan-pelan aja ya biar gak sakit."
Ardi menaruh ku di bathtub dan membuka keran yang mengeluarkan air hangat.
"Gue tunggu diluar yaa ... Kalau udah lo panggil gue, okey?"
Aku mengangguk pelan.
****
Setelah selesai aku memakai kemeja kebesaran milik Reyhan. Dia meminjamkannya karena pakaianku sudah koyak di robek sana sini. Di depan cermin aku kembali termenung, nyeri diantara tubuhku masih berdenyut. Ku coba mengingat kembali kenapa aku bisa sampai seperti ini.
Tadi malam aku cemburu melihat Ardi berdansa dengan Nadira, lalu minum alkohol sampai puas dan-
Astaga... Kubekap mulutku. Rasanya sungguh tak percaya. Sekarang aku ingat siapa yang melakukan hal ini kepadaku. Tanganku terkepal, amarah membuncah dalam dadaku. Aku harus memberi pelajaran kepada Boy. Dia harus mendapatkan balasan yang setimpal dari perbuatan nya.
Dengan air mata yang menggenang aku keluar kamar mandi. Langsung kudapati Ardi yang sedang duduk gelisah, ia mendekati diriku dengan khawatir dan kembali memelukku.
"Udah Ra. Jangan nangis lagi, sekarang ada gue yang jagain Lo. Maaf kemaren gue kebablasan sama Nadira. Tapi sekarang Lo aman sama gue. Maafin gue Ra."
Aku membeku. Nadira lagi. CK, kenapa rasanya hatiku benci jika mendengar namanya.
"Ra.." Suara lembut Ardi menyadarkanku dia merangkum wajahku, tatapan kami bertemu. Riak kedua bola matanya menatapku sendu dan penuh penyesalan dan didalam matanya aku bisa melihat keadaan diriku yang kacau. Bulir air mata yang sekuat tenaga kutahan pun akhirnya kembali tumpah membasahi pipiku. Tak lama, Ardi mengusap perlahan seperti tak ingin aku terluka karena usapannya.
"Ssstttt... Udah. nanti bakal gue hajar tuh orang yang udah berani buat Lo jadi seperti ini." Kulihat rahangnya mengeras, ada ketegasan dalam ucapannya.
"Di... Gue... Gue..." Ucapku terbata.
"Ssttt... Udah Lo gak usah ngomong apapun dulu. Sekarang Lo gue antar pulang yaa..."
"Tapiii ... sekarang gue ingat siapa yang udah nidurin gue." Cicitku lirih. Aku kembali menunduk tak berani menatap Ardi. Kini kesucian ku telah diambil paksa oleh seseorang.
Langkah Ardi terhenti. Dia kembali menatapku.
"Siapa? Siapa yang udah buat Lo jadi seperti ini?"
Dia mengguncang bahuku.
"Siapa Ra? Ayo jawab! Biar gue habisi orangnya."
"Hiks hiks..." Tangisanku semakin kencang.
"Di-dia si b******k B-boy." Akhirnya kalimat itu pun keluar dari mulutku.
"Apa?!!" Pekik Ardi kencang. Urat di lehernya semakin menonjol menampilkan kemarahan yang luar biasa. Balaskan dendam aku di.
"Jadi si b******k itu yang udah ngancurin Lo Ra. Gue akan kasih dia pelajaran karena telah berani ngelakuin ini sama Lo!" Ucapnya menggebu.
"Tapi nanti Lo kenapa-kenapa Di. Gue takut Lo bakal di apa-apa in sama Boy. "
"Udah Lo tenang aja. Sekarang gue bakal anterin Lo pulang dulu." Ardi kembali mengusap air mata di wajahku.
Aku mengangguk.
Setelah Ardi berbicara kepada Rayhan, agar tidak bercerita tentang masalah ini kepada siapapun. Ardi langsung mengantarku pulang. Tak lupa Ardi mampir sebentar ke mall untuk membeli baju, agar orang tuaku tidak curiga.
"Di, jangan kasih tau orang tua gue yaa apalagi kak Joni. Gue takut." Pintaku padanya.
"Tapi Ra, mereka harus tau."
Aku menggeleng.
"Please..." Keukeuh ku.
Ardi menarik napas panjang. Kemudian dia menjambak rambut pendeknya kasar.
"Huahh!! Harusnya tadi malam gue selalu di samping Lo, Ra. Maaf yaa..." Kulihat rasa penyesalan yang amat dalam dari raut wajahnya.
Aku menggenggam tangannya dan tersenyum semampuku.
"Udah di, Lo gak salah. Sekarang bantu gue buat lupain kejadian ini."
Ardi mengangguk kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumahku.
Setelah sampai kulihat mama sedang menyiram bunga dihalaman depan.
"Maa... Aku pulang." Aku mencoba tersenyum agar mama tak khawatir dengan keadaanku yang sesungguhnya.
Semoga Mama tidak bertanya banyak hal tentang penampilanku. Tapi-
"Sayang, kok mata kamu bengkak dan merah sih?!"
Sial!
****
Komen dan lovenya jangan lupa ya;)