"Bagus, "
"Itu bukan pipis sayang tapi namanya adalah cairan cinta." Jawabnya tenang.
Aku menatap Ardi dengan napas ngos-ngosan. Kenapa rasanya aku lemas sekali.
"Nikmat gak?" Ardi bertanya.
Dengan spontan aku mengangguk.
Lalu Ardi menciumku kembali bahkan kali ini dengan sedikit kasar dan aku sudah bisa mengimbanginya.
****
Bunyi suara ponsel yang terus berdentang sangat mengganggu aktivitas yang kami lakukan. Ardi berhenti, mengambil ponselnya lalu menerima panggilan dengan pergi menjauh ke balkon kamar.
"Siapa sih malem-malem gini yang nelpon. Mana lagi momen kayak gini." Ucapku sambil misuh-misuh. Menyebalkan memang, bibirku maju lima senti. Aku sangat keki dibuatnya, kenapa selalu ada aja yang mengganggu sih?
kudekap tanganku di depan d**a lalu menghampiri Ardi yang berada di balkon kamar.
Lalu tanganku memeluk punggungnya dari belakang, dengan kepalaku yang menyenderkan dipundaknya.
"Dii, siapa sih yang nelpon?" Kataku dengan suara semanja mungkin.
Ardi menoleh lalu mengecup bibirku sekilas.
"Bukan siapa-siapa. Gimana?" Ardi bertanya sambil menyeringai.
Ku angkat sebelah alisku, gimana apanya?
"Apa?" Balasku polos.
"Udah bisa belum sama yang gue ajarin tadi."
"Mmm gatau, tapi gue udah gak mood belajar lagi ah gara-gara telpon tadi."
"Serius?"
Aku mengangguk kemudian melepas pelukanku padanya lalu pergi menuju kasur.
Ku ambil selimut lalu menutupi tubuhku yang hanya memakai tengtop tanpa bra, tadi aku sudah melepasnya.
Kulihat Ardi menutup pintu balkon kemudian menyusulku ke kasur. Kita terbiasa tidur berdua, tapi kemarin-kemarin kami tidak melakukan apapun, murni hanya tidur.
Tapi sekarang semua berubah ketika aku melihat kelakuan Ardi bersama Nadira.
Seperti saat ini Ardi masuk ke dalam selimut, lalu mulai memeluk aku dengan gemas. Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Bagiku ini sesuatu yang baru tapi rasanya sangat membuatku panas dingin karena ketagihan.
Tangan Ardi mulai nakal, dengan mudah tangannya masuk ke dalam tangtop lalu meremas benda kenyal yang ada di d**a sebelah kiriku.
"Awh.. Ardi jangan kuat-kuat sakit tau." Kupukul tangannya pelan. Sungguh aku belum terbiasa dengan rasa ini. Sakit namun sesaat kemudian terasa nikmat dan memabukan.
"Hehe maaf Ra, habisnya d**a elo gede banget sih. Buat gue gemes aja." Dia menjawab dengan cengiran khasnya yang membuat semua wanita terpesona termasuk aku juga sih hehe, itu pun diam-diam. Bisa besar kepala dia kalau tahu aku juga mengaguminya.
Ardi masih terus meremas buah dadaku yang membusung sekal, lalu dia memainkan puncak gunung kembarku kemudian memelintirnya pelan. Awh, ini sangat nikmat. Ku pejamkan mata menikmati perlakuan Ardi dengan sesekali mendesah kecil karena keenakan.
Mungkin begini juga Ardi memperlakukan Nadira kemarin, pantas saja si Nadira sampai mendesah kencang begitu. Atau begini juga rasanya ketika Salsa dan Karin membicarakan soal remasan yang dilakukan pacarannya kepada mereka. Asal kalian tahu, di grup the perfect hanya aku yang tidak tahu apa-apa untuk urusan kayak begini. Tapi, aku sering mendengar Salsa dan Karin membicarakan kenikmatannya. Namun, aku baru mengerti sekarang setelah tahu bagaimana rasanya.
"Ssttt... Ardii.. " Ucapku lirih.
"Apa?" Ardi balas berbisik. Lalu dia menyatukan bibirnya di bawah telingaku.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Geli aku dibuatnya.
Remasan Ardi semakin intens hingga bagian bawahku tubuhku terasa basah kembali. Ku gerakan kakiku perlahan, sungguh aku tidak sadar ketika gerakanku mulai melantur. Ardi melihatku yang sudah gelisah dia lalu menahan kedua kakiku agar berhenti melakukan itu. Lalu dengan perlahan tangannya merayap kebawah melewati perut rataku. Kemudian terus turun lalu mengelus-elus pahaku yang terekspos karena aku hanya menggunakan hotpants.
Gedenya kenikmatan kembali mendera tubuhku yang sedang sensitif. Rasa gatal berkumpul diantara kedua pahaku. Owh, rasanya aku sungguh tidak tahan. Seperti ada sesuatu yang mau dikeluarkan oleh tubuhku tapi apa, aku juga tidak tahu.
"Mmmhh... " Aku mengerang. Ini sangat nikmat sekali.
Ardi masuk terus mengelus paha mulusku sembari sebelah tayangannya sibuk meremas kedua gunungku. Begitupun dengan puncaknya yang sama sekali tidak terlewatkan. Tak lama benda kenyal nanti basah juga menggerayangi leher putihku bahkan dia sedikit menggigit kulitnya. Aku menggigit pelan bibir bawahku, mencoba mengontrol tubuh dan juga suara yang terus memberontak meminta lebih dari sekedar ini.
"Mmmhh... Ardiii.." ucapku lirih.
Kurasakan jarinya menusuk-nusuk celana tepat diatas lubang surgawi kemudian mengelus kembali, terus begitu hingga aku merasakan sesuatu yang akan mendesak keluar dari dalam tubuhku. Tubuhku menggetar tak karuan, kedua kakiku menegang ketika suatu cairan keluar dari sana.
Seperti tahu, Ardi menciumku agar aku tidak menjerit keras karena ulahnya. Ketika bibirku dilahap olehnya dan bagian bawah tubuhku mengeluarkan cairan yang dihasilkan dari perbuatannya. Kucengkram tangannya erat karena rasa yang sulit aku jabarkan sekarang mendera ku.
Celana dalamku basah kuyup. Dengan perlahan kedua mataku menatap Ardi yang juga sedang memperhatikanku. Kami berdua tersenyum dengan napasku yang ngos-ngosan. Kemudian kucium bibir seksi Ardi secara perlahan lalu kupejamkan mataku. Aku sangat lelah hingga tanpa sadar aku tertidur dengan tangan Ardi yang masih berada di balik tangtopku.
****
Pagi menjelang aku bangun terlebih dahulu karena mendengar suara ketukan pintu yang keras.
"Sayangg ayo bangun nanti kamu kesiangan." Teriak Mama dari balik pintu.
"Iya iya ma." Balasku teriak.
Aku menyingkirkan tangan Ardi yang sedang memeluk pinggangku. Aku melihat sekeliling kamar ternyata tadi malam aku ketiduran padahal aku masih penasaran dengan pembelajaran selanjutnya.
Setelah tidak ada yang mencurigakan, dan suara Mama sudah tidak terdengar lagi. Dengan cepat aku bangun dan bergegas mandi lalu memakai seragam sekolahku. Sembari sedikit memoles wajah dan mengeringkan rambutku.
Kuguncang bahu Ardi dengan kencang untuk membangunkan Ardi. Tidurnya lumayan kebluk juga kalau tidak dibangunkan dengan cara kekerasan. Lalu dia menggeliat, kedua bola matanya melihat sekeliling kamar kemudian mengambil bantal guling lalu memeluknya kembali. Ish, menyebalkan sangat kalau membangunkan Ardi tidur tuh.
"Ardiii bangun woyy... Udah siang nih." Teriakku di dekat telinganya.
Ardi mengernyit mungkin dia terganggu dengan suaraku yang merdu ini, hmm baguslah. Tapi ternyata dia masih tetap akan melanjutkan tidur lagi.
Dengan sekuat tenaga ku tarik selimut yang menyelimuti tubuhnya dengan kasar.
"Aaaaa..." Teriakku kencang,
Ardi terkejut lalu terbangun dengan panik.
"Ada apa Ra, ada apa?!" Ucapnya dengan panik.
Aku menutup kedua mataku dengan tangan. Dengan tangan bergetar kutunjuk sesuatu yang mengacung dibalik selimut tadi.
Seketika Ardi tertawa terbahak-bahak. Dengan cepat aku berbalik memunggunginya.
"Cepet pake celana ihhh.. apaan sih itu gede banget." Teriakku.
Tok tok tok
"Sayang ada apa nak, kok kamu teriak begitu."
Gawat itu suara mama.
Kubalik badan lagi lalu menyuruh Ardi untuk cepat- cepat ke kamar mandi.
Aku membuka pintu dan menemui Mama.
"Ada apa sih sayang. Pagi-pagi udah teriak aja." Ucapnya dengan kekepoan yang sangat terlihat dari raut wajahnya yang masih cantik diusia memasuki setengah abad.
"Eeh engga Ma, haha... Cuma tadi di kamar ada kecoa. Hiihh gede banget sampai geli aku." Jawabku dengan lebai. Bisa gawat kalau sampai Mama melihat Ardi yang sedang telanjang.
"Ah masa sih. Kalo gitu ntar siang Mama suruh si bibi buat membersihkan kamar kamu dengan sangat bersih deh. Geli juga kalo ada kecoa gede begitu." Balasnya ikut bergidik kegelian. Aku tertawa dalam hati, lumayan geli juga sih dengan barang kepunyaan Ardi haha..
"Iyaa mah harus. Kalau Mama lihat pasti geli banget deh. Yuk ah kebawah." Ajakku mengalihkan perhatian Mama dari kasurku yang terlihat sedikit berantakan.
"Lah Ardi mana?" Tanyanya sambil menahan langkahku.
"Ardi masih mandi ntar dia nyusul kok."
"Ooh yaudah kalo gitu."
Aku merangkul mama manja sambil turun ke lantai satu. Terlihat papa dengan kak Joni sudah ada di meja makan. Kucium pipi papa dan kak Joni gantian. Lalu duduk dekat kak Joni. Bau harum langsung menguar dari tubuhnya, hmm.. Wangi.
Kak Joni mengusap rambutku dengan sayang lalu mencubit hidung mancung ku.
"Ntar disekolah jangan bandel, belajar yang bener." Nasihatnya.
Kulepaskan cubitan kak Joni dari hidungku dengan kesal. Pasti hidungku sudah memerah dibuatnya.
"Iyaa iyaa, aku gak pernah bandel kok disekolah."
"Halah bohong kak, dia mah disekolah bandel banget. Heran aku juga." Ardi datang dengan senyum mengejek.
"Enak aja. Lo tuh yang bandel gue mah anak baik."
"Hah massa..."
"Iihh Ardiii, Maa tolongin dong." Rengek ku manja.
Mama, dan Papa dan tertawa. Sedangkan kulihat Kak joni tampak sedang mencengkram kedua gagang sendok erat. Raut wajahnya kaku, sama sekali tidak enak dilihat. Tak lama Mama melerai pertengkaran kami.
"Udah udah ayo sarapan udah siang nih. Nanti terlambat."
Akhirnya kami semua sarapan dengan hangat.
Aku tersenyum suasana ini sangat menyenangkan. Dan aku ingin selamanya kami begini.
Tapi sikap kak Joni membuatku janggal seperti ada yang disembunyikan olehnya. Ku lirik kembali ke arah kak Joni, tatapannya kosong lalu kemudian dia mengunci mataku dengan tajam.
Astaga, ada apa dengan kak Joni. Kenapa tatapannya begitu menakutkan.
***
Di sekolah ke empat temanku langsung mengerubungi mejaku ketika aku sudah sampai di kelas.
Kulihat ke arah Nadira, nampak di dadanya ada bercak merah tapi hanya terlihat sedikit karena terhalang kancing. Apa dia sakit? Kenapa dadanya penuh dengan bercak memerah tak hanya satu aku melihat nya dibagian lain juga namun hanya sekilas.
"Gaess si Rayhan kakak kelas kita mau ngadain party lohh. Tapi, ntar malam Minggu." Ucap Karin antusias.
"Oh ya, dalam rangka apa?" Tamara pun membalas dengan sama antusiasnya.
" Party birtday yang ke 18. Katanya dia juga bakal ngundang DJ terkenal looh.." Sahut Salsa tambah antusias.
"Wow seru juga. Pestanya dimana?" lumayan juga buat refreshing. Pikirku.
"Di rumahnya. Kita bebas bawa pasangan. Oh ya Ra, Lo pasti bawa Boy kan? Yaahh gue sama siapa dong." Seru Karin sambil menatapku dengan tersenyum kemudian cemberut.
"Ngga. Gue kan udah putus." Ucapku santai.
"WHATT?!!" Mereka berempat berseru kencang bahkan Tamara sampai menggebrak meja.
"Lo serius Ra?" Salsa yang tersadar duluan mulai bertanya.
"Lo kan baru jadian kemarin. Kok bisa sih?!" Kali ini Tamara muali mengintrogasiku.
"Lo juga kemarin baru dianterin pulang." Dan itu suara Nadira. Tampak dia sangat penasaran.
Aku hanya manggut-manggut mendengar mereka yang histeris.
"Tau gitu gue aja yang gebet si Boy duluan sebelum jadian singkat Lo itu." Salsa misuh-misuh gak jelas.
Aku tertawa melihat mereka yang shock juga histeris. Apaan sih mereka cuma gitu doang sampe lebay banget. Sama sih kayak si Ardi hihi.
"Hahaa... Yaudah Sal Lo gebet aja sekarang mumpung masih jomblo." Ucapku tenang dan santai.
"Ngga ah udah bekas Lo."
"Lah belum gue apa-apa in kok hahaha.."
"Yaudah deh gapapa bekas Lo juga." Ujarnya sembari nyengir lebar.
"Nah gitu dong, dia itu bukan level gue tau gak." Ku kibaskan rambut panjangku seperti iklan shampoo di TV.
"Terus kenapa Lo terima?" Kini Nadira yang bertanya.
"Yaa gue kasihan aja liat nya. Hahaa." Aku tertawa garing, gak lucu juga sih wkwk.
"Gila Lo." Ucap mereka berempat. Aku hanya tertawa, yaa emang gue gak selevel sama dia. Mau bagaimana lagi. Apa coba, kemarin aja aku diantar pake motor. Ih gak banget deh, rambut jadi berantakan dan gak nyaman banget sih menurutku. Cupid panah Boy pun kayaknya belum sampai di hatiku. Jadi, buat apa aku mempertahankan Boy.
Tak lama guru Biologi datang dan kami sudah duduk ditempat masing-masing. Hari ini, Ardi masuk kelas dan kali ini dia duduk di sebelahku, karena itu Tamara harus rela pindah tempat duduk.
"Hai.. " Sebelah matanya mengedip kepadaku, kubalas dengan cubitan di paha saat tangannya mulai nakal meraba rok pendekku.
****