Bab 79. Lamaran yang Gagal

1121 Kata
Tiffa ingin sekali mencubit pipi Rivaille karena gemas. Memangnya ada vampir yang normal? Bangsa mereka saja tidak normal. “Memangnya kau ingin dia bagaimana?” Pertanyaan yang terdengar tidak normal, tapi Rivaille tiba-tiba menggendongnya dengan sangat antusias. Senyumnya merekah lebar seperti bunga teratai mekar di pagi hari. “Aku ingin mendengarnya lebih lama.” Ujarnya tak kalah antusias. Tiffa merasa seperti wanita paling berharga saat ini. Rivaille meletakkan tubuhnya di atas ranjang dengan hati-hati. Tak lupa membantunya mengeringkan rambut dengan handuk. Lalu kemudian menyelimutinya dengan selimut. Sedangkan calon ayah itu memeluk perutnya dari samping. Lebih tepatnya menempelkan telinganya ke perut Tiffa dan tersenyum-senyum sendiri kemudian. “Kau berniat menahanku lebih lama disini?” Rivaille tersenyum saja. Bukannya membiarkan calon istrinya pergi sebentar, pelukan di perutnya malah semakin kencang “Aku akan mengantarmu.” Tiffa lantas tertawa. Sekarang pria muda ini ingin terus menempel padanya. Entah, apakah semenyenangkan itu mendengar calon bayinya bergerak-gerak. “Tidak. aku tidak ingin kau melihatku makan. Aku sudah terlalu lama menahan lapar.” Sengaja Tiffa melepaskan pelukan Rivaille dari perutnya perlahan. “Aku tidak akan menghinamu. Tenang saja.” “Tapi kau akan ilfeel denganku.” “Tidak akan.” Rivaille seperti sedang menyelam di lautan cinta saat ini. Tiffa tersenyum begitu menawan ke arahnya. Kerlingan mata merahnya yang seperti magnet. Satu kali saja ia beradu tatap, arah pandangnya tidak bisa menatap ke arah lain. Lalu gerakan tangannya yang memainkan sedikit rambut putih nan indah itu. Ia sungguh tergila-gila dengan kecantikannya. Awal pertemuan mereka untuk yang pertama kali pun Rivaille pernah hampir mencium bibirnya bukan? “Tiffa… Ikut denganku sebentar.” Tiffa tampak mengenakan pakaiannya dan tertunduk sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Ia masih sibuk mengancing kemejanya saat ini. “Kalau aku tidak mau?” Tanyanya melirik pada Rivaille. “Hahaha. Iya baiklah, baiklah.” Tiffa tertawa kecil saat Rivaille berusaha menciumnya paksa. “Kita berangkat sekarang.” Tiffa melangkah keluar rumah lebih dulu. Pagi-pagi di tepi danau dengan lebatnya embun pagi. Tidak ada perahu walaupun ada dermaga kecil di pinggir danau. Pemandangan pagi yang belum bisa dinikmati karena embun pagi. Rivaille meraih tangan Tiffa dan menggenggamnya erat. Tiffa melirik ke arah pintu sejenak sebelum sebelah alisnya naik. “Apakah perlu mengunci pintu?” Tanyanya belum terbiasa dengan kebiasaan Rivaille yang mulai punya kebiasaan seperti manusia. Tapi Rivaille yang ditanya malah merapikan sedikit kemeja Tiffa lalu menariknya untuk berjalan. “Aku tidak ingin Eredith dan Elunial menguasai rumahku seenaknya. Jika aku mengunci pintu, mereka akan sedikit tahu diri.” Tiffa berekspresi aneh. “Kalian kakak beradik yang tidak akur ternyata.” Rivaille kini membawa Tiffa memasuki hutan. Matahari belum terlihat karena tertutupi perbukitan dan banyaknya daun pepohonan yang lebat. Tapi karena mereka berdua vampir, hal itu bukan masalah. Jalan gelap sekalipun mereka tetap bisa berlari lebih cepat dari kijang. Tiffa masih menjaga mulutnya agar tidak terlalu banyak bertanya. Walaupun sudah 15 menit mereka berlari, tetap saja kaki Rivaille belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Tapi setelah beberapa menit berlari, telinga Tiffa langsung bisa mendengar sebuah suara gemuruh yang kuat sekali. Rivaille bahkan menoleh dan tersenyum seakan ia sedang menanti ekspresi terkejut Tiffa setelah mereka sampai. Dan ketika mereka keluar dari hutan, sorot mata yang selalu menatap tajam itu akhirnya membola lebar. Tiffa berhenti berlari dan ekspresinya takjub sekali melihat pemandangan di hadapannya. “Aku lupa membawa cincin.” Tiffa langsung menoleh cepat. Apa katanya tadi? Rasanya Tiffa tidak bisa lagi melebarkan senyumnya. Tapi Rivaille terus menerus membuatnya ingin sekali tersenyum lebih lebar lagi. “Jadi kau berniat melamarku?” Tanyanya hampir tertawa melihat Rivaille yang berdiri tegak seperti sedang militer. Ekspresi Rivaille juga tegang sampai tanpa sadar kakinya bergerak-gerak gelisah. Bagaimana biasanya para vampir melamar wanita? Yang benar saja. Rivaille bahkan tidak tahu harus melakukan apa sekarang. “... Jujur saja aku tidak tahu harus melakukan apa. Pikiranku tiba-tiba kosong.” “Pfft! Hahahaha.” Dan Tiffa tidak tahan lagi menahan tawanya. Demi tuhan ini lamaran terkonyol yang pernah ia lihat. Pria dengan wajah batu ini ternyata lebih bodOh dari yang ia bayangkan. “Ekhem! Jadi kau ingin melamarku? Tanpa cincin, tanpa puisi romantis, tanpa bunga, dan tanpa musik seduktif.” Dan Rivaille berharap ada seseorang yang menampar pipinya karena dirinya yang terlalu tidak tahu malu. Ia lantas berbalik membelakangi Tiffa lalu mengusap wajahnya kuat. “Kita kembali saja.” Tiffa jelas saja menahan Rivaille untuk pergi. “Kau jauh-jauh membawaku kemari hanya untuk mengatakan kau tidak membawa cincin?” Rivaille jadi kesal sendiri. Ia juga malu sedari tadi berdiri seperti orang bodOh disini. “Aku akan membawamu kesini lagi setelah aku menyiapkan segalanya.” Dan Tiffa menggelengkan kepalanya ikut emosi. Rivaille ternyata punya sifat plin-plan seperti ini. Membawanya sejauh ini untuk melamarnya tapi tidak jadi? Hati wanita mana yang tidak patah diperlakukan seperti ini. “Tidak. Aku mau dilamar sekarang.” Putusnya tidak ingin kegeeran sendiri karena Rivaille tidak jadi melamarnya. Mau taruh dimana ekspresi bahagianya tadi? “Tapi aku tidak membawa bunga.” “Ck! Ada bunga kecil di dekat kakimu. Pakai itu.” Nada perintah Tiffa langsung berubah ketus. Pria yang terlalu banyak alasan. Rivaille sudah membawanya ke sebuah air terjun besar. Udaranya sangat segar dan posisi mereka yang di samping air terjun seperti ini sudah sangat romantis. Spot yang pas untuk melamar. Dan apalagi yang ditunggu? Apakah perkara sepele seperti cincin itu dibutuhkan saat ini? Tapi Rivaille malah menggaruk kepalanya, seperti tidak keramas sebulan. “Ini agak memalukan… Erm… Maaf, aku memang bukan pria yang romantis.” Tiffa mendengus kasar. Apa-apaan itu? “Ck! Omong kosong.” Tiffa masih saja berkata dengan nada ketus. Tapi ia masih tersenyum ketika berlari ke arah Rivaille dan melompat ke arahnya. Sedangkan Rivaille segera menangkapnya. Gigi mereka sempat terhantam sedikit karena Tiffa yang langsung menciumnya setelah melompat ke pelukan Rivaille. Kakinya sengaja ia lilitkan ke pinggang Rivaille agar tidak jatuh. Dan ya! Lamaran yang sangat tidak romantis. Bunga kecil di dekat kaki Rivaille saja sudah terinjak mengenaskan. “Belajarlah romantis mulai dari sekarang. Aku suka pria romantis” Tiffa melepaskan ciuman mereka tapi dengan kedua tangan menahan kepala Rivaille. “Kalau begitu aku ingin ratu Yovanka yang liar mulai dari sekarang.” Tiffa langsung menyeringai. Bersamaan dengan Rivaille yang sama seramnya ketika menyeringai. “Dasar gila. Ini masih pagi, bodOh.” “Aku beri kesempatan untuk memimpin kali ini.” Lalu Tiffa akan menambahkan satu lagi daftar sifat Rivaille dalam kamus pribadinya. ‘Rivaille Heddwyn menyukai dirinya yang liar ketika bercinta’ ### Beberapa hari setelah Rivaille mengatakan bahwa Tiffa sedang mengandung, hanya Vian yang bersorak senang. Sedangkan seluruh anggota keluarga Heddwyn stres berat selama seminggu. Tapi walaupun begitu, Melvern cukup bahagia karena akan mendapatkan cucu dalam waktu dekat. Sayangnya tradisi Yovanka membuat kerongkongannya terasa kering kerontang. “Membayangkan yang indah-indah ternyata butuh mental yang kuat ya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN