SENSASI pedas kuah mie ternyata juga bisa memicu terjadinya proses kondensasi, bedanya titik-titik airnya muncul melalui pori-pori wajah ku. Meskipun posisi kipas angin tepat di depan wajah, tetap saja pipi ku merah merona dibuatnya. Ini sudah termasuk pesta terbaik versiku, merayakan keberhasilan prototipe penelitian yang masuk tahap validasi. Ya, kemarin akhirnya pembimbing ku menghubungi untuk menuntaskan konsultasi. Nampaknya beliau sudah lelah sebab teror beruntun dari ku.
Benar, kan yang ku bilang, segala sesuatu di dunia ini perihal kesetimbangan. Jika kamu berbuat baik maka hasil yang kamu peroleh pun akan baik. Apakah ini sebab bergabung ke komunitas MRI itu?
Apapun itu aku tetap bersyukur. Setelah menghabiskan satu peace mie instan dan sebutir telur rebus, aku terkapar bahagia di atas karpet bulu yang baru ku beli. Nyaman sekali.
Lupakan soal kebiasaan rebahan setelah makan bisa membuat perut mu buncit. Aku sudah memutuskan untuk tidak merusak mood barang sehari ini saja. Membuat hati senang itu bagus untuk kesehatan mental. Tetap menjadi waras dan tidak menambah daftar penghuni rumah sakit jiwa, itu juga termasuk perbuatan mulia. Hitung-hitung nambah timbangan amal di yaumul mizan.
Suara derap kaki bergerombol perlahan semakin nyaring, nampaknya anak-anak penghuni komplek sedang berlarian. Ku lihat dari balik jendela daun pohon kelapa ikut bergoyang cukup kencang, warna abu dilangit cepat sekali bergerak memakan kawasan udara yang masih membiru. Kemudian dihidrogen monoksida itu turun menyapu debu pada dedaunan dan membasahi tanah yang gersang. Aroma khas hujan menyeruak keluar, tak lengkap rasanya hujan tanpa di temani kopi.
Aku pergi ke dapur, menyeduh kopi sachet an. Jangan heran, kantong ku belum mampu membeli kopi bijian itu. Lagipula indera perasa ku masih tidak terlatih menikmati pahit yang strong. Lidah ku kebas dengan manisnya harga ekonomis.
Ku letakkan kembali gelas kopi panas itu di atas meja setelah beberapa tegukan. Kemudian tangan ku bergerak mengambil benda pipih dan berselancar membuka pemutar musik, pilihan ku jatuh pada murottal syeikh misyaari.
Baru tujuh ayat terlantun merdu melalui speaker handphone, dering panggilan yang hanya berupa getaran lantaran sengaja ku aktifkan mode silent memutus paksa alunan ayat al-qur’an tersebut.
~Rais calling. Ini benar-benar menyebalkan, maka dari itu panggilan darinya ku biarkan begitu saja hingga diputus operator. Surat al-hadid kembali berputar, hingga memasuki ayat ke sembilan handphone ku kembali bergetar, kali ini tidak sampai menghentikan murottal yang beralun, sebab dia hanya mengirimkan beberapa chat. Rupanya dia tidak bercanda soal spam tempo hari.
"Seriusan, Sal. Ini panggilan aku gak diangkat?"
"Aku tau kamu lagi online"
"Kamu gak kangen aku?"
" :( "
Read
"Jiwa sosiopat kamu itu makin-makin deh"
"Aku punya kejutan, semoga nanti kamu suka"
"See you soon"
Read
'See you soon' katanya? Seolah kami akan bertemu lagi. Ck. Jangan harap!
***
Sulitnya jadi perempuan itu adalah memilih baju saat ingin keluar. Aku selalu merasa tidak punya pakaian meskipun satu lemari terisi penuh. Ini beralasan, lemari ku penuh dengan baju-baju sebelum hijrah. Aku hanya memiliki beberapa lembar gamis yang warna nya tidak jauh dari navy, coklat tua, abu-abu dan hitam. Itulah mengapa aku merasa ‘tidak memiliki baju’ yang pantas untuk dibawa keluar. Mungkin selain membenahi penampilan, aku juga harus kembali membenahi mindset ini, memilah antara kebutuhan dengan keinginan.
Drrtt... Drrtt ...
(Chat grub)
Zaman Batu:
Hana
"Kalian udah sampai mana gais?"
Risa
"Mau otw nih"
Hana
"Salwa mana nih, awas ya telat "
Anda
"Otw ini"
Memang begini kan biasanya, bilangnya otw padahal masih siap-siap. Aku masih sibuk berkaca memasang hijab pashmina berwarna coklat? Atau mocca? Entahlah, sebagai perempuan, keahlian ku dalam mengenali warna jauh dibawah rata-rata.
Sore ini aku ada janji temu dengan mereka. Semenjak semester akhir, sulit sekali rasanya bertemu barang untuk hang out sebentar. Ku lihat jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 4:15 PM, ah bisa panjang ini ceramah Hana. Buru-buru ku ambil sepatu dan mengunci kamar lalu berangkat ke salah satu mall terdekat.
Benar saja, sesampainya di mall mereka sudah berkacak pinggang dengan wajah di tekuk~ralat, bukan mereka tapi hanya Hana, Risa justru melambaikan tangannya ke arah ku dengan muka yang sumringahnya.
"Habis kena razia dimana, kamu?" ucap Hana menyindir ku yang 'telat lagi'.
"Apa sih, Han. Gak ada razia" sahut ku yang dibalasi kekehan oleh Risa.
"Ada yang baru puber nih. Mau ngapain kamu bibir merah merona begini? Tumben bener, bukan buat narik perhatian cowok-cowok dimall, kan?" ujar Risa sambil tertawa, tangannya yang semula hyperactive--menepuk bahu ku sebagai sasaran empuk.
Harus ku tegaskan, yang ku pakai ini bukan lipstik melainkan lipbalm. Akhir-akhir ini bibir ku macam tanah retak, sebab itu ku gunakan pelembab bibir, tapi sialnya aku justru membeli lipbalm yang bisa berubah warna. Daripada mubazir lebih baik ku gunakan saja.
Masih sibuk mengeluh meratapi bahu yang terasa mau lepas karena menjadi korban taboknya Risa. Tiba-tiba segerombolan laki-laki lewat, satu diantara mereka menyapa ku.
“Eh, Salwa?” Sapanya yang ku balasi dengan anggukan kepala.
“Mau nonton?” tanya Zico.
“Iya. Sekali-kali, refreshing” ujar ku menanggapi.
“Bagus itu, jangan terlalu sibuk sama skripsi. Mahasiswa yang konsul ke dosen itu banyak, bahkan banyak yang jauh lebih cerdas dari kamu. Jadi, meskipun kamu gak ada, dosen gak bakalan ngerasa kehilangan. Tapi kalo kamu gak ada, skripsi kamu gak bakalan ada yang mau lanjutin, Sal” candanya kemudian tertawa.
Entah karena komunitas itu memang tidak membangun benteng antar sesama anggotanya atau dari awal aku memang senyablak ini hingga berani menanggapinya seperti ini. “Ha ... ha ... LUCU! Terimakasih untuk perhatiannya” sahut ku dengan sarkas yang dibalasinya dengan tawa kencang.
“Ya, sudah. Nanti jangan lupa buat hadir dirapat projek perdana” pesannya sebelum meninggalkan ku.
Aku sudah menduga interaksi ku dengan Zico akan mengundang kekepoan dua shohibii yang sedari awal sangat mawas terhadap laki-laki good looking. Mereka sudah tidak sabar ingin membuka suara saat koas FKG itu pergi,
“Masyaallah” celetuk Risa.
“Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad” ucap Hana.
“Heh, Gadh-dhul bashar!” sembari mengibaskan tangan ku. Mereka ternyata terpesona dengan makhluk satu itu.
“Aku gak kedip, kok” ujar Risa. Seketika langsung menepok jidat ku sendiri.
“Nggak gitu juga konsepnya, Ris, meskipun pandangan pertama itu rezeki bukan berarti boleh dipantengin sampe mata mu kaya mau keluar gini,”
“Kamu lagi, Han, kenapa tetiba sholawatan? Aku curiga” ujar ku menegurnya yang komat kamit membaca sholawat. Bukannya salah, tapi niatnya itu yang kurang tepat. Rasanya tidak benar saja melihatnya yang mendadak religius setelah melihat koas FKG itu.
“Ya, Sholawatin aja dulu, Sal. Barangkali berjodoh kan” sahutnya lancar tanpa merasa bersalah, berhasil membuat ku gemas ingin mencubit mulutnya.
“Harusnya kalian istigfar. Kalo kaya gini ceritanya, yang ada setan ketawa liat kalian!” sahut ku. "Dah ah, aku duluan. Keburu filmnya habis, baru tahu rasa" tukasku lalu berjalan masuk ke dalam bioskop mendahului mereka.
"Eh … Eh … Sal, kamu belum cerita ke kita, dia siapa?” ucap Risa setengah berteriak. Sedangkan Hana masih terpesona dengan pemandangan yang barusan lewat.
***