Chapter 3

1067 Kata
KALAU ada yang bilang masuk perguruan tinggi itu sulit, maka untuk keluarnya jauh lebih sulit. Semenjak keluarnya kebijakan baru mengenai pendamping ijazah, urusan mengajukan seminar hasil terasa dipersulit. Mahasiswa harus melengkapi seluruh poin yang ditetapkan, totalnya sepuluh jenis kegiatan. Sebenarnya ini sudah diberitahukan sewaktu orientasi kampus. Tapi ku pikir itu hanya sebuah gertakan, ternyata perguruan tinggi aturannya tidak main-main. Bukan macam jaman SMA, kalau tidak bisa masih bisa di lobi.  Buku-buku berserakan dikamar ku. Hasil membongkar isi brankas, mencari sertifikat keramat yang terselip, sampai brankas ghaib alias google drive pun ku korek-korek. Lumayan untuk menambah poin.  Terhitung sudah sembilan poin terisi. Masih tersisa satu, bidang kepedulian sosial. Menyesal rasanya dulu tidak ikut turun ke jalan untuk penggalangan dana~Lha, salah niat ini ceritanya. Baik, sekarang aku harus memutar otak bagaimana caranya mendapatkan sertifikat atau minimal foto kegiatan yang berbau sosial dengan cepat. Aku mencoba searching akun-akun yang menyelenggarakan kegiatan sosial. MRI Banjarmasin. Aku memilih komunitas itu, karena persayaratannya tidak ribet. Hanya perlu konsisten dan bertanggung jawab. Maka segera ku isi formulir pendaftarannya dengan hati girang. Setidaknya satu masalah ku selangkah terselesaikan. *** "Ya, jadi saran dari teman-teman hari ini kita tampung dulu. Nanti kalau ada update terbaru akan kita infokan melalui grub WA saja" ucap bang Dayat menutup pertemuan pertama setelah rekrutmen anggota MRI baru.  Aku bernafas lega karena pertemuan ini akhirnya selesai. Sedari tadi aku menahan muka agar tidak melirik ke seberang meja. Si koas tampan itu ada disini! Dunia memang sesempit itu, ya? Atau aku yang mainnya kurang jauh. Aku memang typical orang yang sulit berbaur, tapi ini jauh lebih awkward dibandingkan berhadapan dengan orang yang tidak ku kenal sama sekali. Apalagi first impression ku terhadapnya se intim itu. Flashback On "Kakak ini kayaknya suka minum kopi, ya?" ucap koas laki-laki itu. Dia tahu dari mana? Seolah bisa membaca pikiranku dia tersenyum dan melanjutkan bicara "Saya hanya menebak” ujarnya lalu membenarkan posisi kacamatanya yang sama sekali tidak miring. “Gigi geraham bawah kakak mulai berkarang. Ini biasanya akibat konsumsi teh, kopi atau makanan manis secara berlebih. Jadi, saran saya kakak mulai ngurangin konsumsi kopinya dulu. Untuk penanganan lebih lanjut, nanti datang saja ke RS ini" jelas koas laki-laki itu. Aku tersenyum kikuk. "Hal seperti ini wajar dan sering terjadi, jadi nggak perlu malu kak. Justru lebih baik tau sekarang daripada nanti, kalau dibiarkan bisa berlubang giginya" jelas koas perempuan, lalu aku menerima kartu rujukan dari mereka. "Ditunggu kak kedatangannya" ujar koas laki-laki itu tersenyum lagi. Saat mereka akan pergi, aku memanggil koas laki-laki itu, “Sebentar … ini punyamu, bukan?” ujarku sembari menyodorkan dompet yang selalu ku bawa didalam tas. “Kok bisa ada di kamu, Alhamdulillah” sahutnya yang tiba-tiba tidak lagi memanggil ku ‘kakak’ lalu mengecek isi dompetnya. “Ya, bisa. Dompet ini jatuh waktu adegan lari-larian. Aku kira lagi ada syuting film india”. Dia terlihat seperti menemukan ingatannya kembali lalu tersenyum kecut. “Btw, makasih dompetnya” ujarnya. Flashback off Jika kalian bertanya apakah aku pergi ke rumah sakit itu, maka jawabannya tidak. Aku punya sedikit trauma dengan dokter gigi. Dulu aku selalu bermasalah saat gigi seri ku mulai goyang. Ibu selalu cerewet mengingatkan agar segera mencabutnya, karena ibu sudah tidak bisa menangani kebebalanku, maka aku diserahkan ke dokter puskesmas terdekat. Serius, itu kali pertama gigiku dicabut setelah kejadian kejedot kepala teman. Gigi seri atas ku dua-duanya tanggal, lokasi kejadiannya dimesjid dekat rumah. Fun factnya, aku sama sekali tidak merasa sakit. “Wah, giginya baru tanggal, ya dek?” ujarnya lemah lembut sembari menowel-nowelkan salah satu dentist kitnya ke gigiku. Menurut dokter aja, gimana? Kan udah keliatan ujarku dalam hati, aku masih kesal lantaran dipaksa Ibu ke puskesmas. Entah gusiku yang memang alot sekali, sampai-sampai dokter itu harus mengganti tangnya, padahal aku sudah mendengar bunyi 'krek' berkali-kali sampai akhirnya berhasil tercabut. Saat itu kondisiku tidak sampai histeris tapi berhasil membuat air mata merembes keluar. Tidak bisakah kalau giginya dibiarkan saja hingga dewasa pikirku saat itu. *** "Kenapa nggak datang?" ucap seseorang yang tiba-tiba duduk disebelahku. Aku sedang mengikat tali sneakers, ku pikir dia tidak mengingat ku setelah kejadian minggu lalu. "Maaf, maksudnya gimana?" tanyaku. Dia terkekeh mendengar pertanyaannya yang ku balas dengan pertanyaan. Jelas dia tahu aku sedang berpura-pura. "Kenapa mau gabung ke MRI?" mengubah topik pembicaraan. "Perlu berapa tahap lagi nih biar jadi anggota disini? Perasaan kemarin udah deh diwawancara sama bang Agung" sindirku. Dia tertawa, “Astaga, kok mikirnya kesana? Tapi, kalo kamu khawatir bisa aku pastiin kemarin itu udah yang terakhir”. "Jadi, mesti dijawab banget nih pertanyaannya yang tadi?" tanya kulagi. Tidak lucu kan kalaunya ku beberkan alasan yang sebenarnya, ini jelas berbeda dengan visi misi komunitas MRI. Bisa-bisa aku di diskualifikasi. Dia kembali tertawa, “Nggak dijawab juga nggak papa, cuma penasaran aja, mahasiswi semester akhir kok masih sempat ikut komunitas diluar, emang gak ganggu penelitian, ya? Atau kamu ngambil 3,5 tahun? Tanya dia lagi. “Lho … kok?”. Aku refleks membuka kamera handphone untuk melihat wajahku. “Setua itu ya sampai keliatan semester akhirnya?” sahutku dengan memberi penekanan dibagian ‘semester akhir’. Dan apa katanya tadi? Ngambil 3,5 tahun? Dia sedang mengejek ku, ya? Boro-boro, ini saja keburu nambah semester jadi 4,5 tahun. Dia tertawa lagi “Nggak juga, diatas kepala mu kayak banyak awan hitam, suram dan beban banget bawaannya” ujarnya. “Ck ...” aku berdecih, sok tau! “By the way, Selamat bergabung ya di MRI, semoga konsisten sampai akhir. Soalnya banyak banget yang ngilang pas ditengah jalan, ada yang cuma ngejar sertifikat atau sekedar pencitraan, padahal di awal kita udah jelasin komunitas ini dibuat untuk membantu sesama, kita perlu banyak tenaga” aku tersenyum masam mendengarnya, sebab aku juga salah satu diantara anggota yang pamrih itu. “Kenapa mendadak jadi pendiam gini?” tanya dia lagi. “Nggak papa. Jadi, habis lari-larian di kafe waktu itu kelanjutannya, gimana?” sengaja mengalihkan pembicaraan. Ah, jangan sampai aku ketahuan, sepertinya aku harus memikirkan ulang, apakah tetap lanjut dikomunitas ini atau mengundurkan diri saja. “Nggak sedramatis itu juga kali” dia tersenyum, kali ini senyumannya hambar seperti menyiratkan sesuatu, entahlah. “Aku jadi penasaran, kenapa kamu nggak mau datang ke RS, sih? Sibuk, ya?” ujarnya penasaran. “Nggak juga”. Oke, sekarang aku mulai panik. “Terus?”. “Ya, nggak papa, eh aku duluan ya …” ujarku setelah berhasil mengikat tali sepatu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN