MASIH separuh tidak percaya bahwa sebagian besar tindakan wanita itu didominasi perasaan daripada logika. Tapi yang ku lakukan sekarang justru kontradiktif. Ya, sedari tadi aku seperti orang takut terciduk. Mengendap-endap memastikan apakah dia sudah datang. Aku kalah telak dengan 'perasaan' yang sering ku tegaskan bahwa ini sebab 'penasaran'.
"Salwa!" Panggil laki-laki yang tengah duduk didekat dinding yang terbuat dari kaca double glassing. Kacanya terlihat gelap dari luar namun transparan dari dalam sehingga aku tidak tahu dia sudah disana.
Ku picingkan mataku, dia tengah melambaikan tangannya. Kalau sudah begini percuma mengendap-endap, aku sudah ketahuan sejak awal. Ragu-ragu ku masuki kafe itu. Ujung bibirnya tidak berhenti tertarik ke atas. Tersenyum sumringah. Aku yakin tidak lama lagi giginya akan kering.
"Sudah lama nunggu?" tanya ku berbasa-basi.
"Nggak, setahun pun tetap aku tunggu kok" sahut Rais tak lepas dengan senyumannya itu.
Garing.
"Aku senang kamu mau datang" ujarnya dari seberang meja. Ku sunggingkan sedikit bibirku, sangat tipis. Mungkin ini lebih terlihat seperti kedutan daripada senyuman.
"Aku pesankan minuman dulu" ujarnya yang ku balasi dengan anggukan.
Tidak lama dia datang membawakan dua gelas minuman dan dua buah kue, cheese cake. Seleranya masih belum berubah.
"Kesukaan mu kan" ujarnya sembari menyodorkan ice cappucino.
"Makasih" ujarku.
"Kuliah kamu, gimana? Udah semester akhir kan ini" Tanya rais sembari melahap potongan demi potongan cheese cakenya.
"Lancar" ucapku santai, meskipun sebenarnya tengah merangkak untuk menyelesaikan Tugas Akhir.
Kalo kamu? Gimana rasanya kerja jadi baby sitter pejabat? Enak? Ingin sekali ku lemparkan pertanyaan itu untuk mengejeknya, tapi ku tahan.
"Syukurlah. Kabar orang tua kamu gimana?" tanya Rais
"Baik, alhamdulillah" jawabku seadanya.
"Aku baru dapat cuti beberapa hari. Jadi, nggak bisa lama. Titip salam ya buat om dan tante" ujarnya lagi lebih serius. Ku balas dengan tatapan malas.
"Kamu ... Sudah punya pacar?" tanya Rais sedikit ragu.
Keningku mengerut. Sepertinya aku tau kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. Dari awal harusnya aku sadar pertemuan ini tidak mungkin seurgent itu.
"Nggak ada". Dia terlihat lega. Hei, apa maksud perubahan ekspresinya itu?
Firasat ku tidak bagus
"Satu dari sepuluh, kira-kira berapa kemungkinan kita bisa kaya dulu lagi?" ucapnya enteng.
"Hah?" aku melongo mendeangar ucapannya barusan. Otak ku nge'freez'.
"Masih nggak berubah ya, wajah kamu merah tuh" ujarnya sambil tertawa.
Ya tuhan. Sontak aku memalingkan wajah dan menyesap minumanku yang entah sejak kapan tersisa setengah dan terasa segar. Eh? Kepala ku sedang mencerna. Sejak kapan cappucino terasa manis-manis asam?
"Kalau kamu mau tambah dan nyoba minuman lain bisa ku pesankan lagi kok, Santai saja" ucap Rais dengan senyum yang ditahan.
Astaga Salwa, bisa-bisanya tanganmu salah ambil gelas!
***
"Makasih, ya sudah mau nostalgia, eh maksudnya reunian" ujarnya yang sempat ku pelototi.
"Masih judes aja sih sama aku. Jarak antara Banjarmasin sama Samarinda itu jauh, lho" ujarnya
"Apa hubungannya?" tanya ku
"Soalnya kalo kamu kangen aku nggak bisa langsung nemuin kamu. Makanya jangan judes-judes" jawabnya.
"Nggak jelas banget" sahutku
"Kamu kalo judes gini kelihatan lebih menggemaskan" ujarnya sambil tertawa.
"Udah, kan? Aku mau pulang aja" putusku sembari memesan aplikasi gojek.
"Aku antar! Please, jangan nolak" ucapnya yang kemudian menghalangi arah jalan ku menuju pulang.
"Nggak mau!" berusaha menghindarinya, namun tasku ditahannya.
"Oke. Ya, udah. Aku nggak maksa kamu. Tapi janji, kamu bakalan balas chat aku, ya?" ujarnya melobi.
"Apa sih. Kekanakan banget" sahut aku tak mau menuruti.
"Nggak bakalan aku lepasin kalo gitu" ujarnya tidak mau mengalah.
Oke, sepertinya dia ingin melihat seberapa keras kepalanya aku.
"Kalau kamu suka tas aku, ya udah, nih ambil aja" sambil melepas dan menyerahkan tas yang ku bawa. Ekspresinya mendadak tidak enak. Mungkin dia tidak menyangka dengan reaksi yang ku berikan.
"Sal, Sal. Astaga, sensi banget sih. Lagi PMS ya, kamu? Ya, udah nih aku lepasin. Tapi, Please … balas ya?" ucapnya masih melobi.
"Dah.... " ku lambaikan tangan ketika gojek pesanan ku datang.
"Bakalan aku spam sampai kamu balas, Sal" ujarnya sambil berteriak.
Bodo amat.
***
Katanya setiap ketidakseimbangan adalah hutang. Skala satu sampai sepuluh, jika kualitas usaha kamu itu sepuluh namun hasil yang kamu peroleh hanya tujuh, berarti Tuhan sedang berhutang pada mu. Tapi jika kualitas usaha kamu lebih kecil daripada nilai yang kamu dapat, berarti kamu yang berhutang. Maka harus siap pula dengan kesialan yang akan kamu terima nantinya.
Entah keculasan ku dulu yang mana hingga karma ini berlaku. Lagi-lagi permintaan konsulku ditolak. Sedang istirahat kata beliau. Padahal teman-teman ku yang lain tengah bergerilya menuju bab empat.
Jelas aku iri karena hasil revisianku terakhir belum kunjung diperiksa. Padahal sudah optimis akan diberi ACC. Ah sudah lah. Memang tidak berbakat untuk menjadi mahasiswi 'ambis'. Kemarin ku tanya Retno bagaimana perkembangan skripsinya, masih ditahap revisi prototipe akhir dulu baru bisa masuk tahap validasi.
"Let it flow saja" katanya.
"Paling-paling menambah semester" ujarnya enteng. Sedari awal dia memang lebih memilih 'lulus diwaktu yang tepat' ketimbang 'lulus tepat waktu'.
Berbeda dengan ku yang mengejar 'lulus tepat waktu' tentu harus ekstra gerak cepat mengingat waktu pendaftaran sidang sudah hampir ditutup. Menambah biaya UKT selalu menjadi beban pikiranku. Kalau sudah begini apa sebaiknya aku minta dinikahkan saja, ya? Supaya tidak menjadi beban orangtua pikirku singkat. Ah, sedap sekali.
Terdesak oleh himpitan ekonomi memang tidak bisa membuatku berpikir jernih lagi. Sudah lama bapak tidak bisa bekerja, faktor umur. Memang sudah sepatutnya pensiun. Akhir-akhir ini bapak menemukan hobi baru, bercocok tanam dipekarangan rumah. Baru bayam dan pare saja sih, padahal aku tidak suka pare, pahit. Nanti coba ku belikan bibit sayuran lain supaya lebih bervariasi.
Hati ku masih sesak lantaran sudah terlanjur mendatangi kampus. Namun tak kunjung bertemu dengan dosen. Jantungku masih jedag-jedug sehabis menaiki anak tangga sebanyak tiga lantai. Aku tidak berani menaiki lift setelah kejadian tiga minggu lalu, salah satu staf kampus terjebak didalam lift sebab listrik yang tiba-tiba padam. Syukur saat itu masih ada satpam yang berjaga, mengingat jam kerja sudah hampir berakhir.
Masih sibuk mengelap peluh dan mengatur nafas. Salah satu dosen keluar dari salah satu ruangan.
"Nungguin siapa? diruangan udah nggak ada orang lagi" pak Ilmi memberitahukan.
"Oh, iya pak" langsung berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Entah hanya perasaan ku saja, ucapan beliau menyiratkan 'pengusiran' secara halus. Maklum, mahasiswi tingkat akhir sensitivitas perasaannya sepuluh kali meningkat. Mudah Baper.
Aku masih belum ingin kembali ke kostan, sebab sudah bisa dipastikan uring-uringan tidak jelas. Jadilah aku bersinggah di gazebo taman kampus. Tidak banyak yang nongkrong disini. Sehingga aku bisa leluasa menggunakan wifi kampus yang lebih sering 'ngadat' daripada lancarnya untuk mendownload drama korea. Meskipun ikut mengharamkan pacaran, tapi aku masih belum bisa melepaskan tontonan percintaan. Kadar keimanan ku masih di level 'newbie'. Don't Judge me.
"Permisi kak, maaf mengganggu waktunya" interupsi tiga orang mahasiswa, satu diantaranya laki-laki yang terasa familiar. Kedatangan mereka menghentikan aktivitas tangan ku yang sibuk nge'scroll' layar handphone. Mencari judul drama yang 'uwu'.
"Iya?" sahutku.
"Kami dari mahasiswa FKG sedang mencari sukarelawan untuk menjadi pasien di RS Citra Medika. Sebelumnya apakah kakak bersedia untuk menjadi salah satu relawan kami? Kalau kakak bersedia kami mohon izin untuk memeriksa gigi kakak” jelas satu dari mereka.
“Jika memang terdapat lubang atau masalah gigi lainnya kami akan memberi kartu rujukan supaya bisa dilakukan tindakan medis secara gratis. Kakak nanti bisa langsung datang saja dengan membawa kartu ini" ujar koas perempuan kemeja kotak-kotak menjelaskan. Aku berpikir sejenak.
"Kami hanya memeriksa saja kak, jadi nggak perlu khawatir" lobi si laki-laki mencoba meyakinkan ku. Wait … aku baru sadar. Dia laki-laki yang di kafe waktu itu, kan? Aku tidak mungkin salah mengenali orang. Oh iya, dompet!
“Bagaimana kak?" Tanya si perempuan yang memakai blus berwarna pastel.
Sebenarnya aku tidak keberatan untuk diperiksa, aku sangat yakin kondisi gigi ku baik-baik saja. Hanya saja, aku lebih khawatir soal bau mulut, aku mencoba mengingat-ingat, tadi siang aku makan apa saja. Meski demikian kepala ku tetap mengangguk.
"Bisa tolong buka mulutnya dulu kak" ujar perempuan berkemeja kotak-kotak.
Ku pikir yang akan memeriksa hanya si perempuan berkemeja kotak-kotak ini. Sebelum .... Hey dua teman lainnya kenapa ikut mendekat juga. Mana si laki-laki ini terlihat tampan. Please, nggak bau Ya Rabb, do’aku dalam hati. Malu.
***