bc

Diary of Salwa

book_age12+
1.1K
IKUTI
5.7K
BACA
love-triangle
fated
goodgirl
independent
inspirational
student
bxg
campus
first love
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Menurutku laki-laki dengan kecerdasan diatas rata-rata itu ‘berdamage sekali’ atau tiga kali jauh lebih tampan dibandingkan laki-laki kebanyakan. Semenjak ku tahu dia melantunkan surat An-Nur malam itu. Entah darimana asalnya, angin lembut berdesir halus melewati pembuluh darah ku, berhasil berkompromi dengan ‘kelenjar terbesar ditubuh’ alias hati untuk membentuk aliansi pengagumnya. Ku kira ini akan berakhir sebatas secret admirer semasa kuliah saja, tapi siapa sangka si koas FKG itu yang justru datang mengkhitbah sekaligus menjadi penawar trauma ku terhadap stratifikasi sosial—Salwa Ibnatil Ulfa.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1
POTONGAN lagu Najwa Farouk-Mauju’Qalbi, menggema keseluruh ruang kafe bernuansa klasik ini. Sesekali aku menyesap segelas kopi~ralat Hot Cappucino disudut ruangan lalu kembali mengetikkan ide yang bermunculan di kepalaku. Sengaja merubah suasana demi kemajuan penulisan Tugas akhir, entah sudah berapa kali tinta merah ini setia menghiasi. Lampu kuning temaram sukses memberi kesan hangat, kontras dengan keadaan diluar sana. Samar-samar aspal panas itu mengeluarkan kepulan asap saat diguyur hujan beserta angin yang kencang. Banner toko seberang ikut terseret hingga ke tengah jalan. Allahumma Shoyyiban Naa fi’an… Ya allah turunkan lah hujan yang bermanfaat ucapku pelan. Cuaca akhir-akhir ini cukup ekstrim, entah hanya perasaanku saja atau memang lapisan stratosfer tidak lagi berfungsi dengan baik hingga suhu disiang hari kian panas kemudian tiba-tiba diterpa badai seperti ini. Aku menghela nafas tatkala teringat jemuran yang belum sempat ku angkat. Semoga saja ada yang mau berbaik hati menyelamatkannya. Handphone ku bergetar, notifikasi dari media sosial berpanel hijau putih itu muncul. 'Apa Kabar?' Beberapa kali ku kedipakan mata untuk memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Ini sungguh dia kan? Ku telusuri profilnya, mungkin saja namanya kebetulan sama. Panel berbentuk lingkaran itu tengah berputar~loading. Oh, ayo lah aku mulai geram tak sabar. Layar Handphoneku berhasil menampilkan sosok pemuda berseragam Hijau tua. Beberapa detik mataku tidak berkedip. Ternyata dia memang Rais. Jujur aku bingung dengan reaksi yang harus ku berikan. Entah harus marah atau senang. Marah karena masih belum ikhlas atau senang karena dia belum melupakan aku sepenuhnya. Sebut saja plin plan. Ingatanku tentangnya masih stuck di masa lalu. Sebenarnya tidak semua hal tentangnya buruk. Tapi ada satu kejadian yang sampai sekarang masih belum ku temukan jawabannya. Sebab itu agak sulit untuk menerima masa lalu dengan ikhlas. Brakkk … (Suara gelas pecah) Tidak jauh dari tempat duduk ku terlihat pasangan yang sedang ... Bertengkar? Meja tersebut jadi pusat perhatian, meskipun ada beberapa pelanggan yang hanya menengok sebentar lalu kembali bersikap acuh. Si laki-laki itu nampak sungkan dan berusaha menenangkan si perempuan lantaran interaksi mereka jadi pusat perhatian. Namun si perempuan memilih pergi setelah meluapkan emosinya. Laki-laki itu terpogoh-pogoh membereskan barang bawaan dan membungkukkan badannya, isyarat permintaan maaf, kemudian berlari keluar menyusul si perempuan. Mataku masih mengawasi pemandangan menarik itu. Saat si laki-laki berlari melewati mejaku, ada barang yang jatuh dari tasnya. “Mas, dompetnya jatuh!” ujarku lalu mengambil dompet itu dan berlari keluar menyusulnya. Sayangnya yang dikejar sudah menghilang dibalik mobil Honda HR-VE putih. Aku terlambat. Satu hal yang membuat ku terbebani adalah bagaimana cara mengembalikan dompet ini? Didalam dompet ini sama sekali tidak ada nomor yang bisa ku hubungi. Satu-satunya informasi yang ku tahu, dia mahasiswa kedokteran gigi. Tapi aku tidak mungkin nekat mendatangi fakultasnya dengan modal nama saja, kan? Aku jelas tahu fakultas kedokteran gigi itu luas. Aku frustasi.  Lagi-lagi aku menghela nafas. Semakin kesini ku sadari betul bahwa kehidupan orang dewasa itu melelahkan. Kalau bisa memilih, aku ingin kembali menjadi anak kecil saja, kesehariannya hanya bermain tanpa perlu merasakan sakit hati karena proposal yang dicoret, atau permintaan konsul yang ditolak, tidak dihantui dengan overthinking akan menjadi pengangguran atau diteror dengan pertanyaan pasal pernikahan. Kadang karena rumitnya permasalahan, sering membuatku menjadi kufur tak berkesudahan. Padahal jelas ku ketahui ada banyak orang yang ingin berada diposisi ku sekarang.  Adzan Magrib berkumandang menghentikan lamunan ku. Segera ku bereskan barang dan bersiap pergi untuk mencari mesjid terdekat. Ternyata hujan belum reda sepenuhnya, sisa rintik air masih belum kering dan mulai menggenangi tepian jalan. Suhu udara juga turun drastis. Ku gosok-gosokkan kedua tangan lalu ku tangkupkan ke mulut untuk menciptakan kehangatan. Masih belum ada tanda-tanda awan hitam itu bergeser seinci pun dari tempatnya. Sebaiknya aku segera pulang sebelum kembali diterpa badai dan mengamankan pikiranku yang lepas kontrol dari membuat asumsi nasib kehidupan secara berlebihan. *** Adakah lagi hal yang paling nikmat didunia ini selain rebahan dikasur setelah seharian penat? Tentu saja tidak. Suasana malam ini teramat sejuk, dibawah selimut tebal aku bersembunyi. Suara gerimis menjadi selfhealing tersendiri bagiku. Nampaknya hujan masih setia menjatuhi bumi dengan partikel H2O nya. Sekelebat ingatan bermunculan. Perkataan ibu tempo hari terus terngiang dibenak ku agar secepatnya menemukan pasangan. Apalagi semenjak bang Kiel yang baru saja menikah. Bibi dan paman seolah kompak mengeroyok ku. Mereka melempar pertanyaan bertubi-tubi pasal kapan aku akan menyusul. Jika pertanyaan ini dilayangkan hanya untuk mengisi kekosongan bahan pembicaraan, ku pikir topik ini tidaklah bermutu untuk dibahas didepan keluarga besar. Belum lagi aku yang selalu dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupu ku. "Lihat tuh si Ririn sekarang sudah mau melahirkan. Adiknya, si Yaya juga sudah bawa calon. Kamu kapan? Jangan sampai adek mu ngelangkahin kamu, lho" lempar tante Una memulai topik hangat. "Do'akan saja, tan" mencoba tenang meskipun sedari tadi didalam hati sudah ketar-ketir. "Kalo belum ada calon, itu cucu uwak lagi nyari istri, lho. Mau uwak jodohin aja, nggak?" memberi usul. Aku tersungging masam. "Mau nyelesain skripsi dulu lah wak, nanti kalau sudah ada hilalnya pasti Salwa kabarin" ujarku sesantai mungkin. "Kenalan saja dulu, siapa tahu cocok. Lagian cucu uwak itu punya usaha furnitur. Omset usahanya bisa puluhan juta lho, Sal" Om Wisnu tiba-tiba bergabung dan membuat ‘mereka’ semakin bersemangat mendesak ku. Arrghh... Bu, selamatin Salwa. "Tuh, Sal udah mapan lho. Mau yang gimana lagi. Nggak usah muluk-muluk lah. Nyari suami itu yang penting baik perangainya. Pekerjaannya stabil. Udah, bakalan hidup enak kamu". Provokasi tante Ila sambil menyuapi anaknya yang rewel berebut mainan. Mataku mencuri tatap ke arah ibu dengan muka meringis, meminta pertolongan. Namun ibu hanya menggangguk, yang berarti 'Dengarkan saja'. Bahkan ibu pun tidak bisa menyelamatkan ku. "Bukannya apa-apa lho, Sal. Amit-amit aja nih. Kalo keseringan nolak, tante khawatir ntar malah jadi perawan tua. Ya kan, Rah?" tanya tante Una yang lebih terkesan "pernyataan". Ku lihat ekspresi ibu sedikit berubah mendengar ucapan tante Una barusan. Mungkin ibu tidak terima dikatakan anak gadisnya akan menjadi perawan tua. Bukankah ucapan itu do'a? Lagipula termasuk jenis kekhawatiran yang mana ini? Umurku baru menginjak dua puluh dua tahun. Sudah mendapat lampu kuning akan menjadi perawan tua. Bagaimana nanti? Ya ilahi. Aku bingung, mereka sungguh peduli atau maniak mengawinkan anak orang? "Huss … Jangan lah mbak. Do'akan saja, semoga Salwa cepat menyusul abangnya juga. Iya, kan Sal?" akhirnya ibu angkat bicara. Aku hanya bisa tersenyum pahit. Benar kata Gita Savitri, kita wanita tidak banyak diberi waktu untuk mengenal diri sendiri. Begitu banyak stigma yang mengharuskan di usia sekian harus bekerja, menikah lalu mempunyai anak. Kepalaku menggeleng cepat. Ku buka handhpone untuk mengalihkan perhatian. Pilihan ku jatuh pada aplikasi bersimbol gagang telepon. Mengecek pesan yang masuk hari ini. Hanya ada pesan grub angkatan dengan notifikasi yang terus menumpuk dan satu pesan darinya tadi sore yang belum ku balas. Selang beberapa menit aku mencoba memejamkan mata lagi, tapi gagal. Aku tidak bisa tidur. 'Baik' sending Penasaran. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya. Mungkin saja dia ingin menjelaskan sesuatu.  Entah dia memang menunggu balasanku atau kebetulan online hingga didetik berikutnya pesan tersebut berubah menjadi centang biru. 'Syukur lah. Kamu lagi sibuk? Kalau nggak keberatan kapan-kapan ketemuan yuk' balasnya Keningku mengerut. Bukannya dia sedang bertugas diluar daerah? Jangan-jangan dia ingin menyebar undangan pernikahan, tebak ku asal. Lama pesannya ku diamkan. Dia mengirimi ku lagi pesan secara beruntun. 'Aku nggak lama disini, cuma beberapa hari' 'Kalo kamu bersedia, aku tunggu di O'caffe besok jam 2 siang' 'I really hope you'll come :)' Pikiranku jauh berkelana hingga ku buat kesimpulan, nampaknya aku akan didahului mantan menikah. Mengenaskan sekali. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook