Chapter 6

1412 Kata
PROKER Gajuba jum’at siang ini berjalan lancar. Ku lihat banyak senyuman bahagia dari mereka tatkala kami membagikan makanan. “Terimakasih banyak, nduk, semoga Allah membalas kebaikan nduk” ujar kakek Hasan. Beliau berumur tujuh puluh tahun, badannya tidak lagi tegap. Seharusnya dengan kondisi fisiknya yang demikian, beliau banyak meluruskan badan diatas kasur empuk, dan bukannya malah duduk berjam-jam dibawah matahari yang luarbiasa terik sambil menggergaji batang kayu seukuran pergelangan betis orang dewasa. Seolah matahari adalah kawan karibnya, sesekali beliau mengelap keringat dengan tangannya yang berdebu. “Harganya lima ribu rupiah saja perkabat, nduk” jawabnya saat ku tanya harga jual kayu bakar itu. Aku tersentuh, kehidupan warga di desa ini sangat bersahaja. Tidak banyak memikirkan pernak pernik kehidupan, bisa makan dan tidur nyenyak saja sudah menjadi suatu hal yang harus disyukuri. Banyak anak-anak mengerumuni kami penasaran, sesekali bang Dayat melempar lawak membuat mereka tertawa gelak. Sayangnya, kunjungan kami kali ini hanya membawakan makanan, mungkin dilain waktu kami bisa membawakan buku ataupun mainan yang banyak. “Nanti pulangnya langsung aku antar ke rumah aja, ya Rin” bujukku, sedari tadi dia meminta agar diantarkan ke camp saja, tidak mau merepotkan katanya. “Aku gak keberatan sama sekali kok, sekalian main ke rumahmu juga. Masa orang mau bersilaturrahmi gak dibolehin, Rin?” bujuk ku sekali lagi. Dia nampak mempertimbangkan tawaran ku. “Ya udah. Iya boleh, deh. Tapi, ini beneran gak ngerepotin kamu, kan?” tanyanya sekali lagi. “Benerannn!” ujar ku meyakinkan sembari mencubit pipinya, gemas sekali.   *** Saat akan menuju kostan setelah mengantarkan Rini ke rumahnya dengan selamat, didepan Gedung Satlantas ramai pengendara berbelok memasuki halaman tersebut. Setelah dilihat dari dekat ternyata ada pemeriksaan rutin oleh pihak Kapolres. Dulu saat belum memiliki SIM bila ku temui razia seperti ini, biasanya dengan cekatan tanganku memutarbalik motor kearah berlainan bak pembalap asal Italia atau barang bersinggah sebentar ke kedai kopi agar terhindar dari surat tilang. Tapi anehnya semenjak aku resmi memiliki SIM, tidak pernah sekalipun ku temui razia lagi. Nampaknya ini adalah ajang perdanaku unjuk gigi, pamer bahwa sekarang tidak akan kena tilang, dengan jumawa ku belokkan stang motorku saat diarahkan petugas memasuki halaman dengan wajah sumringah. “Seumur-umur baru kali ini ku lihat orang sumringah pas kena razia, kesurupan kamu?” tanya Zico yang ternyata juga menepi dalam rombongan ini. “Lho? Kena razia juga?” ujarku kaget dan kemudian mentertawakannya lantaran kondisi mimik wajahnya yang masam. “Beneran kesurupan nih anak” sahutnya. “SIM nya keluarkan” ujar salah satu petugas Saat akan menyerahkan SIM, salah satu pengendara yang berada dibelakang ku menerobos keluar dari antrian. Motor ku terserempet olehnya, aku tidak siap menerima dorongan sekeras itu membuat ku tersungkur ke atas aspal. Beberapa petugas berlarian mengejarnya. Mungkin karena melihat ada keributan, petugas yang juga berjaga didalam gedung sekitar keluar untuk mengecek kejadiaan yang terjadi diluar. “Apa yang terjadi?” tanya salah satu petugas Beberapa orang membantu ku untuk mengangakat motor yang menindih kaki ku. Pantas saja terasa perih, ternyata kaki ku mengenai knalpot motor. Ngilu sekali melihat betis ku yang melepuh. “Salwa?” tegur seseorang. Aku melongo melihat kehadirannya yang juga berada disini. Kenapa berada di sekitar sini? Terlebih dia seorang TNI, tidak ada tugasnya disini untuk memeriksa kelengkapan pengendara. Kesialan macam apa ini? “Kenapa bisa--” “Aku ada urusan disekitar sini” potongnya Dia terlihat khawatir saat melihat kaki ku yang melepuh. Saat tersadar bahwa kaki ku terlihat orang lain, buru-buru ku tutupi dengan bagian gamis yang tidak bolong. “Kaos kakinya dilepas dulu Sal!” tegur Zico yang juga berada disana Aku menatapnya nyalang, dia menyuruh ku untuk membuka aurat? “Ini keadaannya darurat. Kalau dibiarkan nanti infeksi” ujarnya, dia sudah mengeluarkan peralatan dokter yang dibawanya. Dia menyiramkan air mineral yang dibawanya pada luka bakar ku. Muka ku meringis kesakitan, sangat perih. “Habis ini nanti kamu olesi salep luka bakar. Supaya tidak membekas” tambahnya. Apa dia selalu membawa peralatan-peralatan semacam itu didalam tasnya? Pikir ku saat dia membalut kain kasa basah keatas luka ku. Pemeriksaan lalu lintas tidak berlanjut. Karena situasi yang tidak kondusif tadi, membuat sebagian orang lainnya bubar. Hah … percuma dong aku bikin SIM, lagi-lagi fungsinya gagal digunakan didetik-detik terakhir! “Mau aku antar balik Sal?” ajak Zico “Nggak usah. Aku masih bisa berdiri kok” tolak ku “Kamu yakin?” tanyanya memastikan “Yakin!” sahut ku tegas. “Baiklah. Kalau gitu aku duluan ya, fii amanillah. Assamu’alaikum” ujar Zico saat pemeriksaannya sudah selesai. “Siapa dia? Kamu kenal? Sampai mau nganteri segala!” tanya Rais penasaran. Hampir saja aku lupa kalau dia masih disini. “Bukan urusan kamu!” sahutku sekenanya dan langsung melajukan motorku sesaat setelah berdiri. Aku menaiki motor ku kemudian meninggalkannya penuh tanda tanya. Ku lihat dari balik kaca spion airmukanys mengeras, masa sih dia cemburu? *** Pukul Sembilan malam, mataku hampir terpejam hingga sebuah ketukan dari balik pintu menyadarkanku. Bisa-bisanya aku ketiduran padahal baru setengah jam lalu menelusuri jurnal untuk kelanjutan bab empat skripsiku. “Kenapa? Kamu kehabisan minyak goreng lagi, Lu?” tanyaku pada Lulu, dia tetanggaku. Biasanya kami sering berbagi bahan dapur kalau salah satu dari kami hampir melarat akibat terlambat mendapat kiriman dari orang tua, sebagai sesama anak rantau tali kekeluargaan kami terjalin sangat erat. “Nggak, tadi aku habis dari warung, trus ada cowok didepan nyariin kamu, dia siapa, Sal? Pacar kamu?” tebak Lulu penasaran. Dahiku mengernyit heran, siapa yang malam-malam begini mencari ku? “Gak ada pacar-pacaran” sahutku pada Lulu membuatnya sedikit kecewa. “Ganteng, lho, Sal” tambahnya lagi sebelum berlalu kekamarnya. Setelah memasang hijab instan, aku keluar dan mengintip dari balik pagar—waspada--barang kali penjahat yang mengaku temanku. Ku lihat laki-laki misterius menggunakan jaket merah hitam menepikan motor CBRnya, wajahnya masih tertutup kaca helm. Rasa-rasanya aku tidak memiliki kenalan dengan motor CBR. Aku memikirkan cara agar dapat mengetahui wajahnya. Ku lihat banyak kerikil batu kali memenuhi pot tanaman aloe vera milik ibu kost. Tanpa sepengetahuannya ku lemparkan batu itu kemudian menunduk dari balik pagar sambil mengintip. Batu itu tepat mengenai kepalanya yang masih terpasang helm sambil mengetikkan sesuatu pada handphonenya. “Aw …” ujarnya dari luar pagar. Dia melirik kearah pagar lalu melepas helmnya, seketika bulu kuduk ku merinding. “Astagfirullah” ucapku pelan sambil mengusap d**a. “Ngapain kamu disini? Nakutin aja!” ujarku masih dari balik jeruji besi yang renggang. “Muka ganteng gini masa menakutkan, Sal! Lagian kamu kok susah banget dihubungi?” “Emangnya mau ngapain?” tanyaku ketus. “Jalan, yuk!” ajak Rais dengan muka cengengesannya. “Gak, ada. Aku sibuk!” sahutku. “Ya, udah kalo gitu aku masuk. Masa tamu dibiarin kenyamukan diluar” ujarnya. “Kamu gak lihat tuh kertas, laki-laki dilarang masuk!” ujarku sambil menunjuk peraturan tertulis dikost ini. “Ya, udah kalo gitu kita jalan keluar aja, sekalian ada yang mau aku jelasin” lobi Rais. “Gak ada yang perlu dijelasin, udah sana pulang sebelum kena grebek ketua RT” usirku. Dia tersenyum cerah. “Bagus dong, jadi kita bisa langsung ke KUA” ucapnya asal membuatku geram maksimal. “Fine. Oke, aku ikut” ucapku yang akhirnya menyerah dan menuruti Rais, dia tersenyum kemenangan. *** Aku memaksanya untuk singgah dipangkalan mie ayam pakde langgananku, Rais nampak kurang setuju, sebab jarak antara pangkalan pakde dengan kost ku hanya terpaut lima ratus meter. “Kok disini sih, Sal?” ujarnya nampak ingin protes tapi ditahannya sebab aku mengancam, kalau menolak tempat yang ku pilih, aku akan pulang, jalan berdua batal. “Gak mau? Ya, udah aku pulang nih, lima menit juga nyampe” kataku mengancamnya. Kali ini aku yang menyebar senyum kemenangan. “Gak gitu, tapi ini cuma beberapa langkah dari rumah kamu, lho. Maksud aku kita jalan keliling Banjarmasin, nyari tempat makan yang nyaman buat ngobrol” ujarnya menjelaskan. “Lho, bukannya tadi kita udah jalan naik motor kamu? Trus ini juga tempat makannya nyaman kok, anginnya sepoi-sepoi--adem. Dan yang terpenting mie ayamnya juara!” sahutku tak mau kalah. “Tapi, Sal …” “Tapi apa? Kalo kamu keberatan aku pulang” ujarku memotong pembelaannya, kemudian berdiri ingin menjauh dari pangkalan pakde. “Ya, udah, gapapa deh” ujarnya mengalah tapi masih dengan kondisi wajah yang sulit menerima. Rasanya ingin sekali tertawa sekencang-kencangnya melihat ekspresi sedihnya itu. Rasakan! “Jadi, kamu mau jelasin soal apa?” tanyaku memulai pembicaraan yang menjadi topik utama malam ini. Awas saja kalau pembicaraannya tidak penting seperti pertemuan di kafe bulan lalu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN