3

1010 Kata
"Naysillaa, banguun udah siang," teriak Fina sambil menggedor pintu kamar Naysilla. Suara Fina yang melengking memang satu-satunya suara yang bisa membangunkan Naysilla selain bunyi alarm pada jam wekernya. "Iya Bun, ada apa? Sekarang kan weekend. Jangan ganggu tidurku dong," sahut Naysilla dari balik selimutnya. "Collen sama Tera nunggu kamu di bawah, katanya kamu yang bikin janji sama mereka mau ke toko buku?" "Hah? Toko buku?" Naysilla melamun sejenak untuk mengembalikan ingatannya. "Ah iya! Astagaa kok aku bisa lupa! Iya Bun, suruh mereka tunggu sebentar!" Ini nih yang paling Naysilla benci dari dirinya. Pelupa! tidak heran orang-orang sering bilang dia pikun. Bagusnya kalau situasi genting seperti ini, lima menit waktu yang cukup bagi Naysilla untuk mandi. Naysilla menuruni anak tangga satu persatu dengan secepat mungkin. Collen dan Tera hampir saja dilanda rasa bosan selama menunggunya. "Hey guys!" sapa Naysilla dengan melemparkan senyum selebar mungkin pada mereka, tanpa merasa berdosa sedikitpun. "Nggak usah sok manis deh Nay!" sepertinya senyum manis, eh lebih tepatnya senyum sok manis dari Naysilla tak berpengaruh apa-apa pada mereka, terutama pada Collen. Sera juga melempar tatapan sinis padanya, tapi tetap saja tidak sesinis Collen. "Tau nih, pake senyum-senyum segala lagi," "Yaudah yuk jalan! Nanti keburu siang, kan panas," timpal Sera. Dia memang paling takut jika terkena panas. Karena panas bisa membuat kulitnya hitam, dan dia merasa jika dia hitam akan terlihat dekil dan kumal. Diantara mereka bertiga, Tera yang paling mementingkan penampilan. Berbeda dengan Collen, dia paling cuek tentang penampilan. Dia selalu mengenakan pakaian yang menurutnya nyaman untuk dipakai. Seperti ripped jeans, kaos, rambutnya-pun lebih sering dikuwel-kuwel, tidak pernah diikat rapih. Dan kalau Naysilla, tidak terlalu fashionable seperti Tera, yang penting rapih, nyaman dipakai dan tidak terbuka atau mini seperti kekurangan bahan, dikuncir kuda, pakai kacamata berbingkai hitam. Dari penampilannya sih, semua orang pasti tau kalau dia memang kutu buku. "Bun, aku berangkat, ya." pamit Naysilla seraya mencium punggung tangan Fina, diikuti Collen juga Sera. "Hati-hati yaa!" Fina mengantar mereka sampai depan pintu. "Kita langsung ke toko buku aja ya, katanya novel Dear Nathan udah terbit. Gue mau beli." rajuk Naysilla dengan sedikit memohon disertai puppy eyes-nya. "Terserah kalian mau mampir kemana dulu, gue sih ikut aja." kata Collen. Seperti biasanya, Collen hanya menuruti kemauan dua sahabatnya itu. "Hm, gini nih resikonya punya teman kutu buku." Tera memutar kedua bola matanya. "Iya deh... Untung lo sahabat gue, dan gue sayang sama semua sahabat gue." Tera memasang senyum yang dipaksakan. "Yeay, lo berdua emang the best friends ever in mylife!" puji Naysilla lalu merangkul Collen dan Sera. Jika sudah memasuki area toko buku, Naysilla selalu asik sendiri, dan merasa seperti memiliki dunia sendiri. Berkeliaran mengelilingi jejeran rak buku, melihat-lihat judul juga cover-nya, lalu aku membacanya sedikit. Jika menarik buku itu pasti dibeli. Sesekali dia melirik Tera dan Collen. Collen terlihat bosan melihat jejeran buku di setiap sudut dan sisi. Dia hanya mengambil buku, melihat cover depan, kemudian dibalik untuk membaca sinopsis yang biasanya tertulis di cover belakang, dan diletakkan kembali olehnya. Itu dia lakukan secara berulang pada beberapa buku. Tapi ketika Naysilla melihat Tera, dia sedang asik menggoda pria tinggi, putih, berseragam kuning hitam. Sepertinya pria itu salah satu pekerja di toko buku ini. Memang anak itu selalu bersikap sangat manis pada setiap laki-laki. "Udah yuk, kita ke kasir." kata Naysilla menghampiri Collen dengan membawa lima buku novel yang ditumpuk menjadi satu. "Nay! Lo serius mau beli novel sebanyak itu?? Tadi katanya mau beli novel Dear Nathan doang?" tanya Collen dengan ekspresi sedikit kaget. "Ngapain gue bawa-bawa kalau nggak mau dibeli," jawab Naysilla enteng. Itulah Naysilla, kalau udah ke toko buku, rasanya semua ingin dia beli. "Ngga kebanyakan Nay? Emang lo yakin bakal dibaca semua? Itu tebel banget loh Nay, gue aja liatnya udah gumoh duluan nih," ucap Collen seperti tidak yakin denganku. Naysilla menggeleng. "Yaudah ayuk temenin gue bayar ke kasir." Selesai membayar semua novelnya, Naysilla dan Collen menghampiri Sera. "Nay, lo sehat? beli novel sebanyak itu?" Ekspresi Tera jauh lebih terkejut dibanding Collen tadi. "Nggak panas kok badan lo Nay." Berlebihan, dia sampai menyentuh kening Naysilla dengan punggung tangannya. "Kalau gue nggak sehat, nggak mungkin bunda izinin gue keluar bareng kalian sekarang," ketus Naysilla seraya memutar bola matanya. "Ayuk kita makan dulu kek, gue laper nih. Tadi pagi belum sarapan, baru makan roti selai sama bubur doang," "Hah? Makan segitu banyaknya, lo bilang 'doang'?" tanya Tera dengan menekankan kata 'doang'. Mendengar perkataan Collen, Tera sampai lupa menutup mulutnya. "Mingkem kali, gue takut kalau lalat lewat depan mulut lo yang kebuka gitu, mereka pada mati," Collen kalau ngomong memang tidak pernah disaring, refleks Tera langsung merapatkan mulutnya. "s****n lo, mulut gue mah harum semerbak bagaikan bunga mawar di taman," "Udah yuk, katanya mau makan?" ujar Naysilla mengalihkan pembicaraan mereka. Baru sampai di sebuah tempat makan, Collen langsung mengambil menu makanan. Mereka makan di resto yang tidak terlalu mewah, harga makanannya pun tidak terlalu mahal, makanya mayoritas yang berkunjung itu anak muda. "Mau pesan apa mbak?" tanya seorang waitress. "Aku mau nasi goreng spesialnya satu, jus mangganya satu. Ser lo pesan apa?" "Aku Salad aja mbak, sama minumnya jus mangga juga, tapi less sugar ya mbak, Len lo mau pesan apa?" "Mbak aku mau pesan kentang goreng, sup ayam, cheese cake-nya satu, sama nasi goreng spesialnya satu juga," "Minumnya?" "Minumnya jus jeruk aja," "Baiklah, pesanan akan kami antar," "Dasar perut karung ya!" ketus Tera memutar bola matanya. "Biarin si, selagi makan banyak nggak buat gue gemuk, ya nikmatin aja. Bilang aja lo iri?" Collen menaikkan salah satu alisnya. Dari awal Tera memang sangat iri dengan Collen yang bentuk tubuhnya tetap stabil, walau porsi makannya begitu banyak. Sedangkan dia, porsi makannya dilebihkan sedikit saja, berat badannya langsung naik. Jika satu kilo saja berat badannya naik, dia langsung stress yang berlebih. Itulah sebabnya dia sangat amat menjaga pola makannya. Tak lama kemudian seorang waitress tadi mengantar pesanan mereka. "Ser makan lo dikit banget?" tanya Naysilla heran. "Iya, gue lagi diet Nay," "Ser makanan lo daun-daunan gitu? Udah kayak kambing aja. Nggak menggugah selera sama sekali!" lagi-lagi Collen lupa menyaring omongannya. "Lo liat dong Len, cuma gara-gara makanan lo nih, meja kita udah kayak meja perasmanan gini. Bikin malu aja!" timpal Sera. Collen hanya terkekeh mendengar ucapan Sera. Mereka berdua memang paling ahli dalam urusan cela-mencela. Hampir setiap hari mereka adu mulut, tapi persahabatan diantara mereka tetap terjaga. Ketiganya memang menyadari, sahabat itu bukan dia yang harus sempurna. Tapi dia yang tetap terlihat sempurna walau dengan seribu kekurangan, karena mereka saling melengkapi satu sama lain. Itulah yang membuat some friendship lebih berwarna. Even no perfection between them, but they feel more than perfect.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN