Prolog
"Saska ...Saska ... Saska ... Saska ..."
Suara itu menggema di sebuah rumah mewah, tepatnya di depan sebuah kamar yang penghuninya masih terlelap di balik selimut tebalnya.
"Saska bangun udah jam berapa ini! kamu gak sekolah?" teriakan seorang wanita paruh baya.
"Bentar lagi, Ma," sahut sang empunya kamar.
"Kamu keluar sekarang atau mama potong uang jajan kamu!" ancam Helena mamanya Saska.
Pintu kamar itupun terbuka, berdirilah seorang wanita cantik yang rambutnya sudah seperti singa.
"Cepat mandi dan siap-siap, pak Yudi udah nunggu dari tadi," ujar Helena.
"Iya Mama." Saska pun kembali masuk kedalam kamarnya dia pun segera menuruti apa yang telah diperintahkan oleh mamanya.
Setelah menghabiskan waktu selama dua puluh menit Saska pun turun kebawah untuk menemui mamanya.
"Ma, Saska gak sempat sarapan ya, 20 menit lagi udah bel Saska gak mau telat," ujarnya.
"Ya udah hati-hati kamu, fokus belajar jangan asik pacaran!" tegas Helena.
"Iya Ma, kak Celia mana?" tanya Saska.
"Kakakmu udah berangkat dari pagi katanya mau ke rumah dosennya dulu," jawab Helena.
"Itu mah alesannya doang palingan mau ketemu Kak David," pungkas Saska.
"Ya sudah itu urusan dia, sana sekolah nanti kamu telat," ucap Helena.
"Iya Ma, Assalamualaikum." Saska menciumi tangan ibunya setelah itu dia langsung keluar rumah dan memasuki mobilnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 15 menit mobil sedan itu pun berhenti di SMA Mutiara yaitu SMA dimana Saska bersekolah, saat Saska turun dari mobil semua perhatian siswa maupun siswi tealihkan ke arahnya.
****
Saska berjalan menuju lantai tiga, saat perjalanan menuju kelasnya langkahnya terhenti karena ada seseorang yang merangkulnya.
"Pagi, Sayang," sapaan manis dari cowok ganteng.
"Pagi juga, Sayang," balas Saska, lelaki yang menyapanya tadi adalah Dafa Anggara.
"Kamu udah makan apa belum? Kalau belum kita ke kantin yuk," saran Dafa.
"Ayok Daf, kebetulan aku belum sarapan " ujar Saska manja. Lalu mereka berdua berjalan menuju kantin
******
Setelah selama delapan jam murid SMA Mutiara bergelut dengan pelajaran, akhirnya bel yang sedari tadi mereka impikan berbunyi, Saska keluar dari kelas yang bertuliskan "XII IPA 4" bersama dengan kedua sahabatnya.
"Sas, gue sama Rena duluan ya, lo nungguin Dafa kan? Sorry kita gak bisa temenin," ujar Violeta.
"Iya hati-hati ya lo berdua," ucap Saska.
Kedua temannya itu pun berlalu meninggalkan Saska yang masih duduk di bangku depan kelasnya, sambil menunggu sang kekasih Saska pun sibuk memainkan ponselnya, hingga ada sebuah pesan masuk.
Saska, kamu pulang duluan aja ya, soalnya aku harus anterin Almed pulang dia lagi sakit.
Sorry ya?
Saat Saska hendak membalas pesan dari kekasihnya, sebuah pesan kembali berhasil masuk ke ponselnya
Di depan gerbang ada orang yang jemput kamu ya, dia rekan kerja papa, jadi mama mau kamu pulang bareng dia
Saska menuruti permintaan ibunya karena Dafa juga tidak bisa mengantarkannya pulang, jadi dia harus mengikuti saran dari ibunya.
Saska berjalan menuruni tangga dan segera menuju gerbang sekolah untuk menemui orang yang telah ditugaskan untuk menjemput dirinya.
Saat dia melihat seorang pemuda memakai jas yang sedang berdiri di depan mobil sportnya itu, dia yakin kalau orang itulah yang di tugaskan oleh papanya, Saska pun berjalan mendekati lelaki itu. Dia seperti mengenali lelaki ini namun dia berpikir mungkin mereka pernah bertemu saat dia diajak papanya bertemu rekan bisnis.
"Mas mau jemput saya?" tanya Saska sopan.
"Kamu Saska anaknya pak Arlan Wirasetya?"
"Iya kenalin nama Saya Saska Gheanika." Saska memperkenalkan dirinya.
"Saya Sergio Adiatama," lelaki itu menjabat tangan Saska.
Sergio Adiatama? Gak mungkin. Dia gak mungkin kembali.
"Ya sudah kita bisa pulang sekarang 'kan," ucap Saska.
"Ya tentu." Sergio pun membuka pintu depan mobilnya dan mempersilahkan Saska masuk.
Saat mobil sport itu sudah melaju meninggalkan sekolahannya, suasana pun menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara
"Saska kamu sudah kelas berapa." Sergio membuka pembicaraan
"Kelas 12." ucap Saska
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Sergio
"Sudah," jawab Saska.
Sergio hanya menganggukan kepalanya sambil memikirkan sesuatu.
"Sudah berapa lama kamu berpacaran dengan pacar kamu?"
"2 tahun, kenapa?" giliran Saska yang bertanya karena Sergio terlalu penasaran akan kasus percintaannya.
"Tidak apa-apa," jawab Sergio.
Setelah itu suasana kembali hening, sampai akhirnya mereka telah sampai di rumah Saska. gadis itu pun segera turun dari mobil dan disusul oleh Sergio yang berjalan di belakangnya
"Saska pulang," teriak Saska saat sudah memasuki rumahnya.
"Gak usah teriak juga kali, lo pikir ini hutan," jawab Celia yang tengah berada di ruang makan bersama keluarganya, sedangkan Saska hanya menyengir saja.
"Sergio mari sini gabung kita makan sama-sama," ucap Arlan ramah.
Sergio pun menuruti kemauan Arlan dan segera bergabung di meja makan.
"Saska ganti baju dulu," ucap Saska.
"Gak usah kamu makan dulu aja, soalnya ada yang mau kita omongin," ucap Helena.
"Ngomongin apa?" tanya Saska penasaran dan langsung duduk kembali di kursinya
"Mama sama Papa berniat menjodohkan kamu dengan Sergio," ucap Arlan.
Saska yang sedang meneguk air langsung terbatuk-batuk saat mendengar apa yang Arlan ucapkan.
"Papa kalau becanda emang paling mantap," ucap Saska sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Papa serius Saska, Papa mau kamu tunangan dengan Sergio," lanjut Arlan.
"Kenapa harus aku? Aku belum tamat SMA, Pa. Kenapa enggak Kak Celia aja." Saska membantah ucapan papanya.
"Kak Celia udah punya David, dan mereka berdua udah cocok, David akan segera melamar Celia setelah Kakakmu lulus kuliah," ucap Arlan.
"Saska juga udah punya Dafa, kami berdua juga udah merasa nyaman dan Saska bisa nyuruh Dafa buat lamar Saska juga kok." Saska tetap kuat pada pendiriannya.
"Dafa itu cuma bocah ingusan, dia enggak punya pekerjaan mau makan apa kalian nantinya!" tegas Arlan.
"Jadi dengan aku nikah dengan om-om kayak gini Papa pikir aku akan bahagia? Kenapa papa gak sekalian jodohin aku sama kakek-kakek aja, Papa selalu egois sama aku. Papa gak pernah sekali pun bebasin aku untuk memilih apa yang aku mau, kalau Papa izinin Kak Celia buat milih calon suaminya sendiri, kenapa Papa gak izinin aku buat milih orang yang tepat buat jadi imam aku nantinya." mata Saska mulai berkaca-kaca.
"Sergio itu suami yang tepat untuk kamu Saska!" suara Arlan meninggi.
"Lebih baik Papa bunuh Saska sekalian daripada harus nikah sama dia, orang yang baru Saska kenal hanya beberapa menit yang lalu." Air mata Saska jatuh membasahi pipinya.
"Sergio itu anak dari kerabat kerja Papa, Sas. Jadi dia itu udah pasti pantas bersading sama kamu." Arlan memelankan suaranya karena melihat Saska yang hampir menangis.
"Sampai kapan pun Saska gak mau! Mau dia anak rekan kerja Papa atau bukan, Saska gak akan pernah peduli tentang itu,karena Saska cuma cinta sama Dafa bukan sama lelaki asing ini."
Saska berlari meninggalkan ruang makan dan segera menuju kamarnya
"Pak Arlan yang sabar,kasih Saska waktu buat terbiasa dengan kehadiran saya kembali, jadi wajar kalau dia masih sensitif seperti itu," ucap Sergio.
"Saya yakin cepat atau lambat Saska akan mencintai kamu, karena kamu adalah lelaki terbaik untuk Saska." Arlan menepuk pundak Sergio.
"Saya permisi pulang dulu Om, lain kali saya akan berkunjung," pamit Sergio.
"Kamu gak makan dulu, Nak?" tanya Helena.
"Lain kali saja, Tan. Saya permisi." Sergio pun melangkah pergi dari rumah Saska.
"Mama sama Papa jahat." Saska menangis terisak di kamarnya.