Kelahiran
Seorang wanita sedang berjuang di ruang bersalin, kehamilannya yang berkomplikasi, mengharuskannya meregang nyawa di meja operasi.
Tak ada suami, hanya dua anak kecil, sepasang anak perempuan dan laki-laki yang duduk tenang di ruang tunggu bersama seorang perempuan separuh baya yang tampak cemas. Dalam jarak beberapa meter dari mereka, beberapa orang berpakaian formal berjaga di sepanjang lorong, memastikan tak ada gangguan.
Tangisan terdengar, menggema, membuat mata sepasang anak di ruang tunggu salin menatap dan berbinar.
“Syukurlah,” desis perempuan paruh baya itu sambil mengelus kepala mereka.
Dia segera mengambil ponsel dari sakunya, menekan nomor telepon yang selalu ada di urutan teratas.
“Sambungan pada Tuan Danar,” katanya setengah berbisik.
“Iya, Tuan. Nyonya sudah melahirkan, kondisi Nyonya belum tahu, nanti akan saya kabari lagi,” ucapnya setelah mendapat tanggapan.
Dokter keluar ruangan, raut wajah tak terbaca karena tertutup masker medis. Kedua anak itu berdiri antusias, hampir dua jam mereka menunggu.
“Maaf, kami tak bisa menyelamatkan ibunya, Nyonya Gema, meninggal sesaat setelah bayi laki-lakinya kami angkat dari rahimnya.” Bagai palu godam yang memukul kepala kedua anak yang masih belia itu, tapi mereka tak boleh menangis.
“Ya Tuhan, bagaimana dengan bayinya, Dok?” tanya perempuan itu seraya menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Bayinya selamat, sempurna, kalian bisa melihatnya setelah ini,” kata dokter kemudian undur diri.
Perempuan itu harus segera menanggapi masalah ini. Tangannya melambai ke arah orang yang sedari tadi menatapnya dari jarak beberapa meter
“Kabari Tuan Danar, Nyonya tak selamat, bayinya selamat, aku akan mengurus bayinya, kamu, urus jenazah Nyonya,” titah perempuan itu, kemudian menggiring kedua anak tersebut menuju ruang perawatan bayi baru lahir.
Setelah mendekati ruangan, dia merasa perlu berbicara kepada mereka.
“Wana, Kirana, kalian sudah mendengar sendiri dari dokter, Nyonya tak selamat, tapi adik kalian lahir dengan baik. Menangislah nanti di rumah, untuk saat ini, kalian bisa bertahan?” tanya perempuan itu setelah menyejajarkan matanya dengan kedua anak itu
“Baik, Dewi,” jawab anak laki-laki yang bernama Wana itu, sambil menggenggam tangan Kirana, adiknya.
Sementara Kirana dengan sekuat tenaga menyusut air matanya agar tak jatuh. Apa yang bisa diharapkan dari anak berusia delapan dan tujuh tahun dalam menghadapi kenyataan pahit?
Dewi, perempuan itu mengangguk, membuka pintu ruang perawatan dan mendapati perawat sedang membaringkan seorang bayi di tempatnya.
“Dia tampan,” desis Wana.
“Lebih tampan darimu,” kata Kirana, membuat Wana tak suka.
“Aku anak tertua, aku tetap yang paling tampan,” debatnya.
Dewi tersenyum, membiarkan mereka mengagumi adik laki-laki mereka. Sejenak melupakan kenyataan, bahwa ibu mereka sudah tiada.
“Sendang kapit pancuran,” kata laki-laki tua yang langsung masuk ke ruang perawatan, membuat Dewi terkejut dan mengangguk hormat.
“Tuan Besar,” katanya khidmat.
“Kerjamu bagus, Wi,” puji laki-laki itu.
“Mbah Kakung!” seru Wana dan Kirana membuat laki-laki itu menaruh telunjuknya di depan bibirnya.
“Jangan buat Kala bangun,” katanya.
“Kala?” tanya mereka serempak.
“Adikmu, dia akan bernama Kala Anikait,” jawabnya.
“Kala Anikait? Waktu untuk penguasa dunia?” tanya Dewi gamang sambil menggelengkan kepalanya.
“Benar, Wi. Dia yang akan mengambil alih kekuatanku, kekuasaanku,” kata laki-laki tua itu
“Tuan, yakin?” tanya Dewi masih tak percaya.
“Dia pancuran terakhir yang menutup kemungkinan, dia yang terakhir menjadi sumber, dia yang terakhir mengambil nyawa sang pemberi nyawa untuknya,” papar laki-laki itu, membuat Dewi akhirnya paham.
“Aku serahkan mereka bertiga padamu, Wi. Danar akan mengurus pemakaman Gema saat ini, sibuk melayani tamu yang pasti akan datang ke pemakaman nanti,” lanjutnya lagi
“Baik, Tuan Hadinata,” jawab Dewi khidmat, sekaligus berat.
Tanggung jawab atas ketiga anak itu ada padanya, mendidik mereka, membesarkan mereka sesuai porsinya, hingga mereka sadar, siapa mereka sesungguhnya.
Danar yang mendengar kabar dari anak buahnya tentang kematian Gema, istrinya, hanya bisa mendesah, tak ada waktu untuk kesedihan. Semuanya harus tetap berjalan. Hadinata, ayahnya, tak akan memaklumi sebuah kesalahan pada waktu seperti ini.
“Apa, laki-laki tua itu sudah menampakkan dirinya?” tanya Danar pada Bayu, asisten sekaligus pengawalnya.
“Tuan Hadinata sedang dalam perjalanan ke sini. Beliau mampir ke rumah sakit untuk melihat ketiga anak itu,” jelas Bayu.
Danar menghela napasnya. Orang tua itu sedang memastikan keturunannya, kemudian memutuskan kelangsungan klannya.
“Apa jenazahnya sudah sampai?” tanya Danar lagi seraya bangkit dari kursinya.
“Dalam perjalanan. Pengawalan sudah diperketat,” jawab Bayu mengikuti langkah panjang Danar.
Semuanya, berjalan, sebagaimana kehidupan, kelahiran dan kematian, selalu berjalan beriringan. Ada yang mati, ada yang lahir.
Wana dan Kirana duduk diam di depan peti mati, menatap foto Sang Ibu yang terpajang. Senyum cantik, wajah yang lembut, tatap yang teduh, membekas di ingatan mereka. Dewi menggendong bayi Kala, menatap kematian itu dari kejauhan.
Hilir mudik pelayan dan tamu, mengirisi setiap prosesi pemakaman. Pengawal berjaga di setiap radius jangkauan. Ini kematian Gema Sangkala, istri dari Danar Ludira, pemimpin Klan yang bergerak di bawah tanah. Kamuflase perusahaan raksasa tak bisa mengalihkan kenyataan, bahwa mereka, bergerak di dunia kelam.
Hadinata Ludira, generasi kelima dari klan yang merajai pergerakan pembunuh bayaran itu, memastikan, setiap generasi di bawahnya mempunyai kekuatan yang dia miliki. Insting mematikan, ketepatan menghunjam, yang tak akan salah sasaran.
“Danar, setelah acara berkabung, pastikan tidak ada kejadian yang mengganggu. Klien, harus tetap terlayani, tanpa pengecualian,” pesan Hadinata setelah liang lahat tertutup sempurna.
Wana dan Kirana sedang menabur bunga mawar kuning kesukaan Gema.
“Wana berjanji akan menjaga Kirana dan Kala. Ibu tak usah khawatir,” ucap Wana bersikap sok dewasa.
Hadinata tersenyum mendengar janji dari mulut kecil itu.
“Janjimu, harus kamu tepati. Kamu, tahu apa yang akan Mbah Kakung lakukan untuk laki-laki yang ingkar janji?” tanya Hadinata tajam.
“Mbah Kakung akan mengirimnya pergi ke neraka,” ucap Wana lugas, dia sudah bisa membedakan bagaimana harus bersikap jika berada di depan Mbah Kakungnya itu.
Sementara Kirana menyusut air matanya, mencoba tegar.
“Ki, tunjukkan, kamu anak Danar Ludira, air mata, bukan akhir segalanya,” ucap Hadinata mengingatkan hakikat mereka.
Kirana mengangguk tegas.
“Ayah, ingin kalian menjaga Kala, mendampingi Kala, dan mengajarinya bagaimana menjadi Ludira. Kalian sanggup?” tanya Danar.
Mereka bahkan tak mencari waktu tersendiri untuk mengatakan hal serius itu, di samping makam yang masih bertanah merah pun, masalah itu harus ditegaskan.
Keduanya mengangguk khidmat. Bertekat dalam hati mereka, akan menunjukkan versi terbaik mereka untuk menjadi Ludira, darah yang mengalir di setiap pembuluh mereka. Darah yang mungkin juga akan mereka tumpahkan ke depannya.
Anak berumur delapan dan tujuh tahun itu, memikul beban mereka sendiri, menjadi penerus dari sebuah klan, yang identik dengan kematian.
Tugas mereka bertambah berat, dengan menjadi pendamping, Sang Kala. Adik bungsu mereka, yang sudah ditetapkan menjadi Sang Penguasa.