Sendang Kapit Pancuran

1027 Kata
Tiga orang anak berusia belasan, masing-masing memegang pistol di kedua tangannya, saling membidik kepala satu sama lain, membentuk lingkaran. Mata mereka saling melirik waspada, napas mereka memburu, mulut mereka terkunci. Tak ada yang berani menarik pelatuk, tak ada yang berani bergerak. “Skak mat!” teriak Bayu. Ketiganya meluruh, teriakan Bayu adalah tanda untuk berhenti bersitegang. Wana sembilan belas tahun, Kirana delapan belas tahun, Kala sebelas tahun. Tiga bersaudara, sedarah daging yang tumbuh dengan didikan keras untuk menjadi penerus klan. Kirana mengetuk kepala Kala dengan ujung pistolnya, membuat bocah tampan itu mengerucutkan bibirnya. “Seharusnya, kau tarik pelatukmu saat punya kesempatan,” koreksi Kirana membuat Kala mengusap bekas ketukan itu di kepalanya. “Santai, Ki. Dia masih harus banyak belajar,” sela Wana membuat Kirana tak sabar. “Kalian bertiga sudah sangat melampaui harapanku,” kata Bayu. “Jangan memuji mereka!” teriak Hadinata membuat ketiganya menciut. Bayu mengangguk saat Hadinata menghampiri mereka di halaman. Langkah tuanya terbantu tongkat kayu cendana yang berukir tetesan darah di sekujurnya. “Mbah Kakung,” sapa mereka bertiga lirih. “Aku ingin bicara dengan mereka,” perintah Hadinata membuat Bayu tanggap. Tangannya memberi kode ke beberapa pengawal untuk membawakan kursi ke sana. Dengan tergesa, pengawal meletakkan kursi dan mempersilakan Tuan Besar mereka itu duduk. Ketiga anak itu duduk di depan Hadinata, duduk bersila di rumput. Bayu menjaga jarak, sementara asisten Hadinata, Rama, memayungi Tuan Besar mereka dari sengatan matahari. “Kalian, tiga bersaudara, Sendang Kapit Pancuran. Seorang anak perempuan yang diapit oleh dua anak laki-laki dalam urutan kelahirannya.” Hadinata menghela napasnya, mengatur dadanya karena kondisinya yang semakin tua. “Dalam tradisi Jawa, kita akan melakukan prosesi ruwatan untuk menolak bala, karena perhitungan kalian, termasuk dalam susunan yang harus diruwat,” lanjut Hadinata sambil menatap satu persatu ketiga anak di depannya itu. “Kita, akan melakukan prosesi itu Minggu depan. Di rumah kita di Yogya,” putus Hadinata. “Kalian harus siap, latihan akan ditiadakan sampai prosesi itu terjadi. Kalian, bebas, tapi tak boleh berkeliaran sendirian. Mengerti?” Tatapan Hadinata tajam. “Mengerti, Mbah,” jawab mereka serempak. Sekalipun mereka dekat dengan kakek mereka itu, tapi batasan untuk berinteraksi sangat jelas. Tidak ada bantahan, tidak ada tatapan balik, dan tidak ada tidak. “Aku akan ke Yogya hari ini, kalian menyusul jika persiapan sudah selesai.” Hadinata berpesan seraya bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Kala merebahkan tubuhnya yang tegang, rerumputan yang bergesek dengan kulitnya terasa menusuk, tapi hatinya lega setelah kakeknya pergi. Dia selalu terintimidasi oleh wibawa Hadinata. “Kamu masih takut dengan Mbah Kakung?” tanya Kirana setengah geli. “Kamu tidak?” cibir Kala. “Kami sudah lama menghadapinya, Kal. Ketakutan kami, berubah menjadi semacam naluri untuk mengatasinya,” papar Wana. Kala memejamkan matanya. Tetap saja, wibawa Hadinata begitu besar. Bahkan, dia masih bisa meraih Danar, ayahnya yang ditakuti oleh anak buahnya. Hadinata, baginya sudah perkara lain yang di luar jangkauan. “Kembalilah ke kamar kalian, untuk hari ini sudah selesai,” kata Bayu. “Aku boleh membeli es krim?” tanya Kala penuh harap. “Aku akan memesannya,” kata Dewi yang tiba-tiba hadir di antara mereka. “Tapi aku ingin keluar,” rajuk Kala. Sekalipun dia sudah terbiasa memegang senjata, Kala tetaplah anak berusia sebelas tahun pada umumnya. Masih merajuk, masih menginginkan kebebasan, apalagi Kirana dan Wana terkadang memberinya celah untuk bermain. “Kita bisa makan di kedai es krim biasanya, kan?” tanya Kirana memberi kode kepada Dewi. “Baiklah, tapi hanya satu jam,” kata Dewi pada akhirnya. Kala bersorak dan melonjak kegirangan. “Bocah,” desis Wana. Kala mencebik kakak tertuanya itu. Kemudian berlari menuju kamarnya untuk mandi. Dewi menggelengkan kepalanya. Jiwa Kala memang masih anak-anak, dia pun tak boleh terlalu menekannya, agar perkembangan mental dan kekuatannya berjalan seimbang. “Bayu, minta tolong pada Andika untuk menyiapkan mobil dan beberapa pengawal,” kata Dewi. Bayu menganggukkan kepalanya. Kirana dan Wana sudah siap di depan pintu kamar Kala. Menunggu dengan tak sabar adik bungsu mereka. “Kal, aku akan mendobrak pintu ini jika dalam lima menit kamu tak segera keluar!” ancam Wana. Pintu terbuka, Kala bersungut dan melenggang melewati keduanya. Entah kenapa, Kala selalu bersiap lebih lama jika mereka akan keluar dari rumah. “Dasar bocah,” ejek Wana. “Aku bukan bocah!” teriak Kala tak terima. “Kalian, bisa akur?” sela Kirana jengah dengan tingkah dua saudaranya itu. “Wana yang mulai, Ki,” elak Kala. Ketiganya memasuki mobil dengan diam. Dewi sudah menunggu di dalam mobil. Duduk di sebelah sopir. “Kalian ingin aku memesan satu toko, atau ingin belanja biasa?” tawar Dewi. Mobil mereka berjalan beriringan dengan pengawal yang membuntuti. Pengawalan terhadap ketiganya, sangat ketat. Banyak orang yang mengincar mereka untuk membalas dendam, ataupun sekedar mencari keuntungan. “Belanja biasa,” putus Kala. Dia tak suka jika Dewi memesan satu toko, karena tak akan ada orang lain, sementara Kala, sangat senang bisa melihat orang lain, selain pengawal, guru privat, dan pelayan mereka. Wana dan Kirana mengiyakan permintaan Kala, karena tahu kesukaan Kala mengamati orang lain. Setibanya di toko es krim langganan mereka, pengawal menyebar untuk memberi jarak dan mengawasi. Dewi mengikuti ketiganya masuk ke dalam toko. Kala memesan es krim cokelat kesukaannya, sementara Wana hanya memesan smoothies, karena baginya es krim adalah minuman bocah. Kirana, selalu memesan matcha, dan menyesapnya perlahan. Menanti Kala yang akan lama menghabiskan es krimnya. Setelah menghabiskan es krim, mereka berjalan ke arah taman, Kala mendahului mereka tanpa menyadari seseorang sedang mengincarnya. Saat mereka lengah, seseorang merengkuh tubuh kecil Kala dan membungkamnya, menariknya masuk ke dalam mobil yang terparkir dalam keadaan menyala. Sebelum para pengawal, Wana, Kirana dan juga Dewi menyadari, mobil itu melaju. Saat mereka sadar Kala tak ada di jangkauan mata, maka yang terjadi adalah mode waspada. Dewi langsung menghubungi Bayu mengabarkan keadaan. Ketiga pengawal yang mengawasi mereka berpencar. Wana dan Kirana ikut mencari. Bayu langsung menginstruksikan akses ke CCTV di sekitar tempat kejadian. Dia belum ingin mengabarkan hal ini kepada Danar kalau tak ingin dipenggal. Dia memastikan semua anak buahnya merahasiakan sampai ada titik terang. Mereka bekerja dalam diam. Harus ada bukti sebelum mereka bertindak lebih lanjut. Masing-masing meraba pistol yang terselip di balik baju mereka, tak terkecuali Wana dan Kirana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN