Kala duduk di dalam mobil yang melaju kencang, mulutnya terbungkam lakban, tangannya terikat di belakang. Hanya kakinya yang bebas.
Tapi, Kala tak ingin membuang tenaga. Dia duduk tenang, menatap tajam kedua orang di depannya itu. Sebagai seorang anak kecil, ketenangan Kala membuat keduanya heran.
“Apakah kamu menyadari situasimu, Kala Anikait?” tanya salah seorang dari mereka.
Kala hanya menjawab dengan menatapnya balik seolah menantang.
“Kamu tetaplah seorang bocah, kamu pandai berakting, pandai menyembunyikan ketakutanmu,' kata salah satunya lagi sambil terkekeh.
Kala menarik napasnya. Mereka salah. Sangat salah. Kala bisa mengatasi keduanya, sekaligus sopir di depan jika dia mau. Tapi, situasi di dalam mobil tak menguntungkan geraknya, maka dia harus bersabar.
“Sebentar lagi, kita bisa mengancam Danar untuk menyerahkan proyek pembunuhan anak mafia Italia kepada kita,” ucap salah satu dari mereka membuat keduanya tertawa.
Kala memutar bola matanya, bagaimana mereka bisa akan menggunakan dirinya untuk membuat ancaman. Merekalah kini yang akan terancam.
Mobil masuk ke sebuah gudang tua di pinggir kota. Lajunya melambat. Kala tahu mereka sudah sampai di tujuan.
Tubuh Kala diangkat, didudukkan di kursi yang berada di pinggir ruangan. Matanya beredar, hanya ada lima orang di sana, termasuk dirinya.
Kala berdiri, meregangkan tubuhnya. Tangannya tetap terikat dan mulutnya tetap terlakban.
“Hei duduklah dengan tenang!” kata orang yang memiliki tato ular di lengannya.
Kala mengabaikannya, sedikit meregangkan tangan, membuat simpul yang mengikat tangannya melonggar. Dia merunduk, membawa tangannya turun, melangkahkan salah satu kakinya ke belakang, disusul satunya, kini tangannya berada di depan.
Mereka masih sibuk berdiskusi, memutuskan apa yang akan mereka lakukan, sehingga tak melihat Kala yang kini melepas lakban dari mulutnya.
Dia menarik udara sebanyak-banyaknya, dengan tangan terikat, maka geraknya akan sangat terbatas. Dia harus memperhitungkan langkahnya.
Melihat pistol yang terselip di pinggang salah satu mereka, Kala mulai bergerak perlahan, tenang.
Saat ketiganya menyadari pergerakan Kala, maka terlambat. Kala sudah mengambil alih pistol itu dan menembakkannya. Tanpa memberi jeda, dan waktu kepada mereka untuk meraih pistol masing-masing.
Ketiganya roboh dengan tembakan tunggal di jantung. Kilat. Tanpa aba-aba.
Kala melempar pistol itu serampangan, menghembuskan napasnya gusar.
Menunggu, karena yakin Bayu dan orangnya akan menemukannya di sini. Bukankah pelacak selalu ada di badannya?
Bayu sudah menemukan titik di mana Kala berada. Dia menginstruksikan Andika dan Dewi untuk menuju tempat seraya menunggu bala bantuan.
Bayu tak bisa memperkirakan musuh mereka ada berapa. Dia hanya berharap Kala tak melakukan hal yang gegabah.
Kala masihlah bocah yang pasti akan berpikiran pendek. Tapi, Bayu hanya berharap intuisi Hadinata tentang Kala benar. Kala, adalah ketenangan yang mematikan.
Selama berlatih dengan Wana dan Kirana, Kala memang tak terlihat menonjol, tapi Bayu tahu dia menganalisis keadaan. Itu kenapa tindakannya tak serampangan seperti Wana dan tak secekatan Kirana.
Kala adalah pemikir. Kala ada pengamat. Kala akan memperhitungkan semuanya.
Andika melajukan mobil menuju koordinat yang Bayu kirimkan. Wana dan Kirana dalam mode waspada. Mereka tak tahu akan mengalami sendiri kejadian ini dalam waktu sedekat ini.
Jika mereka tak berhasil menyelamatkan Kala, maka tak tahu apa yang akan terjadi pada mereka nanti. Mati, mungkin?
Mereka tiba di gudang yang tertutup di pinggir kota, jejak ban mobil masuk ke dalam gudang, tapi sama sekali tak ada pergerakan.
Kirana mengintip melalui celah dan menggelengkan kepalanya. Kala sedang duduk tenang di kursi dengan tangan terikat, tapi tiga tubuh tergolek di sekitarnya.
“Buka pintunya,” perintah Kirana pada Andika dan pengawal yang mengikuti mereka.
Pintu itu tak terkunci dan mereka lega melihat Kala masih bernyawa.
“Kalian lama sekali?” keluhnya sambil mengulurkan tangannya kepada Wana, meminta untuk dibukakan simpulnya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Wana sambil mengurai tali yang mengikat tangan adiknya itu.
“Aku hanya membela diri,” sergah Kala merasa Wana menghakiminya.
“Maksudku, apa yang kamu lakukan dengan mereka?” ralat Wana tahu Kala tak suka dengan pertanyaannya.
“Oh, aku hanya menembak mereka, dengan pistol mereka sendiri,” jawab Kala sambil menunjuk pistol yang dia lempar dan menceritakan kronologisnya.
Andika dan Dewi menyebar memastikan tak ada orang lain lagi. Sepertinya memang hanya mereka bertiga yang dikirim untuk menculik Kala.
“Mereka meremehkan kita?” tanya Kirana tak suka.
Kenyataan mereka hanya mengirim tiga orang untuk menculik Kala, meremehkan Kala yang mungkin terlihat kecil dan tak berdaya. Mereka tak tahu kelincahan Kala dan intuisinya.
“Mereka dari Nagasastra,” kata Andika serelah mengecek tato ular yang ada di lengan orang itu.
“Klan yang sedang bersaing dengan kita dalam memperebutkan proyek pembunuhan anak mafia Italia,” desis Dewi.
Kala masih tak paham. Tapi dia tahu tujuan mereka.
“Memangnya itu penting? Sampai mereka menculik Kala?” tanya Kirana.
“Proyek ini seperti penentuan siapa yang paling efektif di dunia kita,” jawab Dewi.
Wana terdiam, dunia yang akan dihadapinya sangat kelam. Dia mempunyai tanggung jawab sebagai anak tertua dan juga penerus klan.
Dia akan memasuki dunia itu sebentar lagi, setelah acara ruwatan mungkin dia akan menjalani misi pertamanya nanti.
Kirana menghela napasnya, dia tak ingin lagi kecolongan seperti ini. Dia bertekat untuk melindungi Kala, melindungi keluarganya.
“Ayo pulang, ini akan diurus oleh Bayu dan yang lain,” kata Dewi memberi kode kepada Andika.
Tepat saat Bayu datang bersama beberapa pengawal, dan bingung harus bagaimana, karena keadaan sudah terkendali.
“Urus saja mereka bertiga, kirim kembali ke Nagasastra atau bagaimana terserah kamu,” kata Dewi.
Bayu mendesah, kirim mereka kembali ke Nagasastra berarti mengirim sinyal untuk berperang.
Kala melenggang santai memasuki mobil. Bayu melihatnya, tak ada rasa tertekan untuk anak seusianya. Tak ada ketakutan dan ragu di wajahnya.
“Ayo pulang, aku lelah,” kata Kala merebahkan diri di kursi mobil bagian belakang.
“Kal, jangan menghilang lagi,” desis Kirana.
“Kalau mereka menculikku lagi, ya bagaimana?” Kala malah melempar pertanyaan yang membuat Kirana melayangkan tangannya memukul kepala Kala.
“Sakit!” teriak Kala, tapi diam setelah melihat mata Kirana berkaca-kaca.
“I promise, to always be aware,” kata Kala pada akhirnya.
Kirana berusaha menahan air matanya agar tak turun.
“Sudahlah, Ki. Tugas kita hanya agar dia tak menjadi sasaran lagi,” kata Wana menengahi kedua adiknya itu.
Dewi mendengarkan mereka, menarik beban di dadanya. Ketiganya tumbuh, menjadi anak yang saling melindungi, ah, lebih tepatnya melindungi Kala.
Wana dan Kirana tahu, Kalalah yang akan ada di takhta menggantikan Danar jika sudah waktunya. Kalalah yang diserahi tanggung jawab.
Mereka berdua sudah bersumpah di depan Hadinata dan Danar untuk menjadi Ludira sejati. Mengiringi keputusan dan ketetapan tanpa banyak bertanya.