Perasaan

1080 Kata
Danar yang mendapat laporan khusus dari Bayu atas kejadian yang menimpa Kala, segera menyambut mereka di depan pintu. Kedua tangannya masuk ke dalam saku. Berjalan hilir mudik di ruang tamu. Saat Kala masuk dengan senyum mengembang hatinya lega. Dia berlutut dan bertumpu pada salah satu lututnya, memegang kedua bahu Kala. Menatap anak kecil itu dengan tajam. “Bagus.” Hanya itu yang dia katakan. Dia ingin memeluk Kala, tapi harus menjaga wibawa, perasaannya terlatih untuk ditekan. Itu yang akan terus dia ajarkan dan contohkan. “Aku, tadi membunuh tiga orang,” kata Kala, Danar mengangguk. Dewi mendesah, bagaimana bisa anak sebelas tahun mengatakan tentang pembunuhan begitu tenang. Dia harus mengimbangi perasaan Kala. Dia tak ingin Kala tumbuh menjadi tak memiliki perasaan. Dia harus menyeimbangkan hal itu. Maka mulai besok dia akan berbicara dengan Kala secara terpisah. “Dewi, biarkan mereka beristirahat, kita akan berbicara setelah ini,” kata Danar. Dewi mengangguk khidmat. Ketiga anak itu berlalu dari hadapan mereka menuju kamar masing-masing. “Kal, nanti ke kamarku. Aku ingin bicara,” kata Wana. Kala enggan, tapi tak juga berani membantah kakak tertuanya itu. “Apa sih, yang akan dibicarakan oleh anak sok tua itu,” desis Kala saat membuka pintu kamarnya. Merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar dan kembali mengulang apa yang sudah dilakukannya tadi. Membunuh tiga orang sekaligus, bahkan perasaannya kini seolah tanpa beban. “Aku, kan, hanya membela diri,” gumamnya. Wana menatap jendela di kamarnya, kejadian hari ini, menunjukkan betapa hitam dunianya. Lingkup hidup dan mati. Membela diri dan membunuh bedanya hanya setipis nadi. Dia sudah bersumpah, di hadapan Hadinata dan Danar, sekalipun dia bukan orang yang terpilih untuk menduduki takhta, tapi dia tetaplah anak panah andalan yang akan diasah untuk berada di depan. Tanggung jawabnya menjadi semakin berat, melindungi Kala, juga menjadi martir pembunuh bagi klannya. Wana menarik udara sebisanya, semampu paru-parunya mengembang, beban semakin terasa menghunjam. Kirana mengetuk-ngetuk meja rias di depannya. Kaca memantulkan wajahnya yang cantik, tapi tegas. “Wajah ini, tak boleh menangis. Hati ini, harus keras menghadapi kenyataan,” kata Kirana pada bayangan di depannya. Perasaannya bercampur baur saat Kala diculik. Naluri seorang kakak membuatnya kalut, panik. Di sisi lain, statusnya sebagai salah satu Ludira, membuatnya harus terlihat tenang dan penuh perhitungan. “Akan kupastikan, semua musuh tak berani lagi mengusik adikku,” geramnya. Danar, Bayu, Dewi dan Andika duduk saling berhadapan di sebuah ruangan. Andika menceritakan semua kronologisnya dari awal sampai akhir. Bayu menambahi berdasarkan analisa. “Aku mengirim mayat mereka ke Nagasastra, walau dengan begitu maka genderang perang seolah ditalukan, tapi aku merasa harus memberi mereka peringatan,” kata Bayu tegas. Dewi dan Andika mengangguk mengiyakan. Danar masih berpikir. “Lepaskan saja proyek anak Mafia Italia. Tawaran itu bahkan membuatku pusing karena keanoniman klien diragukan,” kata Danar. “Apa Tuan Hadinata akan setuju dengan ini?” tanya Andika. “Aku akan menjelaskan situasinya. Klien yang melempar proyek ini di forum, bahkan tak dikenali. Bayaran juga tak bisa dipastikan, klien ingin dirahasiakan, tapi tidak dengan merahasiakan dirinya juga di forum,” papar Danar. “Tuan, maaf menyela, saat ini, saya khawatir dengan kondisi psikologis Kala. Dia terlalu tenang untuk anak seusianya dalam menyikapi kejadian dan pembunuhan yang dia lakukan,” kata Dewi membuat Danar tegak pada duduknya. “Maksud saya, kita harus mewaspadai ini juga. Kondisi Kala yang masih sangat muda rentan akan guncangan, dan kita tahu walau didikan keras Ludira untuk menjadikannya mesin pembunuh, bukan dengan mematikan perasaannya.” Dewi menghela napasnya. Menunggu reaksi Danar. “Lanjutkan,” pinta Danar. “Saya ingin, mereka bertiga tumbuh menjadi Ludira yang berbeda, stabil dalam mental tapi juga mematikan. Kombo itu kan mempengaruhi hasil akhirnya. Terlebih Kala, dia adalah pemimpin nantinya,” lanjut Dewi membuat Danar berpikir. “Saya ingin, Kala menjadi pemimpin yang bisa mengambil keputusan dengan bijak, stabil dan tak diragukan,” imbuh Dewi. “Lakukan apa yang diperlukan. Bagiku, hasil akhir nanti akan menentukan kelanjutan Ludira.” Danar menatap Dewi yang mengangguk. “Bawa psikolog untuknya besok, pastikan tak ada yang salah dengannya,” lanjut Danar. “Bayu, pastikan Nagasastra tak membawa masalah ini menjadi jauh. Ruwatan akan dilakukan dalam waktu dekat, Pak Tua itu tak akan suka perhelatannya terganggu,” titah Danar. “Baik, Tuan,” jawab Bayu sambil mengangguk. “Andika, pastikan pengamanan ketiga anak itu. Aku tak ingin ada masalah sampai acara itu terjadi,” perintah Danar ke arah Andika. “Siap!” jawab Andika tegas. Tugasnya naik dua kali lipat, dia harus memberi arahan kepada anak buahnya sekarang. Kala mengetuk pintu kamar Wana, Kirana datang dari arah kamarnya. “Buka saja, Wana pasti sedang menatap jendela,” kata Kirana tahu kebiasaan kakaknya itu. Kala memutar kenop pintu dan membukanya. Benar saja, Wana sedang menatap jendela dengan tangan berada di saku celana. “Kalian sudah datang?” tanya Wana tanpa menoleh. Kala duduk di kursi yang ada di dekat jendela, menatap keluar, penasaran apa yang sebenarnya dilihat oleh Wana. Tak ada apa-apa selain dedaunan yang tertiup angin dan beberapa pengawal yang berjaga di halaman. Kirana duduk di ceruk jendela, menghalangi pandangan Wana. “Ki,” desis Wana tak suka. “Kamu mengundang kita ke sini, ada apa?” tanya Kirana sambil memainkan rambutnya. “Kita akan bermain monopoli?” tanya Kala polos. Kontan Wana dan Kirana menoleh padanya dan melempar tatapan kesal. “Aku kan hanya bertanya,” kata Kala sambil mengayunkan kakinya. “Kal, apakah kamu merasa aneh saat membunuh orang tadi?” tanya Wana sambil duduk di samping Kala. “Aneh? Maksudmu?” tanya Kala tak paham. Bukankah mereka memang dilatih untuk membunuh? “Bagaimana perasaanmu tadi saat menarik pelatuk dan membunuh mereka?” tanya Kirana menjabarkan pertanyaan Wana. “Hm ... aku hanya merasa harus membunuh mereka jika tak ingin mati atau menjadi bahan ancaman untuk kalian,” jawab Kala sambil melayangkan pandangannya ke langit-langit kamar Wana. “Apakah terbersit rasa bersalah?” Kirana ingin memastikan. “Bersalah? Seperti merasa tidak enak saat memakan lauk Wana?” tanya Kala membuat Kirana memutar bola matanya kesal. “Ya anggap saja begitu,” sergah Wana tak sabar. “Ada sedikit, saat melihat mereka tak berdaya. Tapi kemudian rasa itu berubah menjadi kesal karena mereka sudah menjahatiku,” terang Kala dengan mata yang menatap Kirana dan Wana bergantian. Wana dan Kirana mencerna tentang penuturan Kala. Mereka belum pernah membunuh, karena mereka belum mendapatkan misi. Mereka gamang apakah akan merasakan hal yang sama dengan yang Kala rasakan, atau bahkan tak merasakan apa pun? Apakah mereka akan tetap bisa merasakan kesakitan dan kekhawatiran bila benar menjadi pembunuh?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN