Dewi gegas membangunkan Kala, karena ada janji temu dengan psikolog jam sepuluh.
“Dewi, ini masih pagi!” teriak Kala saat Dewi menarik selimutnya.
“Jam sepuluh ada temu dengan psikolog, ayo bangun,” kata Dewi lembut sambil menepuk pipi Kala.
“Argh ...,” erang Kala tak suka. Namun, Dewi tak akan berhenti mengganggunya jika dia tak segera beranjak.
“Kal, apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Dewi sebelum Kala beranjak ke kamar mandi.
“Maksudmu?” tanya Kala bingung.
"Bagaimana perasaanmu setelah kejadian kemarin?” papar Dewi.
“Kenapa semua orang bertanya soal perasaan dari kemarin?” sungut Kala tak menjawab Dewi dan masuk ke kamar mandi.
Dewi menghela napasnya, Kala benar-benar harus diseimbangkan untuk sisi mentalnya.
Dewi membereskan tempat tidur Kala dan menyiapkan baju untuk bocah itu. Kala tetaplah bocah yang masih harus diberitahu dan diajari.
Kala mandi dengan enggan, mengguyur kepalanya dengan air dari pancuran. Sungguh, kenapa orang-orang itu ribut dengan perasaan?
“Kal, tiga puluh menit lagi. Sarapanmu sudah siap!” Teriak Dewi membuat Kala semakin bersungut-sungut.
“Kenapa kalian mempertanyakan perasaanku?” tanya Kala seraya menuju balik penyekat untuk mengganti bajunya. Setelah melempar dengan serampangan baju bekasnya, dia menuju meja makan.
Seorang pelayan yang sedari tadi menunggu di dekat pintu memungut pakaian kotor itu dan membawanya pergi.
Dewi duduk di depan Kala yang sedang menyantap sarapannya. Pecel, dengan lauk empal daging kesukaan Kala.
“Memang ada apa dengan perasaan?” tanya Kala masih penasaran kenapa semuanya begitu ingin tahu.
“Kal, untuk anak seusiamu, maka reaksimu itu sangat tidak wajar atas kejadian kemarin.” Dewi menatap bocah sebelas tahun itu dengan tatapan menyelidik.
“Kalian mengajariku untuk tidak panik, tenang, dan mengatasi permasalahan dengan waspada,” kata Kala.
“Itu tentang taktik,” sela Dewi.
“Kalau kamu ingin bertanya seperti Wana, apakah aku merasa bersalah, sedikit. Perasaan bersalah itu sedikit ada di sana. Tapi bukankah mereka adalah orang jahat? Aku harus mempertahankan diri sebelum mereka membunuhku, kan?” ulas Kala panjang lebar.
Dewi mendesah. Semua yang Kala katakan benar, tapi juga tak benar. Ada sesuatu yang membuat Dewi khawatir. Sesuatu yang harus Dewi pastikan.
Ketukan pintu membuat Kala menghentikan suapannya. Menoleh ke arah pintu yang terbuka dan seorang yang tak Kala kenal melangkah masuk.
“Mari, ini Kala yang akan menjalani sesi hari ini.” Dewi menunjuk Kala yang sudah menyelesaikan makannya.
“Aku akan menunggu di sana,” jawab orang itu sambil berjalan ke arah kursi di sudut ruangan.
“Kal, bersikap baik dan ikuti semua instruksinya,” kata Dewi.
“Ya.” Kala menganggukkan kepalanya.
Dewi kemudian menutup pintu. Membiarkan Kala berinteraksi dengan Sari, psikolog yang Dewi tugaskan untuk melihat sejauh mana perkembangan psikologis Kala.
Wana sedang berhadapan dengan Kirana. Saling menatap. Mencoba menyelami pikiran masing-masing, tentang kehidupan yang akan mereka jalani.
“Kita, apakah akan menjadi pembunuh?” tanya Kirana seolah sedang berelegi.
“Itu sudah pasti. Tapi alasan apa kita membunuh, itu yang akan kita hadapi,” jawab Wana.
“Aku takut jika nanti ternyata kita menjadi orang yang hanya akan membunuh karena itu menyenangkan,” desis Kirana.
“Maka dari itu, kita harus kembali memikirkan sisi kejiwaan kita,” kata Wana tahu apa yang membuat Kirana seperti itu.
Kejadian Kala kemarin dan sikap Kala. Itu yang membuat Kirana resah.
“Ki, aku ingin, kita menjadi orang yang berbeda dengan Ayah, aku ingin kita bisa mengekspresikan perasaan kita dengan bebas. Agar sesak itu tak menyiksa,” papar Wana.
“Aku bahkan harus menahan air mata, hanya agar tak dianggap lemah. Itu menyiksa,” desis Kirana mengeluarkan kegelisahannya.
“Datanglah padaku saat ingin mengeluh, menangis dan meratap. Aku tak akan menghakimimu,” kata Wana sambil menatap adiknya itu.
Wajah cantik yang akan menipu semua mata. Karena di balik kecantikan itu, ada kecekatan yang akan siap menikam kapan saja.
“Bagaimana bisa aku akan seperti itu,” keluh Kirana menerawang.
Kakek dan ayah mereka akan memarahinya bila terlihat lemah. Seorang Ludira bukan seseorang yang lemah hatinya.
Hadinata sudah sampai di Yogya, menerima laporan tentang kejadian Kala.
Rama menerima semua amarahnya. Tahu bahwa memang mereka kecolongan.
“Katakan pada mereka untuk memperketat pengawasan. Ruwatan ini tak boleh terganggu,” geram Hadinata.
“Baik, Tuan,” jawab Rama sambil sedikit mengambil jarak dan menelepon Bayu.
Hadinata menatap langit yang membiru, merapal kalimat penguat untuk dirinya sendiri.
“Aku harus bertahan, setidaknya, sampai acara ini berakhir,” gumamnya.
“Tuan,” desis Rama membuat Hadinata menata napasnya.
“Apakah, Tuan lelah?” tanya Rama khawatir.
“Aku harus bertahan sampai acara ini berlangsung. Jangan katakan apa pun pada mereka,” jawab Hadinata.
“Baik, Tuan,” jawab Rama sambil menunduk.
Dia kasihan dengan Hadinata yang menyembunyikan kondisinya yang melemah, sehingga harus mempercepat acara ruwatan itu.
Belum lagi, dia tak boleh terlihat lemah, salah, dia tak mau terlihat lemah. Karena lemah adalah sebuah celah, itu katanya.
Padahal, wajar sebagai manusia untuk terlihat lemah, terlihat manusiawi.
Perasaan yang terus menerus ditekan, akan menimbulkan pertentangan batin yang mematikan diri sendiri pada akhirnya.
Perasaan yang tak terungkap, akan menjadi duri yang menusuk ke dalam dan menghunjam. Merusak dari dalam.
Itu yang sudah dipendam oleh Hadinata bertahun-tahun. Hampir sepanjang hidupnya.
Rama menatap laki-laki tua yang menatap langit dengan wajah sendu itu. Guratan lelah dan payah terlihat di wajahnya yang masih menyisakan ketampanan masa lalu.
"Apakah dalang dan semua yang diperlukan sudah mendapat tempat?" tanyanya tanpa berpaling.
"Sudah, Tuan," jawab Rama.
"Anak-anak itu, akan tumbuh berbeda dengan generasiku. Mungkin itu baik, dan juga tak baik. Kalian harus mengarahkan mereka untuk selalu ingat tentang hakikat Ludira." Suara tua itu bergetar saat mengucapkannya.
Dia belum bisa merelakan bahwa waktunya hampir habis, dia akan menyusul menantunya sebentar lagi.
Tampuk kekuasaan yang sudah dia persiapkan, harys jatuh ke tangan yang seharusnya, dalam hal ini, Kala adalah pilihannya.
Ada sesuatu dari cucunya yang terakhir itu yang membuatnya yakin, Ludira akan menjadi semakin berjaya.
"Tuan, hari semakin panas, sebaiknya kita berteduh dan segera mengusi perut," kata Rama mengingatkan.
Hadinata beranjak dari kursinya tanpa menjawab Rama. Dia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah, di mana pelayan sudah menyiapkan makanan untuknya.