Bu Romlah sampai menahan nafas saat melihat putrinya bisa menenangkan semua orang yang datang. Hanya dengan kata-kata pelan dan manis, senyuman indah dari putrinya akhirnya membuat seluruh warga yang ada di sana tiba-tiba saja jinak.
Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan melihat apa yang putrinya lakukan. Anjani menenangkan mereka hanya dengan sebuah ucapan dan senyuman. Ia juga akhirnya mengantar mereka satu persatu ke luar rumah.
Saat seluruh warga keluar dari rumah, suaminya Pak Jarwo tampak mendekat ke arahnya. "Bu, ba–bagaimana ini? Kenapa putri kita jadi seperti itu?" gumam Pak Jarwo.
"Ti–tidak tahu, pak. Sebaiknya kita ikuti saja, sekarang kita lihat apa yang terjadi." gumam Bu Romlah. Mereka terpaku cukup lama sehingga setelah merasa para warga sudah pulang, maka mereka akhirnya keluar dari dalam rumah.
Dan sampainya di luar rumah, mereka malah melihat suatu hal yang tampak membuat mereka merasa kaget bukan main! Mereka melihat putri mereka mulai kembali menuntun seorang pria gagah, dan tampan yang tampaknya membawa tas rangsel.
Seperti yang terjadi pada hari sebelum-sebelumnya, pria yang Anjani bawa tampak menatap kosong ke arah depan. Namun, ada yang berbeda kali ini – wajah putri mereka benar-benar memerah dan senyumnya sungguh merekah indah.
"Bu, apa kamu melihatnya?" tanya Pak Jarwo sembari menepuk pundak istrinya. Namun pandangan dua orang itu tampak tak lepas pada putri mereka.
"Iya, pak. Ibu lihat." balas Bu Romlah. Hatinya menghangat saat melihat senyuman lembut putrinya yang lama hilang. Baru kali ini, ada seorang pria yang tampaknya benar-benar mengisi kekosongan yang ada dalam hati Anjani.
Anjani terus membawa Aji ke arah rumahnya, tak sulit baginya membawa seorang pria dan menjeratnya. Namun kali ini, Anjani sungguh tak memakai ajian apapun. Ia tadi hanya memakai parasnya saja untuk membawa pria itu ke rumahnya.
Jantungnya berdebar sangat kencang saat ia memegang tangan pria tersebut. Seperti ada sesuatu yang lama mati dan kini tumbuh dalam hatinya. Saat melihat ke arah rumah, Anjani melihat Bapak dan Ibunya ada di sana. Dan mereka tampak menatap Anjani dengan tatapan sulit diucapkan.
"Bapak, ibu..., perkenalkan dia – ah, aku lupa belum menanyakannya. Dia tadi terus memandangi rumah kita. Karena aku tidak pernah melihatnya, mungkin dia ingin ke suatu tempat atau bagaimana, jadi aku mengajaknya ke sini." ujar Anjani sembari tersenyum kecil.
Pak Jarwo dan Bu Romlah menatap satu sama lain sebelum akhirnya menatap ke arah seorang pria tampan yang putrinya bawa.
"Oh, hallo..., bapak, dan ibu..., Namaku Aji Bagaskara." Aji melepaskan tangannya dari seorang wanita cantik yang membawanya ke rumahnya ia lalu menjabat tangan dua orang paruh baya.
"Senang bertemu denganmu, nak. Nama bapak — Jarwo." ujar Pak Jarwo sembari menjabat tangan Aji sejenak. Setelah itu Aji menjabat tangan Wanita paruh baya juga.
"Panggil saja Bu Romlah, dan senang bertemu dengan kamu juga." Bu Romlah menjabat tangan pria gagah yang ada di hadapannya itu. Setelah selesai, kini Aji menoleh ke arah wanita cantik yang berdiri di sampingnya. Ia lalu menghadap ke arah wanita cantik yang mengenakan gaun putih panjang bertali spageti itu.
"Kalau adik, siapa namanya? Kita bahkan belum berkenalan, tapi kamu sudah membawaku kemari." ujar Aji sembari menatap lembut ke arah Anjani. Anjani menelan ludah saat melihat tatapan itu. Tatapan lembut tanpa nafsu itu membuatnya kagum, dan tapi tidak bisa di pungkiri – ia juga merasa ada seperti duri yang tiba-tiba saja menancap di hatinya.
Pandangan mata mereka bertemu, Aji sungguh terpesona melihat wajah cantik itu, dan ia sungguh baru pertama kali menemukan seseorang yang benar-benar dapat membiusnya hanya menatap wajahnya saja.
Ilmu pengasihan yang Anjani miliki memang dapat memikat pria manapun yang ia inginkan, tapi kali ini – ia merasa dikagumi tanpa semua hal tersebut.
"Nak, jangan membuat orang menunggu. Perkenalkan dirimu dan ajak tamu kamu masuk." ujar Pak Jarwo yang merasa putrinya kali ini benar-benar menyukai seorang pria.
Anjani terkesiap saat mendengar ucapan dari bapaknya. Ia lantas mencoba mengulurkan tangannya dan mengajak pria itu berkenalan. Aji tersenyum kecil lalu membalas jabat tangan tersebut.
"Namaku Aji Bagaskara." ujar Aji yang tampaknya kembali mengenalkan diri lagi.
"Namaku Anjani, mas." ujar Anjani sembari tersipu malu.
"Kalau begitu, Silahkan masuk – nak." Bu Romlah mengajak tamunya masuk, ia juga menghidangkan teh untuk tamunya beserta suaminya. Sedangkan putrinya... putrinya tampak menatap ke arah Aji dengan tatapan yang sering Romlah lihat dari pada pria yang silih berganti menghabiskan waktu bersama putrinya. Tapi bedanya, tatapan cinta dari para korban Anjani berubah drastis menjadi tatapan kosong yang kerap kali membuat Bu Romlah takut.
Cukup lama Aji ada di sana, namun sikapnya tampak tidak aneh. Dan pria itu juga mengobrol seperti orang biasa dengan Pak Jarwo.
"Kalau begitu, Aku pamit dulu – pak, mungkin keluargaku sudah menunggu. Dan, aku juga ternyata mengobrol cukup lama dengan bapak." ujar Aji sembari menatap arlojinya.
Aji dan Pak Jarwo memang tadi mengobrol banyak hal, termasuk siapa sebenarnya pria itu. Ada rasa kaget dan cemas saat Pak Jarwo mengetahui siapa kedua orang tua Aji. Tanpa terasa keringat dingin juga seakan mengucur deras dalam tubuh Pak Jarwo dan Bu Romlah.
"Ah, iya – terimakasih karena sudah sudi untuk singgah. Dan mungkin kedepannya kamu tak akan sudi singgah ke rumah bapak ini." ujar Pak Jarwo dengan suara sedikit pelan.
Bu Romlah langsung menyikut lengan suaminya. "Bapak ini ngomong apa toh?!" bisiknya pelan. Anjani yang seperti dapat membaca isi pikiran bapaknya akhirnya terdiam dan sedikit menundukan kepalanya sejenak.
"Maksudnya apa ya, pak – bu?" tanya Aji dengan suara pelan, tapi tatapannya tampak sangat bingung.
"Ah, tidak apa-apa, kok – nak. Tidak usah dipikirkan, Nak Anjani, sekarang kamu antarkan tamu kita ke gang depan ya?" ujar Bu Romlah.
"Baik, Bu." balas Anjani.
"Mari, mas... Aku antar sampai ke depan." balas Anjani.
"Kalau begitu aku pamit, pak – bu. Terimakasih telah disambut dengan hangat."
Kedua orangtua Anjani hanya mengangguk kecil.
Setelah itu Anjani mengantarkan Aji ke jalan depan. Untuk masuk ke rumahnya memang harus berjalan beberapa menit dari desa. Meskipun demikian, rumah yang Anjani dan keluarganya tempati adalah rumah besar yang lumayan mewah di sana.
Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya mereka sampai juga di ujung persimpangan. "Maaf, mas. Aku hanya bisa mengantar sampai sini. Dan, senang bertemu denganmu – mungkin setelah kamu kembali, kita tidak akan bertemu lagi, dan – mungkin kamu juga tak akan mau singgah lagi." ujar Anjani.
Aji sedikit terkejut mendengar ucapan wanita cantik itu, tapi lidahnya serasa kelu untuk menanyakan apa yang ia maksud.
Tapi, tangan Aji seketika bergerak dan... Anjani terkejut dengan apa yang pria itu lakukan padanya.