Pagi itu, sarapan yang biasanya tenang kini tampak tegang tak terkondusif saat rumah besar Anjani di datangi banyak orang. Para warga tampak berbondong-bondong datang, bahkan mereka menerobos masuk dan kini sudah ada di dalam ruang makan.
"Anjani!" teriak beberapa warga. Anjani tampak santai memakan tusuk sate terakhir, ia mengunyahnya perlahan tanpa khawatir apapun.
"Dasar w************n! Bisa-bisanya kau masih santai begitu di saat kami sudah ada di sini?!" ujar seorang pria dengan sangat geram.
Seluruh keluarga Anjani tampak menepi dan ada beberapa yang bersembunyi, mereka takut di saat rumah mewah itu tampak dikerumuni banyak orang pada saat itu.
Anjani menghela nafas sejenak, ia mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang tersedia di meja.
"Hm, ya..., aku tahu aku buruk, tapi – aku tidak pernah mengusik kalian kan? Dan kalaupun ada yang datang, aku tidak mengundangnya. Mereka yang datang padaku." ujar Anjani sembari menatap ke arah para warga dengan senyuman manisnya.
***
Sementara itu di tempat lain...
Seorang pria bernama Aji Bagaskara berusia 29 tahun baru saja sampai ke desa Arum Mekar, desa kedua orangtuanya berada. Ia menunggu di sebuah terminal bus, dan cukup lama ia menunggu sehingga ia merasa sedikit lelah.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah sebuah klakson sepeda motor tak jauh dari tempat Aji menunggu. Aji menoleh dan melihat siapa yang tampaknya kini menatapnya.
"Mas Aji – ya?" panggil seorang pria yang tampaknya sama sekali tidak turun dari sepeda motornya.
"Iya, mas." balas Aji.
"Pucuk cinta ulam pun tiba, kalau begitu ayo naik mas. Aku nggak bisa lama-lama soalnya." ujar pria itu.
Aji akhirnya menghampiri pria tersebut sembari membawa tas ranselnya. Pria tampan berhidung mancung yang tampaknya tinggi tegap itu terlihat berjalan dengan gagahnya.
Pria yang menjemputnya sampai terdiam sembari menatapnya atas bawah.
Bahkan di saat Aji sudah ada di dekatnya, ia menatap ke atas, ke bawah berulang kali. Aji yang heran akhirnya mengikuti pria itu melihat ke tubuhnya atas bawah.
"Mas, kenapa ngeliatin aku begitu? Ada yang salah ya dengan diriku?" tanya Aji Bagaskara dengan sangat bingung.
"Serius Mas Aji mau ke Desa Arum Mekar?" tanya orang yang ada di hadapannya.
Aji mengernyitkan dahinya pada saat itu, dan ia akhirnya makin bingung. "Iya, Aku sudah merantau 9 tahun di Negri Orang, jadi aku mau pulang ke kampung – di mana bapak dan ibuku berada." balas Aji dengan sungguh-sungguh.
"Memang usia kamu berapa, mas?" tanya orang itu.
"Dua Puluh Sembilan Tahun, mas." balas Aji.
"Astaga! Mangsa empuk buat nyimas nih!" seru pria itu lagi.
Aji akhirnya makin bingung. "Mas, kalau ngomong jangan sepotong-sepotong kenapa? Aku itu penasaran dan juga bingung juga." balas Aji sembari menatap kesal ke arah pria yang menjemputnya.
"Ah, sebaiknya kita kenalan dulu. Namaku Cecep Supriadi, usiaku Dua Puluh Delapan Tahun. Mas, sebaiknya mas urungkan niat untuk kesana. Di sana ada seorang wanita yang kata ibuku itu penyihir. Makanya aku tidak diperbolehkan dekat-dekat ke rumahnya. Dan sekarang, warga desa juga tengah menuju ke sana untuk unjuk rasa katanya, makanya aku yang di pinta pak RT untuk menjemput mas di terminal." ujar Cecep.
Aji tampak mengernyitkan dahinya, namun beberapa saat kemudian ia tampak menghela nafas panjang. "Astaga, apa lagi yang kamu katakan?! Sudahlah, kamu antar saja aku ke kampung." pinta Aji dengan sedikit frustasi.
"Yeeh, dibilangin ngga percaya. Ya sudah, kalau begitu ayo lah." Cecep akhirnya sudah kembali bersiap, ia menunggu Aji naik ke sepeda motornya dan setelah Aji sudah naik, mereka akhirnya segera pergi dari sana.
Aji sungguh penasaran dengan apa yang pria itu katakan, sehingga ia malah berubah pikiran untuk pulang ke rumahnya.
"Kamu tahu di mana tempat penyihir itu, cep?" tanya Aji sembari menahan rasa penasarannya.
"Apa?! Kalaupun tau, aku enggan ke sana, mas!" tolak Cecep.
"Aku harus kesana, kan bapakku ada di sana. Sudah, kamu antar aku saja kesana, kalau kamu ngga mau ke sana, biar aku saja yang kesana." bujuk Aji. Cecep masih tak menjawab, hal itu membuat Aji makin penasaran.
"Aku tambahin deh uangnya, ongkos kesana dulu paling Tiga Puluh Ribu kan? Sekarang aku bayar Tiga Ratus Ribu." bujuk Aji. Cecep terdiam sejenak saat mendengar hal tersebut.
"Oke, tapi aku tidak mau mengantar sampai depan rumah, aku takut!" tolak Cecep.
"Ya! Kamu katakan saja nanti ke mana rumahnya, aku akan ke sana seorang diri!" balas Aji dengan sedikit kesal.
Setelah menempuh perjalanan beberapa waktu akhirnya mereka sampai juga. Cecep menghentikan sepeda motornya di sebuah gang sempit yang kanan-kiri nya masih di tumbuhi semak belukar.
"Hey, Cecek..., kamu mau menipuku ya?! Kenapa kamu menurunkan aku di sini?!" ujar Aji dengan sedikit ketus.
"Cecep, mas. Cecek kalau bahasa Jawa ngapak itu artinya nangka muda" balas Cecep.
"Ah, tidak perduli! Cepat jawab pertanyaanku!" tekan Aji.
"Ini jalan dari samping rumahnya, mas. Kalau dari depan rumah, takutnya nanti kamu dihadang oleh pemuda kampung yang memang sedang ditugaskan untuk menjaga di sana agar tak ada pria muda atau pria perjaka yang datang ke sana."
Kali ini, Aji mencoba mendengarkan ucapan Cecep.
"Lurus saja, nanti ketemu rumah – dan di situlah rumahnya."
"Hm, ya sudah ini uangnya." Aji memberikan uang kepada Cecep, dan setelah itu ia pergi menuju ke jalan yang baru saja dikatakan Cecep.
Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya Aji berhenti saat melihat sebuah rumah cukup besar di depan sana. Bukan karena rumahnya yang membuatnya berhenti, melainkan seorang wanita cantik yang tampaknya tengah mengantar beberapa orang ke depan rumahnya.
Wanita itu akhirnya menoleh ke arah Aji, pandangan mata mereka bertemu, dan mereka sama-sama terdiam. Aji seolah mematung di sana, hatinya berbisik agar segera pergi, namun tubuhnya membeku.
Wanita itu tersenyum pada Aji, dan sesaat kemudian, ia menghampiri Aji.
"Maaf sebelumya, mas, apa kamu mau ke suatu tempat, atau kamu tersesat?" tanya Anjani sembari menghampiri Aji.
Aji tak bisa berkata-kata saat melihat wajah cantik yang ada di hadapannya, jantungnya berdebar sangat kencang saat mendengar suara lembut wanita cantik itu.
Anjani yang melihat ada mangsa baru akhirnya tak membuang waktu, ia menggenggam tangan pria tersebut dan segera membawanya ke arah rumah.
"Sepertinya kamu sedang lelah sehingga tak bisa berkata-kata lagi. Kalau begitu, mari ikut denganku. Aku akan menjamu kamu layaknya seorang tamu." ujar Anjani. Aji yang tadinya hanya penasaran kini malah terjebak dalam sebuah keindahan.