TOKK TOKK TOKK
"Ziaaa ayok cepetan udah hampir telat ini Bunda, jangan mainan air terus nak, Astaghfirullah,"
Gadis yang berada di dalam kamar mandi lantas mengalihkan pandangannya ke arah pintu, ia mengerjabkan matanya perlahan, "Iyaa Bun bentarr, sebentar lagi Dodol selesai mandi kok." balasnya teriak. Dengan cepat ia menggosok keseluruhan tubuh bebek-bebekkan berwarna kuning berukuran sedang yang sedang ia rendam di dalam bathupnya itu, sedangkan ia sendiri sudah memakai bathrobe pink nya sejak tadi.
Rena, Sang Bunda yang mendengar teriakan Zia lantas memijat pelipisnya, "Lima menit Bunda tunggu, kalau Zia ngga keluar juga Bunda tinggal, ya."
Mendengar itu Zia segera berdiri, mengangkat bebek mainannya lalu membalut tubuh bebek itu dengan handuk putih kecil yang ia bawa, dengan cepat ia membuka pintu kamar mandi, dan hal yang pertama kali ia lihat, Bundanya. Menatap ke arahnya dengan tangan bersedekap.
Zia menampilkan cengirannya lalu mengangkat bebek yang hanya terlihat kepalanya karena dibalut handuk. "Dodol udah selesai, Bun,"
Rena segera menarik putrinya, remaja berusia 16 tahun yang sudah menduduki bangku kelas 2 SMA, namun sikapnya yang masih bisa dikatakan seperti anak kecil karena ia satu-satunya putri di keluarga itu, membuatnya selalu mendapat limpahan kasih sayang dan dirinya yang menjadi ketergantungan terhadap orang lain.
"Ayo pakai seragamnya, cepat."
Setelah melihat anggukan kepala dari putrinya, Rena memilih keluar dari kamar, memberi waktu agar Zia mengganti bajunya.
"Jangan lama-lama," "Iyaa bunda," Zia mulai memakai seragamnya setelah meletakkan bebek mainannya di meja, setelah selesai, ia menyisir rambut panjangnya, memasangkan jepit mutiara di samping sebelah kiri, dan juga sebuah pita kecil sederhana berwarna pink tepat di sampingnya.
Ia menatap wajahnya di depan cermin, mengambil bedak bayi kemudian memakaikan pada wajahnya dengan perlahan. Setelah dirasa cukup, ia segera mengambil jam tangan pink dan dan tas pink pandanya, lalu segera turun untuk menemui sang Bunda.
"Bundaa sepatu Zia manaa?"
Teriaknya saat di ruang tamu, Zia menyunggingkan senyum saat Rena menyuruhnya duduk dan Bundanya itu mulai memasangkan sepasang sepatu putih di kakinya, beginilah, bahkan hal kecil seperti ini pun Zia tidak biasa melakukannya sendiri. “Udah, ayo berangkat.”
Zia mengangguk kemudian segera mengekori Bundanya menuju mobil. Setelah duduk manis di dalam mobil, Rena meletakkan sebuah kotak makan di pangkuan Zia.
"Sarapan dulu." titahnya.
Zia menggeleng, "Zia mau minum s**u aja deh."
Lalu Rena membuka tas tangannya, ia mengeluarkan botol minum berwarna pink yang sudah terisi s**u dan menyerahkan pada Zia.
Tanpa banyak kata Zia mulai meneguk susunya dengan perlahan, tampak menikmati sementara Rena mulai menjalankan mobilnya menuju sekolah Zia.
Cukup lama keadaan mobil hening, hingga Zia membuka pembicaraan, "Bunda, Ayah kok lama sih pulangnya? Zia kan kangen,"
Rena melirik sekilas pada putrinya lalu tersenyum lembut.
"Lusa kan ayah pulang." Zia mencebikkan bibir pink alaminya, "Tapi pasti pergi lagi."
"Sayang, Ayah kan pilot ditambah Ayah juga punya usaha di Bali, Zia tahu itu, kan? jadi ayah harus bepergian lama dan ngga pasti pulang kesininya, kamu sabar aja, ya?"
"Iyaa deh, tapi Bunda janji ya, jangan ikutan pergi jauh kayak Ayah."
Rena tersenyum, ia mengelus puncak kepala Zia dengan sebelah tangannya, "Iyaa sayang."
"Nah udah sampai, nanti kalau udah pulang telfon Bunda ya, jangan pulang naik angkutan umum!"
Zia mengangguk, "Siap Bunda! Zia masuk dulu ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam,"
Zia mencium pipi Rena kilat lalu segera turun dari mobil dengan menggendong tas dan menenteng botol pink berisi s**u yang masih tersisa setengah.
"Woyy nak bayikk!!"
Zia menghentikan langkahnya, gadis itu berbalik lalu menatap seorang pemuda dengan tampilan urakan yang berlari kearahnya.
"Ian manggil Zia?"
Tanya Zia ketika pemuda yang ia panggil Ian itu berhenti di depannya dengan nafas yang terengah.
"Iyalah siapa lagi yang bawa dot kesekolah selain lo?" jawab pemuda itu sambil tertawa. Terlihat jelas binar bahagia di mata pemuda itu saat melihat wajah tertekuk Zia.
"Ini botol minum, bukan dot!"
"Itu dot, jelas-jelas isinya susu." debat pemuda itu.
"Ish, ini botol minum Adrian." kesal Zia yang kini memanggil nama Adrian, bukan lagi Ian.
Adrian cengengesan, kalau sudah begini berarti Zia sudah sangat kesal.
"Iya-iya botol minum." ucapnya mengalah.
Tanpa membalas Zia membalikkan tubuhnya, melangkahkan kakinya mengabaikan Adrian yang benar-benar mengikutinya sampai ke depan kelas.
Bukannya tidak peka, bukan. Ia hanya tidak mau memberikan harapan palsu pada pemuda itu. Ia akui ia memang kekanak-kanakan dan manja, namun untuk urusan asmara ia cukup paham karena tidak sedikit jajaran laki-laki mostwanted di sekolahnya yang pernah menyatakan cinta padanya. Bahkan Adrian yang terkenal badboy sekaligus mostwanted pun bisa luluh dengan Zia.
Zia tidak tahu ada apa dengan dirinya hingga banyak digandrungi pemuda tampan di sekolahnya, tapi yang jelas ia sangat sangat tidak suka keadaan seperti ini. Semakin banyak pemuda yang menyukai dirinya, maka semakin banyak pula gadis-gadis yang membenci Zia karena tidak suka pemuda incarannya mengejar Zia.
Tapi Zia bersyukur karena sejauh ini mayoritas siswa perempuan tidak pernah macam-macam padanya. Meskipun minoritasnya tetap tak segan untuk melontarkan kata-kata pedas saat berpapasan dengannya.
"Eh, ada cabe muda."
Nah, ini dia contohnya.
Zia mendengus lalu menatap segerombolan siswi yang kini menghadangnya.
"Halo cabe tua."
Segorombolan gadis itu melotot mendengar perkataan Zia yang kelewat santai, "Eh lo-"
"Vi! Lo gak capek apa gangguin Zia mulu?!" Sentak Adrian menghempas tangan Silvia yang tadi menunjuk wajah Zia membuat wajah gadis yang sepertinya ketua geng itu semakin memerah.
"Gak! sampai dia bener-bener ngerasa hidup kayak di neraka gue gak bakal berhenti!" Balas Silvia balas menatap tajam ke arah Adrian.
Adrian menatap Silvia datar, pemuda itu maju selangkah namun Zia segera menahannya.
"Ian udah ah, jangan berantem sama cewek, malu tu sama seragam yang dikeluarin. Udah ya, Zia mau ngerjain pr dulu, berantemnya besok lagi, Dadaah semuanya!"
Zia berjalan dengan riang menuju kelasnya, meninggalkan rombongan Silvia dan Adrian yang nampak masih mengeluarkan aura permusuhan.
"Lo gak bisa gini terus Dri!"
Adrian menyeringai, "Siapa bilang?" Ucapnya santai lalu berlalu dengan santai membelah kerumunan geng Silvia.
Silvia mengepalkan tangannya kuat, "Sabar Vi." ucap seorang gadis di samping Silvia.
***
Suara alarm jam berbunyi nyaring, tak lama sebuah tangan kekar merayap ke arah nakas dan menekan tombol off pada jam kecil itu. Seketika ruangan kembali hening.
Pemuda yang masih berbaring dengan posisi telungkup itu lantas membalikkan tubuhnya, mengucek matanya sekilas lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
Ia memposisikan dirinya untuk duduk, lalu memandang ke arah jendela yang memancarkan cahaya matahari pagi. Ia menguap sekali lagi lalu meraih gelas di nakas, meminum airnya hingga tandas lalu beranjak masuk ke dalam sebuah ruangan yang merupakan kamar mandi.
Cukup lama, ia kembali keluar dengan pakaian santai dan handuk yang melingkar di lehernya, ia membuka lemari lalu memgambil setelan baju untuk pergi kuliah hari ini. Setelah siap, ia menyambar tas gendong dan kunci motor lalu segera turun ke lantai bawah.
"Pagi Bun," sapanya pada seorang wanita yang tengah sibuk menata makanan di meja, ia mencium pipinya sekilas.
"Pagi Zo, hari ini ada kelas pagi?" Tanyanya.
Ya, pemuda yang dipanggil Zo itu adalah Kenzo, pemuda berparas tampan dengan alis tebal dan senyumannya yang memikat.
Kenzo duduk di kursi dan membalik piring bersih yang ada di hadapannya. "Ngga sih Bun, hari ini kelas siang, cuma pagi ini Zo mau nemenin Bella jalan-jalan."
Wanita yang Kenzo panggil Bunda, Rahma mengangguk mengerti sambil menaruh roti yang sudah ia beri selai coklat ke piring Kenzo, lalu meletakkan secangkir kopi di samping piring itu.
"Yaudah, nanti jangan pulang malam ya, Ayah lembur hari ini, Bunda ngga ada temen di rumah."
Kenzo meringis disela-sela kunyahannya, "Maaf Bun ngga janji, malam ini Bella juga minta dianter ke acara ulangtahun temennya."
Rahma menghela nafas kasar. Ia menatap putra satu-satunya itu dalam.
"Bella lagi Bella lagi, waktu buat Bunda nya kapan?"
Kenzo meneguk kopinya, lalu menyeringai menatap Rahma
"Bunda cemburu yaa?"
Namun seringaian Kenzo segera kuncup tatkala Rahma hanya menampilkan wajah datar tak berekspresinya. Kenzo menghela nafas.
"Maaf deh Bun, kali ini aja Zo pergi, besok lagi ngga akan pergi malem lagi, ya?"
Rahma tak menjawab, wanita itu kini menyibukkan diri mengaduk sup yang ada di panci, berdiri membelakangi Kenzo karena letak kompornya memang berada di hadapan Kenzo.
Kenzo bangkit dari duduknya lalu memeluk tubuh Rahma dengan manja, "Jangan marah dong Bun."
Rahma mematikan kompor, ia melepaskan pelukan Kenzo lalu berbalik menghadap ke arah Kenzo.
"Kamu sih, Bunda mau adopsi adik buat kamu, kamunya ngga mau. Giliran Bunda minta temenin kamu malah lebih milih pacaran."
Kenzo menggaruk tengkuknya canggung. "Trus Bunda maunya gimana?"
"Terserah kamu."
'Cewek beneran jawabannya,' batin Kenzo meringis.
"Iyaa deh nanti Zo pulang cepet, sekarang Zo berangkat dulu ya Bun, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam,"
Kenzo mencium tangan Rahma dan pipinya bergantian, lalu segera beranjak keluar meninggalkan Rahma.
Rahma menggelengkan kepalanya lalu meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.
***
"Duh Ian, nanti kalau kita ketahuan gimana? Terus kalau kita dihukum?"
"Alah santai, buruan lo duluan yang naik, gue jagain dari sini."
"Zia takut."
"Jangan takut, daripada lo dimarahin gara-gara ga bawa buku PR? Mau lo disuruh lari lapangan?"
Zia menggeleng polos, sekali lagi gadis itu menatap tembok tinggi di hadapannya.
"Kalau Zia jatuh nanti Ian tangkap ya?"
"Woh, gak usah disuruh itu mah, sukarela gue." lalu ia terkekeh sendiri dengan jawabannya.
Zia mulai melepas sepatunya, melemparkannya ke balik tembok, ia mulai menaiki lutut Adrian yang sudah berlutut agar Zia bisa menaiki lututnya.
Zia berpegangan kuat pada ujung tembok, ia mulai mengangkat tubuhnya meskipun kesusahan karena tidak kuat, dan Adrian yang peka langsung memegang pinggang Zia dan turut ikut mengangkat tubuh Zia. Setelah berhasil duduk di atas tembok Zia menengok ke bawah.
"Huaaa temboknya tinggi banget!"
"Ssttt Zia! Jangan berisik!"
Zia membekap mulutnya sendiri, ia kembali menengok ke bawah dengan wajah pucat pasinya. "Jangan takut, lo lompat tepat di atas tas gue sama tas lo, biar ngga terlalu sakit, oke?"
Lagi-lagi Zia mengangguk mendengar intruksi Adrian, detik berikutnya gadis itu melompat setelah mendapat keberanian lebih, dan berhasil! Ia mendarat mulus di atas tasnya dengan posisi terduduk.
"Aduh! p****t Zia sakit!" Pekiknya lagi.
"Jangan berisik Zia!" Sentakan itu terdengar dari balik tembok membuat Zia lagi-lagi membekap mulutnya sendiri. "Iya maaf Zia ga sengaja."
Tak lama ia menatap ke atas saat melihat Adrian duduk di atas tembok, dengan lihai pemuda itu melompat dengan mulus di atas tanah.
Pemuda itu meraih tasnya lalu menggendongnya, lalu meraih tas Zia dan menyodorkan pada Zia. "Nih pake buruan, kita cari angkot kesana."
Zia menurut, lalu tangan mungilnya meraih ujung seragam Adrian dan menggenggamnya erat-erat. Kebiasaannya jika berjalan dengan seorang pemuda.
Adrian berdecak, tapi ia tetap membiarkan ujung seragamnya kusut lantaran pegangan Zia. Mereka mulai berjalan mengendap dan mulai berlari ketika sudah dekat dengan jalan raya.
Melihat sebuah angkot, pemuda itu lantas menarik Zia masuk ke dalam angkot dan mereka tertawa di dalam sana.