Why He Gets Upset

3404 Kata
2006 “Di pakai atributnya! Yang nggak lengkap maju ke depan!” ucap anak laki-laki yang berdiri menghadap barisan siswa yang menggunakan seragam merah-putih dengan pengeras suara. Mereka semua sibuk mengecek kembali atribut sesuai permintaan beberapa siswa yang berseragam putih-biru tua. Laki-laki yang menggunakan bet bertuliskan Keenarkana Bagaswara dengan teliti menelusur setiap barisan paling kanan hingga paling kiri, mencari-cari jika ada kesalahan sekecil apapun. Ia menggunakan rompi warna hitam yang menutupi seragam putihnya dengan tulisan ‘Ketua OSIS’ di bagian punggung. Topinya juga yang paling berbeda. Ketika yang lain menggunakan topi khas anak SMP bertuliskan nama sekolah mereka, anak laki-laki yang tak menampakkan senyumnya daritadi itu menggunakan topi hitam bertuliskan ‘Pembina SMP 25 Balikpapan’. “Itu yang barisan ke lima paling kanan, mana topinya?” “Yang terlambat, maju kedepan!” “Mana topi kartonnya?” “Itu bentuk silinder, bukan kerucut! Maju ke depan!” “Barisan ini kurang rapi!” Ia terus meneriaki siapa saja yang melakukan kesalahan sejak lima belas menit lalu. Upacara pembukaan penerimaan siswa baru menjadi molor dua puluh menit. Pukul setengah delapan pagi, baru pembaca protokol upacara membuka acara. Hampir dua jam dijemur di bawah matahari pagi, akhirnya para siswa baru bisa masuk ke kelas masing-masing yang sudah dibagi. Total ada tujuh kelas dengan tiga puluh delapan sampai empat puluh siswa setiap kelas. “Kelas 7F. Adji Dermawan, Adi Pratama Putra, Andriyani...” “Sebastian Albus Beren...Hmmm... Bren...Brenwain?” Arkana terhenti di nama belakang Tian. “Branwyn. Bran-win,” keluh anak laki-laki yang berdiri di barisan paling belakang. “Aku duluan,” bisiknya kepada gadis yang berdiri di baris ketiga ketika ia melewatinya. “Jalannya yang cepat!” tegur sang KETOS ketika melihat Tian yang tak bisa berjalan cepat. Tian bukannya sengaja, jika ia terlalu cepat berjalan, napasnya akan sesak. “Dan untuk nama yang belum saya panggil, kalian masuk di kelas 7G.” Glo bersama teman satu kelasnya yang baru berjalan melewati kelas Tian. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum mengejek. Tian menghela napas ketika ia mengetahui Glo tidak sekelas dengannya. SMP 25 bisa terbilang sekolah yang baru. Bahkan Tian dan Glo menjadi angkatan ke-empat di sekolah lebar dan luas. Namun beberapa tempat masih dalam pembangunan. Maklum, seperti remaja yang baru tumbuh, masih banyak yang harus dibangun dan diperbaiki. Sekolah yang identik dengan warna biru. Seragam batik sampai seragam olahraga semuanya biru tua bercampur hitam. Hanya cat gedung yang berwarna krem dicampur warna burgundy. Terdapat tiga gedung dua lantai untuk para siswa yang dibagi menjadi tiga tingkat. Gedung kelas tujuh paling dekat dengan gerbang masuk. Gedung kelas delapan, berada persis di samping gedung untuk guru yang berjarak sepuluh meter dari gedung kelas tujuh. Di depan ruang guru terdapat lapangan luas untuk upacara. Untuk gedung kelas sembilan, mereka harus sedikit mengeluarkan keringat ketika hendak masuk. Mereka harus menanjaki jalanan semen yang terjal berjarak kira-kira lebih dari lima puluh meter dari gerbang masuk. Gedung yang berada di atas bukit karena tanah di wilayah sekolah yang tidak rata seluruhnya. Sedangkan kantin, terletak di kaki jalan menanjak menuju kelas sembilan. Ada satu lapangan basket yang terbuka di belakang gedung kelas tujuh, dan lapangan untuk lompat jauh di samping depan gedung kelas delapan yang menjadi pembatas antara gedung siswa dan ruang Bimbingan Konseling. “Monyet, kamu kan tinggi, bisa pindah ke belakang aja?” tegur anak laki-laki sambil menepuk pundak kanan Tian dari belakang. Dengan segera Tian menghadap belakang dan menarik kerah anak laki-laki kurus dan pendek yang terkejut dengan p*********n secara tiba-tiba dari Tian. “Kamu panggil aku apa? Hah!” tanya Tian ketus dengan nada mengancam. “A...Anu...” bocah laki-laki bernama Anton itu gelagapan melihat laki-laki yang lebih tinggi dan lebih besar darinya sedang menatap tajam, siap menerkam. “Nama di name tag karton kamu, Monyet, kan? Punya saya Siput.” Tian melihat apa yang Anton tunjuk ke dirinya. Karton biru muda persegi dengan lebar masing-masing sisi sepuluh senti sedang bergelantungan di tubunya. Tian terdiam beberapa saat, memejamkan mata dan menghela napas pelan setelah mencerna apa yang terjadi. Beberapa siswa lain hanya bersiap dan berjaga di sekitar, tak berani mendekat. “Ada apa ini? Duduk di tempat masing-masing,” tegur Arkana ketika baru masuk ke dalam kelas. Tian melepas cengkramannya sedikit kuat membuat tubuh Anton tidak seimbang dan hampir jatuh. Dengan cepat Tian mengambil tas selempang yang terbuat dari karung beras dan disambung dengan tali rumput jepang warna biru, lalu pergi dari barisan kedua menuju bangku kosong paling belakang. Tempat duduknya dekat dengan pintu masuk. “Perkenalkan, saya Keenarkana Bagaswara. Teman-teman dekat saya biasa panggil Keen, tapi kalian panggil saya Kak Arkana. Mengerti?” tanyanya dengan tegas. Ia berdiri di balik meja guru. Arkana berbicara tanpa menggerakkan kepalanya. Namun matanya liar mentap setiap wajah baru di bekas kelasnya dulu ketika ia juga masih menjadi siswa baru. Laki-laki yang memiliki kulit putih dengan gaya rambut ala tentara itu menujukkan sisi tegasnya. “Saya kelas 9A dan ini tahun terakhir saya sebagai Ketua OSIS SMP 25. Tolong patuhi peraturan yang sudah dibuat di sekolah ini. Selama tiga hari kalian akan kami OSPEK. Mohon kerja samanya dan untuk siswa yang melanggar lebih dari tiga kali, akan kami beri hukuman. Terima kasih.” Wajah Arkana berbentuk oval. Matanya sayu dengan bulu mata lentik yang panjang. Bola matanya hitam, tapi jika dilihat dari jarak yang sangat dekat, sebenarnya sepasang matanya berwarna cokelat gelap. Beberapa saat, Arkana tampak berdiskusi dengan berbisik bersama dua anggota OSIS yang mendampinginya. “Kami akan beri kalian waktu sepuluh menit untuk saling mengenal. Setelah ini, kami akan beri kalian games menebak sepuluh nama lengkap siswa di kelas ini beserta nama julukan sesuai name tag di kartonnya,” jelas Arkana menekan kata lengkap. Ketiga orang itu pergi meninggalkan kelas, membiarkan semua orang saling mengobrol, berisik dan saling menyebrangi meja hanya untuk mencatat nama siswa sebanyak mungkin. “Konyol,” ucap siswa laki-laki yang duduk di samping Tian. Tingginya hampir sama dengan Tian. Bahkan perilakunya. Ia mengangkat kaki kanannya dan diletakkan di atas paha kirinya. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Kepalanya bulat, pipi sedikit tembam, kulit putih, rambut hitam tak terlalu tebal mirip Iqbal Ramadhan, anggota grup boyband cilik, Coboy Junior. Tian hanya tersenyum sinis, setuju dengan pendapatnya. Tian melirik bet di d**a sebelah kanan. Gilbert Antonius. “Orang tua gue susah-susah nyari nama bagus buat gue, kenapa disandingkan dengan nama binatang?” omelnya lagi. “Gilbert, Buaya.” Ia menyodorkan tangan kanannya. “Sebastian, Monyet.” Tian menyambut tangan Gilbert. Mereka saling tatap sesaat, lalu tertawa. “Konyol,” ucap Tian sambil mengangguk. “Gue pikir punya gue lebih buruk. Tapi ternyata nggak seburuk itu setelah gue liat nama lo.” “Ada cewek aneh yang buatkan ini.” Tian kembali menatap kertas karton yang ingin ia robek setiap kali membaca tulisan kapital yang ditulis dengan spidol hitam. Pagi ini Glo baru memberikannya kepada Tian. Glo berjanji akan menyiapkan atribut yang diminta sekolah sekalian ia buat untuk dirinya sendiri. Karena terburu-buru, Glo mengalungkan nam tag yang tak sempat dibaca Tian. “Gue dari Jakarta,” ucap Gilbert tanpa diminta. Tian sudah tahu dari awal, tampak jelas dari cara Gilbert bicara. “Kamu? Dari luar negeri, ya?” “Bukan. Kakekku yang dari Inggris.” Gilbert hanya mengangguk, mengerti. Bahkan di mata laki-laki, Tian memang memmesona. “Oke. Sudah sepuluh menit. Tolong duduk di kursi masing-masing.” Arkana kembali masuk. “Sebastian Albus...” Arkana berhenti sesaat. “Ah, nama ini lagi.” Telunjuknya menelusuri daftar nama siswa. “Brenwain?” “Branwyn. Bran-win. Tolong ucapkan dengan benar,” ucap Tian dingin, alhasil mood Arkana menjadi anjlok. “Gimana?” tanya Arkana tak percaya. Ia banting buku absen tipis di atas meja guru lalu menatap tajam Tian sambil mengacak pinggang. Arkana tertawa sinis. Pandangannya menjadi tatapan meremehkan. “Hmmm... Kalau dilihat-lihat, nama dan rupanya sama.” Arkana mengetuk dagu dengan telunjuk seperti detektif yang berpikir keras. “Excuse me? Itu body shamming namanya.” Wajah Tian memerah ketika mendengar teman-teman sekelasnya tertawa. Arkana tertawa, merasa menang. “So? Mr. Brenwain?” “Pelaku penyebar berita bohong atau fitnah, dan pencemaran nama baik sesama siswa atau antar guru akan dikurangi sebanyak lima puluh poin dari sisa poin yang dimiliki siswa tersebut.” Gilbert tiba-tiba menyela. “Itu ada di halaman lima belas, peraturan nomor seratus lima puluh tujuh. Bahkan untuk pencemaran nama baik sudah diatur di perundang-undangan negara. Anda bisa kena hukuman berdasarkan pasal yang ditentukan.” Arkana terdiam melihat Gilbert dengan gamblang membaca isi peraturan di buku peratruan sekolah yang dibagian sebelum masuk kelas tadi. “Siswa di kelas ini jadi saksi. Saya bisa laporkan ke wali kelas atau bahkan ke Kepala Sekolah. Saya beri waktu satu menit untuk Anda meminta maaf kepada Tian.” Giliran Arkana yang ditatap oleh seisi ruang kelas. “Saya pikir kalian sebagai senior lebih paham dengan peraturan sekolah. Atau kalian mau di OSPEK ulang?” Para siswa tertawa. Arkana memutar bola mata, mendengus kesal. “Seharusnya kita diam.” Jam sebelas, matahari sedang terang-terangnya. Panas mulai menyengat membuat pucuk topi kerucut yang dibuat dari beberapa lapis kertas koran panas. Keringat menetes di tubuh kedua siswa laki-laki yang sedang melakukan hormat bendera di tengah lapangan. Bibir kering terasa perih ketika terkena tetesan keringat yang mengalir dari kening. “Aku nggak tahu apa masalah kalian tapi sebaiknya kalian diam. Tinggal ikuti apa yang mereka suruh apa susahnya, sih?” cecar Glo sambil menatap Tian dan Gilbert bergantian. “Ini. Kalian minum dulu.” Glo memberi air mineral dingin masing-masing satu yang langsung disambar dan diteguk isinya sampai sisa setengah. “Makasih, Glo.” Gilbert menepuk pundak Glo yang punggung tangannya langsung ditepuk keras oleh Tian. Gilbert mengaduh karena tangan Tian yang basah terasa sakit ketika ia memukulnya. “Jangan terima kasih ke aku. Tapi kalian bilang terima kasih ke Kak Keen.” “Ogah,” ucap Tian langsung menolak. “Heh! Dia yang kasih minuman ini tahu. Kak Keen itu sebenarnya orang baik.” “Baik apanya? Omongannya buruk begitu,” balas Tian tak mau kalah. “Apa bedanya sama kamu? Hah? Apa bedanya.” Glo menusuk-nusuk perut buncit Tian. “Ingat, ya. Diam.” Glo meninggalkan mereka yang masih harus meneruskan hukuman mereka yang tertinggal lima belas menit lagi. “Dia tadi bilang apa?” tanya Tian yang tubuhnya diputar setengah melihat Glo yang berjalan cepat. “Ingat, ya. Diam,” jawab Gilbert yang kembali melakukan hormat. “Bukan itu. Kamu tadi dengar dia bilang Kak Keen, kan? Bukannya tadi Kak Arkana bilang kalau itu panggilan khusus dari teman-temannya?” “Kenapa? Bagus, dong kalau Glo berteman dengan Kak Arkana. Hukuman kita bisa aja dikurangi.” Tian juga mengikuti gerakkan Gilbert. “Aku lebih baik hormat bendera sampai besok. Jangan ngomong aneh-aneh.” --- “Di hari terakhir nanti, kita akan melakukan pemilihan ketua kelas. Kalian bisa menyalonkan diri, atau kalian bisa menyalonkan teman kalian.” Arkana menutup acara di hari pertama mereka tepat pukul dua siang. Hampir setengah siswa sudah keluar kelas. Tian dan Gilbert masih asik memasukkan barang-barang mereka. “Aku aja yang merasakan atau kamu juga merasa gatal gara-gara karung ini?” keluh Tian. “Glo?” Tian langsung menoleh ketika Arkana memanggil nama Glo. “Hai Kak Keen.” Mereka saling tersenyum. “Tian. Karung lo jadi kusut,” tegur Gilbert melihat Tian mengepal kuat tas karung berasnya. “Kamu ngapain disini?” Glo menunjuk Tian dengan dagunya. “Aku harus pulang bareng dia.” Tian menampakkan wajah penuh kemenangannya. “Rumah kita searah, lho. Kamu mau pulang sama Kakak?” Glo menggeleng, menolak dengan sopan. “Glo pulang sama saya. Naik mobil,” ucap Tian dengan suara yang ia rendahkan. “Ayo, Glo.” “Tapi aku penasaran gimana rasanya naik angkot.” Glo menahan dirinya ketika Tian menarik lengannya. “Ayo, Glo.” Arkana menarik lengan Glo yang ia lepas paksa dari genggaman Tian. “Aku ikut!” pekik Tian. “Aku bilang juga apa. Masuk angin, kan?” ucap Glo sambil menepuk punggung Tian yang memuntahkan isi perutnya di pinggir parit besar pinggir jalan.. “Tadi aku juga bilang apa. Jangan buka kaca jendelanya lebar-lebar. Huwek.” Arkana menopang setengah tubuhnya di bawah pohon ketapang. “Kamu minta jemput orang tua kamu, gih. Kamu nggak cocok jadi orang biasa sepertinya.” Arkana menepuk punggung Tian lebih keras dari Glo. “Kak, jangan kuat-kuat,” pinta Glo sambil mengusap perut kanannya. “Kamu nggak apa-apa, Glo?” tanya Arkana yang kini tatapan simpatik diambil alih oleh Glo. Glo menggeleng. “Dari kemarin perut aku sakit banget. Tapi sebentar lagi bakal hilang.” Percaya dengan ucapan Glo yang ngotot mengatakan dia baik-baik saja, mereka kembali menyetop angkot yang sepi, agar semua kaca jendela bisa ditutup. --- “Kenapa kamu bisa berteman dengan Arkana?” tanya Tian sambil menyuap sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya. “Hush! Panggil Kak. Nggak sopan. Kamu mau dihukum lagi?” ucap Glo memukul lengan besar Tian. Gilbert hanya menatap mereka yang berdebat kenapa Tian harus memanggil Arkana dengan sebutan ‘Kak’. Jam makan siang, kantin sekolah dipenuhi siswa yang berebut antrean. Sejak pagi, Glo mengeluh sakit di area perutnya. Ketika ditanya apa yang salah, mereka menduga kemungkinan akibat Glo yang salah makan karena rasa sakitnya seperti ingin pup. “Coba, deh kamu BAB sana,” saran Tian. “Nggak! Bisa-bisa aku bakal diolok seharian. Apalagi toilet siswanya kotor banget.” “Terus, lo mau pulang aja?” Glo menggeleng. Ia meletakkan kepalanya di atas meja. Tian tak berhenti menatapnya. Ia juga jadi tak selera makan. Glo tidak seceria seperti biasnya. Membuat Tian merasakan ada sesuatu yang salah dengan Glo. “Apa separah itu? Mau ke UKS?” tawar Tian. “Kalau aku tambah sakit perut gimana? Ruang UKS pasti lebih dingin karena ada AC. Kalau aku nggak sengaja kentut gimana?” “Hahaha.” Tian menyenggol lengan Gilbert yang tertawa. “Kentut itu manusiawi,” ucap Gilbert. “Tapi aku perempuan.” “Perempuan bukan manusia?” “Kamu perempuan?” tanya Gilbert dan Tian bergantian. “Dasar cowok-cowok nggak guna.” Kesal, Glo meninggalkan mereka. Beberapa menit berlalu, Gilbert dan Tian sudah menghabiskan makanannya. Namun, mereka masih belum mau kembali ke kelas. “Do you like her?” tanya Gilbert tiba-tiba membuat Tian tersedak es teh manisnya. “Hahah. Konyol. Nggak mungkin, lah!” “Kenapa lo panik? Kalau nggak suka santai aja.” Gilbert menatap Tian dengan ekspresi wajah yang tidak bisa diartikan. Tanpa mengatakan apapun, Tian bangkit dari duduknya dan meninggalkan Gilbert begitu saja. Saat Tian menuruni jalan yang menanjak, beberapa siswa berlarian melewati Tian. “Ada yang pingsan.” “Siapa?” “Nggat tahu. Katanya anak 7F.” Tian menguping sedikit pembicaraan mereka. “Tian!” panggil Gilbert dari kejauhan. “Glo! Glo pingsan!” Mata Tian terbelalak. Ia langsung berlari menuju kelas Glo. Rasanya berat membawa bobot tubuhnya yang berat untuk berlari. Ditambah ia baru saja makan siang. Rasanya ingin muntah ketika ia berlari. Ia ngos-ngosan bahkan baru beberapa langkah. Namun Tian tidak mau berhenti. Sampai dimana banyak orang yang bergerombol di lorong kelas lantai satu. Beruntung, kelas Glo bukan di lantai dua. Tian menerobos masuk membuat orang-orang yang menghalangi jalannya harus terpental. Ia melihat Glo yang terbaring di lantai tak sadarkan diri. “Glo!” Tian mendekat. Ia bersimpuh di samping tubuh Glo. Tak peduli dengan napasnya yang panjang-pendek, Tian mencoba mengangkat tubuh Glo. Namun, tidak berhasil. Tubuh Tian besar, tapi tidak dengan kekuatannya. Ototnya lemah, hanya lemak yang menyelimuti tubuhnya. Tian mencoba lagi. Membaringkan punggung Glo di tangan kiri, lalu mengangkat kaki Glo. “Minggir! Kamu malah buat dia jatuh tahu!” Tubuh Tian di dorong menjauh, bak karma karena ia mendorong kerumunan siswa tadi. Arkana dengan cepat mengangkat tubuh Glo. Tampak seperti mengangkat bulu yang ringan. Tian tetap duduk termagu melihat Arkana membawa tubuh Glo menjauh darinya, lalu melihat siswa yang masih mengelilinginya, menatapnya iba. Miris. Tian bahkan tidak sanggup mengangkat tubuhnya sendiri ketika berdiri. “Tian!” Guara Gilbert terdengar dari tengah-tengah kerumunan yang berusaha masuk. “Akh! Tian, tangan kamu!” Otomatis Tian melihat tangan kanannya. Cairan lengket mulai mengering, membuat tangan Tian tiba-tiba gemetar. Ia melihat ubin abu-abu yang memiliki corak abstrak berwarna merah. Tian diam sesaat, bertanya pada dirinya sendiri. Glo hanya menahan pup, tapi kenapa malah mengeluarkan darah begitu banyak? --- 2022 “Gimana Jakarta?” Tian baru sampai di depan pintu apartemennya ketika Arkana menelpon. “Jakarta punya awan. Langitnya juga warna biru. Di sini banyak tumpukan salju di pinggir jalan,” ucap Tian sambil membanting tubuhnya ke atas sofa empuk yang lama tak ia tempati. “Hahaha.” “Nggak perlu basa-basi. Jijik. Langsung ke intinya,” pinta Tian yang membuka kancing kemeja paling atasnya. “Kamu dapat undangan pernikahan client kita, kan? Itu, lho, pernikahan anaknya Pak Bram.” “Lalu?” “Kamu nggak bisa datang, kan?” “Lalu?” “Aku bakal gantikan kamu. Gimana?” “Terserah. Tolong sampaikan salamku untuk Pak Bram.” “Oke.” Andai Tian bisa mengulang waktu, ia akan meminta Arkana untuk tidak datang ke pernikahan mewah puteri pemilik pabrik minuman bersoda. Di hari pernikahan, tak sengaja Tian melihat status terbaru di sosial media milik Arkana. Tian melempar ponselnya begitu melihat Glo dengan dress putih panjang dengan pundak yang terbuka sedang tersenyum sambil berbicara dengan Pak Bram. Mulut Tian terbuka tak percaya. Ia mencoba menelpon Glo, namun tak ada jawaban. Tian pikir Glo sedang menikmati pestanya yang meriah. Malam yang mendung, namun Tian tetap menatapnya nanar berharap bulan menampakkan wujudnya. Ia sedang bersembunyi, enggan membiaskan sinarnya. Sama seperti Tian yang menyembunyikan dirinya di balik selimut tebal sambil terus memutar sebuah video milik Glo yang wajahnya berseri sambil memegang buket bunga mawar putih yang indah. “Sebentar lagi ada yang nyusul, nih.” Suara lembut dari sang pengantin yang berharap wanita lain yang berhasil menangkap buket bunganya akan segera menyusul. “Gimana Pak Arkana? Sudah siap belum?” tanya Pak Bram membuat Arkana yang berdiri di samping Glo semakin salah tingkah. Tian mematikan ponselnya. Hendak mematikan lampu kamar juga. Namun, tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. Ia membuka kembali ponsel, lalu mencari nama Yosia di kontaknya. Lama menunggu nada sambung, akhirnya seseorang menjawab. “Halo?” “Yosia? Ini Tian.” “Tian? Ada apa? Tumben.” “Nggak ada apa-apa. Apa kabar?” “Baik. Kamu sendiri? Baik?” “Always.” “Lalu? Seorang Tian nggak mungkin nelpon aku malam-malam hanya untuk basa-basi, kan?” Tian diam sesaat, ragu. “Bulan depan, kamu bisa kosongkan jadwal buatku?” “Hah? Memangnya kenapa?” “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” “Tumben. Nggak ajak Glo?” Tian menggaruk dagunya yang tak gatal. “Kenapa? Kak Keen nggak izinin, ya?” “Keen? Kita sudah lama putus.” Tian terdiam, dugaannya benar. “Oh, ya? Why?” “He’s a bad guy. Womanizer! Aku pikir selama ini aku satu-satunya, ternyata aku salah satunya tahu nggak? Tian menyingkap selimut tebal dan pergi ke meja kerja yang berada di samping kasur. Menyalakan lampu belajar, lalu membuka buku catatan ukuran A5 dengan cover warna biru tua usang. Bahkan warna putih pada kertas sudah menguning. Tian membalik lembar demi lembar hingga ia berhenti di catatan terakhir. Terdapat banyak coretan garis dengan tinta merah yang menimpa tulisan bertinta hitam di setiap baris yang terdiri hanya satu kata. Di halaman yang masih kosong, Tian menulis ‘Keen 2022’ sebagai judul. Ditulis paling atas sebelah kiri. “Bad guy,” gumamnya sambil menulis kata baru di baris tengah. List ke-dua puluh tiga. Satu kata baru, Tian meletakkan kembali pena hitamnya. Tak langsung berdiri, ia kembali membalik halaman untuk membaca tulisan paling pertama dengan judul ‘Keen 2007’ dan ‘Keen 2009’ ditulis dengan huruf kapital tebal. Alisnya saling bertaut, menelusur setiap tulisan yang ia tulis dengan tajam. Ia sudah hapal setiap kata, namun tak pernah bosan membacanya ulang. “Ketua kelas, Ketua OSIS, Kapten basket, good at sport... Bad guy. s**t! Apalagi?” Tian membaca dengan melompati beberapa baris. “No way,” gumamnya lagi. Degan tergesa ia kembali ke catatan terakhir, mengambil pena merah lalu mencoreng tulisan Bad Guy yang ia tulis beberapa menit lalu, lalu ia menulis kembali ‘Older than her’ di baris baru. Ia mengacak rambutnya frustasi, berakhir dengan memegang kepalanya seolah-olah akan lepas jika tidak ditahan dengan kedua tangannya. “Why did...” Tian tak sanggung menyelesaikan kalimatnya. “i just realize?” “Roy, Ridho, Mahen.... Keen.” Tian bangkit, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar, pikirannya kembali membuka arsip lama berupa daftar nama di kepalanya. “Dang it!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN