Ruangan luas dengan penerangan temaram tampak begitu sunyi senyap. Lilin-lilin kecil berjajar pada tengah ruangan membentuk lingkaran besar. Puluhan orang berjajar rapi membentuk lingkaran dan bergandengan tangan bersama. Seluruhnya mengenakan jubah hitam panjang dan sebuah topeng untuk menutupi wajah hingga sebatas hidung. Di tengah lilin-lilin yang melingkar, lima tubuh wanita terlentang dengan kain hitam menutupi sampai sebatas d**a.
Salah satu dari perkumpulan itu yang merupakan seorang pria datang membawa cawan besar berwarna keemasan, kemudian masuk ke tengah lingkaran puluhan manusia itu dan berdiri tepat di tengah-tengah lima tubuh wanita yang terbaring sunyi.
Ketika ia berada di tengah, perkumpulan yang melingkar berlutut, membiarkannya menjadi satu-satunya pusat perhatian. Tangan kanannya meletakkan cawan besar itu di lantai. Ia kemudian mengambil isi cawan segenggaman tangan.
Abu.
Mata terpejam khidmat. Ia membuka genggaman tangannya dan meniup abu itu.
“Vocare pulvere.”
Suara beratnya diikuti oleh perkumpulan. Serpihan abu terbang ke udara, memunculkan percikan-percikan aneh yang mematikan lilin-lilin yang ada. Beberapa orang berteriak tertahan ketika serpihan abu yang terbang keluar masuk dari mulut mereka seolah tengah mencari wadah yang pas. Serpihan abu itu melayang-layang dan terus keluar masuk hingga akhirnya masuk secara sepenuhnya pada kelima tubuh wanita yang tergeletak di tengah-tengah mereka semua.
Lima wanita itu bangun dan duduk, kelopak mata terbuka lebar. Jika dilihat lebih jelas, ada bola mata lain yang bergerak-gerak di antara bola mata asli wanita-wanita itu.
“Selamat datang, saudari-saudari kami.”
Perkumpulan bersorak gembira. Wanita-wanita itu tersenyum—lebih seperti menyeringai. Beberapa orang lainnya dari perkumpulan memakaikan jubah yang sama kepada wanita-wanita itu.
“Dengan ini, kalian berlima akan membantu kami sepenuhnya.”
---
Dua orang lelaki paruh baya mengonfirmasi kebenaran informasi yang diberikan oleh pria pemilik bar. Gilbert tidak memiliki alasan lagi untuk meragukannya meski ia sendiri masih ragu. Jika apa yang dikatakan oleh orang-orang ini memang benar-benar kebenaran dan tidak ada penambahan dalam tiap detail informasinya, penculikan—atau setidaknya begitulah yang Gilbert yakini, telah merambah ke seluruh level penduduk di sekitar Kerajaan.
“Bagaimana Tuan Muda?” bisik Nicolin. Kumpulan orang-orang itu telah meninggalkan Gilbert dan kembali pada urusannya masing-masing.
Gilbert mengusap wajahnya. Berkali-kali ia mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja kayu tempatnya duduk diam sejak tadi. “Sepertinya kita terlambat.”
“Maaf?”
“Kurasa dua kategori yang tersisa sudah terpenuhi. Aku tidak yakin apakah ritual itu sudah dilakukan saat ini, tapi kalau belum maka tidak akan lama lagi hal itu pasti terjadi.” Gilbert benar-benar berhasrat memukul meja kayu di hadapannya untuk meluapkan kekesalan, tetapi ia tidak ingin menarik perhatian. Maka ia hanya menggenggam erat telapak tangannya sendiri hingga kuku-kuku jarinya memutih.
“Ritual itu jika benar-benar berhasil, maka akan ada orang-orang dengan setengah jiwa iblis yang akan menyusup di sekitar Kerajaan.” Jelas Nicolin.
“Ya. Lebih buruk lagi jika mereka segera melakukan tujuan yang bahkan masih belum kuketahui sama sekali. Aku yakin sekali tidak memiliki masalah apapun dengan bangsamu, atau setidaknya aku bahkan tidak pernah tahu jika bangsamu nyata sampai aku mengikat kontrak denganmu. Tapi, aku yakin seluruh kekacauan yang akan terjadi pasti akan mendampak pada hidupku. Tujuanku tidak boleh terganggu oleh apapun, bahkan jika gangguan itu juga berasal dari kaummu.”
Nicolin mengusap dagunya. “Mungkin kita harus benar-benar bergerak, Tuan Muda. Kita tidak bisa mempekerjakan siapa pun karena setiap informasi yang ada begitu sensitif.”
“Hari ini, bawa aku ke tempat di mana orang-orang dengan perkumpulan mencurigakan berada. Aku tahu kau bisa merasakan hal-hal dari kaummu.” Gilbert melirik tajam.
Nicolin mengulas senyum tipis. “Baik, Tuan Muda.”
---
Gilbert dan Nicolin berdiri di hadapan sebuah bangunan tua besar yang telah lapuk. Dinding-dindingnya retak di sana-sini, dan lumut tebal berwarna kehitaman nyaris memenuhi seluruh bagian depan dari bangunan ini.
“Tempat apa ini?” tanya Gilbert bingung.
Nicolin tersenyum. “Hanya bangunan tua biasa. Aku butuh tempat seperti ini untuk memenuhi apa yang Tuan Muda perintahkan.”
Yang sebenarnya, Nicolin membutuhkan tempat di mana kaumnya bisa ia rasakan dengan leluasa. Kaum iblis berkeliaran di dunia manusia sama saja seperti manusia sendiri. Tetapi di kerumunan manusia, mereka sibuk melakukan apa yang mereka inginkan untuk menyesatkan. Nicolin tidak bisa merasakan mereka dengan jelas.
Nicolin mendekat, tepat sejengkal di hadapan sang Tuan Muda. Ia menarik sarung tangannya, sebuah tanda perjanjian mereka bersinar-sinar di kegelapan malam.
“Tuan Muda, pejamkan matamu.” Bisiknya.
Gilbert mengernyit. “Kenapa aku harus?”
“Aku tidak ingin Tuan Muda melihat perwujudanku yang menjijikkan. Aku harus selalu tampak indah di hadapanmu. Kumohon.”
Gilbert menghela napas, segera ia memejamkan matanya ketika Nicolin mengarahkan telapak tangannya pada kelopak matanya.
Nicolin menyeringai, dalam hitungan detik selubung berwarna kemerahan menyelimutinya bak kabut tebal pegunungan. Wajah manusia tampannya sirna, tergantikan dengan wajah berwarna keabuan dan dua taring panjang yang tajam. Kedua iris matanya berpendar kemerahan, dan dua tanduk iblis mencuat menghiasi kepala dengan surai acak-acakan. Sepasang sayap hitam mengepak lebar bersamaan dengan munculnya ekor bergerigi di bagian belakang tubuhnya.
Tiupan angin datang ketika Nicolin kembali pada wujud aslinya; iblis terkutuk. Bagi iblis-iblis kecil yang tak memiliki hak untuk mengikat kontrak dan hanya berkeliaran tak menentu, kehadiran Nicolin dalam perwujudan aslinya menimbulkan daya intimidasi kuat yang membuat mereka segera menjauh bahkan meski Nicolin tidak berniat membunuh.
“Tuan Muda, tetaplah di sini sampai aku kembali.”
Gilbert mengernyit ketika mendengar suara Nicolin yang benar-benar berbeda. Ah, rasanya ia cukup familiar dengan suara itu. Benar, suara yang ia dengar ketika dirinya terduduk pada kerangkeng besi berkarat dengan rantai-rantai mengikat tubhnya. Nicolin datang menawarkan kekuatan dengan harga yang mahal, dan suara itulah yang ia dengar.
Gilbert merasakan sapuan angin di tubuhnya, namun ia sama sekali tidak membuka mata sebagaimana apa yang Nicolin inginkan. Gilbert bukan anak penurut, tetapi ia menghargai permintaan—bahkan jika permintaan itu adalah dari pelayannya sendiri.
Nicolin mengudara, dengan kepak sayap perlahan yang menimbulkan angin sedang. Suara gemerisik dedaunan yang tersapu angin terdengar menyeramkan. Cahaya merah berpendar, wujud-wujud yang nyaris sama dengan Nicolin bermunculan di sekitarnya, berlutut dengan kepala menunduk. Nicolin menatap mereka dalam diam. Hanya gerak mata yang ia lakukan, dan sosok-sosok itu mengangguk takzim kemudian segera melesat hilang tertelan kegelapan malam.
Nicolin turun, sepasang sayap hitamnya yang mekar kembali menelungkup kemudian hilang. Ia melangkah pelan menuju Gilbert bersamaan dengan sinar-sinar kemerahan yang kembali merubah wujudnya sebagai Nicolin sang pelayan keluarga Grey.
“Sudah selesai, Tuan Muda.”
“Apa yang kau lakukan?”
Nicolin tersenyum. “Mencarikan informasi apapun yang Tuan Muda inginkan.”
“Kau—“
“Sudah sangat larut, Tuan Muda harus segera beristirahat.” Nicolin lagi-lagi mengarahkan telapak tangan telanjangnya pada kedua mata Gilbert dan membuat pemuda itu terserang kantuk yang begitu kuat. Iblis itu selalu memiliki celah ketika Gilbert tidak benar-benar waspada.
“Kau—sial ugh.” Gilbert jatuh tertidur. Nicolin tahu ia akan dimarahi esok hari, tetapi ia tidak begitu keberatan. Diangkatnya tubuh sang Tuan Muda dan segera kembali ke mansion Grey.
-----