Page 3

1119 Kata
            “Kematian lain, Tuan Muda.” Gilbert mengernyit. “Kematian?” Nicolin menyerahkan lembaran kertas yang dibawanya. “Annie Glover, wanita yang bekerja di tempat yang sama dengan Dorothy. Dia yang pertama kali melihat keanehan Nell Gwyn dan menceritakannya kepada Dorothy. Luka yang ada di tubuhnya benar-benar sama dengan milik Dorothy, terlebih lokasi mayatnya benar-benar berdekatan.” Gilbert sudah menyadari jika seluruh pergerakannya pasti diawasi oleh orang-orang yang terlibat dengan ritual itu. Kumpulan bangsawan yang berani melakukan ritual abu pemanggil pasti memiliki tujuan yang sangat besar. Keluarga Hayward, menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka terlibat karena fakta bahwa Ramona berani mencuri dokumen pribadi milik Gilbert yang jelas-jelas berada di ruangan bawah tanah yang terlarang. “Dorothy mungkin berhubungan denganku secara langsung, tetapi Annie Glover tidak pernah bertemu denganku. Mengapa ia dibunuh begitu saja? Jika tujuannya hanya untuk menyimpan rahasia karena Annie mengetahui identitas Nell Gwyn, kurasa meski Annie menceritakan ke seluruh orang-orang yang datang di distrik hiburan itu pun tidak akan ada yang mempercayainya.” Nicolin menggeleng. “Itu yang kupertanyakan juga, Tuan Muda. Tindakan mereka terkesan terburu-buru dan seolah tidak memikirkan konsekuensi dari pembunuhan di tempat umum seperti itu.” Gilbert menyentuh dadanya. “Mengapa perasaanku terasa tidak nyaman. Ada faktor lain yang melatar belakangi pembunuhan ini, kurasa.” Jemari Gilbert sedikit bergetar, dan Nicolin menyadari hal itu. Nicolin penasaran, apa makna dari getaran itu. Ketakutan kah? Atau perasaan lain semacam tertarik? Nicolin tidak bisa mendeskripsikannya karena kedua perasaan itu benar-benar kontras. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Tuan Muda?” “Apa kau bisa memerintahkan para bawahanmu untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang membunuh Dorothy dan Annie Glover? Maksudku, kondisi mayat mereka benar-benar buruk, dan bagaimana mereka bisa meninggal dengan cara seperti itu tanpa satu orang pun yang tahu.” Nicolin membungkuk, meletakkan telapak tangannya ke d**a. “Baik, Tuan Muda.” --- Gilbert duduk termenung, ia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman di hatinya. Ada sesuatu yang aneh, dan ia merasakan hal itu. Gilbert meraih buku hairan milik Grey yang ia temukan di perpustakaan lama. Buku itu selalu dibawanya tidur. Gilbert belum membacanya lagi sejak ia membuka halaman kedua. Terlalu banyak yang terjadi, dan meski buku harian itu berpotensi memberikannya informasi, apa yang tampak dan terjadi di depan matanya tetap menjadi prioritasnya dan ia tidak bisa mengabaikan hal itu. Pada akhirnya, buku harian itu ditinggalkan begitu saja. Gilbert mengusap sampul kusam buku itu, kukunya menggaruk-garuk bekas tinta hitam yang meleleh dan menjadi tidak jelas. Ia penasaran, siapa nama keturunan Grey yang memiliki buku ini, dan juga kejadian sebenarnya. Gilbert merasa sangsi, karena halaman pertama dan kedua yang ia baca tampak seperti sebuah dongeng fiksi. Tapi mengapa jika hanya dongeng fiksi, keberadaan buku ini disembunyikan hingga seperti itu? Gilbert kembali mengusap sampul buku itu. Sebuah helaan napas lolos bersamaan dengan jemarinya yang kembali membuka lembaran buku itu. Tahun 1151, pertengahan bulan Februari. Tampaknya, cemooh yang ia terima dari orang-orang di sekitarnya jauh lebih menusuk mentalnya. Seolah, menyaksikan keluarganya digantung di hadapan khalayak ramai tidaklah cukup untuk mencincang hatinya menjadi serpihan menyedihkan. Bangsawan muda itu tetap harus menerima serangan cemooh dari sana-sini. Hatinya yang rapuh tidak bisa menahan seluruh beban cemooh di sekitarnya. Ia meninggalkan kediamannya yang megah, yang terasa begitu dingin karena hanya ia yang menempatinya sendirian. Ia pergi ke hutan, beristirahat pada sebuah bangunan tua yang telah reot, merintih dalam tangisannya yang memilukan. Ada yang mengatakan, bahwa luka hati seseorang sanggup melahirkan kebencian yang dalam. Bangsawan muda itu sepertinya mengalaminya. Hanya dalam beberapa menit usai tangisnya yang begitu menyayat hati, sorot matanya berubah total. Dingin, tajam, dan menyiratkan kemarahan yang besar. Dan sebuah penggilan menyejukkan hati menariknya, menggodanya dalam sisa asa yang tertinggal dalam hatinya yang menggelap. “Aku akan membantumu.” —suara itu berkata dengan lembut. Si bangsawan muda tergoda. Ia rela menyerahkan apapun, bahkan jika ia harus mati pada akhirnya. “Siapa pun manusia yang menolak takdirnya, maka tidak aka nada lagi kesempatan melewati gerbang surga. Apakah kau siap dengan hal itu?” —Kalimat perjanjian yang menjadi awal pengikatan sang bangsawan dengan sosok di luar nalar. Sang bangsawan muda tidak peduli. Bayangan surga telah sirna bersama dengan keluarganya yang digantung oleh pihak Kerajaan. Ia menerimanya, tanpa keraguan, tanpa sedikit pun rasa takut. Cahaya kemerahan berpendar, memunculkan sosok lain yang membungkuk kepada si bangsawan. Gilbert merasa merinding, pori-pori kulitnya timbul. Tiap kalimat yang tertulis di dalam buku itu terasa sangat familiar ketika ia membacanya. Seolah tengah membaca kehidupannya sendiri dalam versi yang lain. Kalimat yang diucapkan Nicolin ketika Gilbert hendak mengikat kontrak dengannya sama persis dengan yang tertulis di buku harian itu. Gilbert meraba bibirnya, mengeluarkan lidahnya sendiri dan menyentuh permukaan lidah itu. Tekstur kasar seperti bekas luka terasa di jemarinya. Bekas luka yang menjadi tanda kontraknya dengan Nicolin, yang pada waktu-waktu tertentu ketika Gilbert meneriakkan perintahnya akan bersinar-sinar terang dan tersa membakar seluruh rongga mulutnya. Apakah sebenarnya, leluhurnya di masa lalu pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang Gilbert lakukan? Mengikat kontrak darah dengan sesosok iblis demi  sebuah balas dendam. Gilbert berusaha menetralkan pikirannya, terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan dari beberapa kalimat saja tidak cukup valid. Gilbert membalik halaman berikutnya, hendak membaca catatan harian lainnya, tetapi tidak ada tulisan apa-apa di sana. “Huh?” Gilbert membolak-balik halaman berikutnya. Tidak ada apapun, hanya kertas kosong saja. “Buku setebal ini, hanya ada tiga halaman yang berisi catatan?” gumamnya bingung. Gilbert terus membuka-buka halaman lainnya, berharap menemukan catatan lain di buku itu namun nihil. Hingga ia membuka bagian tengah halaman buku tebal itu, hanya ada kertas kosong yang terpampang di hadapannya. Kenapa? Pikirnya kebingungan. Jika hanya catatan tiga halaman seperti ini, mengapa disembunyikan dengan sangat hati-hati seperti itu, diberikan kain sebagai pembungkus dan minyak khusus untuk menghindari rayap menggerogoti kertasnya. Gilbert yang kesal melemparkan buku itu hingga membentur dinding. Ia begitu penasaran dengan kelanjutan catatan itu usai menemui kalimat yang amat familiar untuknnya. Tapi mengapa selebihnya hanya ada kertas kosong. Ketika buku itu terjatuh, halaman terkahirlah yang terbuka. Gilbert mengernyit ketika melihat sekilas ada coretan membentuk sebuah gambar di halaman terakhir. Ia turun dari ranjangnya, mendekati buku itu untuk memeriksa gambar apa yang ada di sana. “Huh? Pisau? Atau pedang?” gumam Gilbert. Ia mengangkat buku tebal itu dan mendekatkannya pada jendela, untuk memperjelas gambar apa yang ada di sana dengan cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar kamarnya. Mengapa ada gambar pedang di halaman terakhir? Mengapa hanya ada tiga halaman yang tertulis catatan harian, mengapa buku itu disimpan dengan baik? Beragam pertanyaan berputar-putar di kepala Gilbert. Keberadaan buku itu sudah cukup membingungkan, dan isinya tidak kalah membingungkan. Mengapa? Siapa Grey yang sebenarnya memiliki buku itu dan apa maksud semuanya? Gilbert terdiam, ia kembali menyentuh dadanya. Lagi, serangan rasa tidak nyaman di hatinya kembali, menghantarkan hawa tidak enak yang cukup mengganggu. -----
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN