1. Sentuhan Menggetarkan
Calista menatap layar laptop yang sejak tadi hanya dia pandangi tanpa menyentuhnya. Desain gaun pengantin yang tengah dia kerjakan tampak buram di matanya. Bukan karena dia tidak bisa fokus, tetapi karena suara kakeknya terus terngiang di kepala.
“Kakek cuma ingin melihatmu menikah sebelum Kakek pergi, Lily. Itu saja permintaannya.”
Calista menutup laptopnya dengan helaan napas panjang. Di usia dua puluh enam tahun, pernikahan bukan lagi masuk dalam daftar prioritasnya. Bahkan sekadar memikirkannya saja membuat dadanya sesak. Kenangan pahit itu kembali berputar, tentang ayah-ibunya yang bercerai dengan penuh kebencian, kakak lelaki yang bersikap kasar pada istrinya, dan mantan kekasih yang menikahi sepupunya sendiri.
Pernikahan? Tidak, terima kasih.
Tetapi kakeknya menawarkan sesuatu yang tidak bisa dia abaikan, akses penuh ke dana perluasan butik dan gedung besar untuk showroom desainnya.
Calista memijat pelipisnya. Dia tidak ingin menikah, tapi butik adalah impiannya. Satu-satunya hal yang masih membuat hidupnya berarti.
Pintu ruangan diketuk buru-buru menyentak lamunannya. Calista mengembuskan napas panjang sebelum merespon.
“Masuk,” katanya.
Rita, salah satu pegawainya, masuk dengan wajah yang pucat dan mata yang sembab.
Calista memicing menatapnya, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Rita?
“Bu Calista ... saya butuh bantuan.” Suaranya serak, hampir putus.
Calista langsung menegakkan tubuh.
“Ada apa? Kamu kenapa?”
“Saya ... butuh pinjaman dana, Bu. Anak saya yang kedua ... dia dirawat di rumah sakit. Keadaannya buruk. Saya butuh uang untuk biaya rawat lanjut.” Rita menunduk, bahunya bergetar.
Calista terdiam. Dia selalu berusaha adil pada para pegawainya, tapi permintaan dana dalam jumlah besar bukan hal yang bisa dia berikan begitu saja. Terutama setelah beberapa orang memanfaatkan kebaikannya di masa lalu yang membuatnya tidak harus serta merta mengiyakan permintaan itu.
“Apa kamu tidak memiliki BPJS? Bukankah setiap keluarga memiliki asuransi semacam itu?” tanya Calista yang sedikit banyak mengetahui asuransi dari pemerintahan untuk rakyat kecil.
“Sebenarnya saya punya, Bu. Tapi khusus si bungsu ini kami tidak buat, ditambah asuransi kami juga sudah menunggak berbulan-bulan, sehingga tidak bisa digunakan.” Rita tampak meremas kedua tangannya, gugup.
“Suamimu? Dia bekerja kan?”
Rita mengangguk pelan. “Pekerjaannya hanya ikut orang, Bu. Penghasilan tidak seberapa, kadang pulang bawa uang, terkadang tidak sama sekali. Dia itu seperti tidak mau mencari kerja yang lebih baik hanya bertahan di satu tempat yang sama sekali tidak jelas. Itu sebabnya saya membantu mencari penghasilan dan beruntung bisa diterima di toko Ibu.”
Dari penuturan Rita mengenai suaminya, Calista menjadi paham mengapa banyak sekali wanita yang meminta cerai dari suaminya karena kurangnya tanggung jawab dan rasa kepedulian terhadap keluarga.
“Kamu bawa bukti medisnya?” tanya Calista tenang, meski ada nada khawatir.
Rita mengangguk cepat, mengeluarkan berkas dan menunjukkan foto putranya yang terbaring dengan selang oksigen.
Foto itu tampak baru, namun tetap saja … Calista butuh memastikan sendiri.
“Aku ikut ke rumah sakit,” ucap Calista akhirnya sambil berdiri.
Rita terbelalak, panik. “Bu ... tidak usah. Saya—”
“Aku ingin lihat kondisi anakmu. Ayo.”
***
Rumah sakit kelas tiga itu tidak terlalu besar, tapi penuh. Bau obat dan antiseptik menusuk hidung. Rita berjalan sejajar dengan Calista melewati lorong sempit menuju ruang inap. Penampilan mereka sangat berbeda jauh seperti langit dan bumi.
Anak laki-laki kecil, sekitar empat tahun, terbaring pucat dengan selang infus menembus kulit mungilnya. d**a Calista mencelos melihat tubuh kurus itu.
Dia langsung tahu Rita tidak berbohong.
“Aku akan bantu biaya pengobatan anakmu,” ucap Calista pelan.
Air mata Rita jatuh seketika. “Terima kasih, Bu ... saya ... saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi ...."
Calista menepuk bahunya. “Jaga anakmu. Urusan biaya, biarkan aku yang urus.”
Setelah memberi instruksi kepada perawat, Calista keluar dari ruangan itu, dan di sanalah kejadian yang tak terduga terjadi.
Hak sepatu lima belas sentinya yang selalu dia andalkan patah tiba-tiba.
“Ah—!” Tubuh Calista oleng.
Sebelum tubuhnya menyentuh lantai keras, sebuah tangan kuat menyambar pinggangnya, menopangnya dengan mudah.
Aroma sabun maskulin dan minyak mesin samar menempel di udara.
“Bernafsu sekali pakai sepatu setinggi ini, ya?” Suaranya berat, dingin, tapi tidak kasar.
Calista mendongak, dan terkesiap menatap sosok itu.
Pria itu ....
Tinggi.
Kulitnya kecokelatan.
Lengannya kekar dan berotot, uratnya terlihat jelas.
Wajahnya tegas dengan rahang yang kuat, dan mata gelap yang tajam.
Sengatan aneh menjalari tubuh Calista sesaat ketika tatapan mereka bertemu.
“Terima kasih ...,” ucapnya cepat, berusaha menarik diri.
Pria itu melepas pinggang rampingnya begitu saja, seolah sentuhan tadi tidak berarti apa-apa. Dia hanya mengangguk datar lalu berjalan pergi begitu saja, bahunya yang lebar membuat beberapa orang menyingkir hampir spontan.
Calista masih mematung. Tatapannya terus terpaku pada tubuh berototnya.
Siapa pria itu?
Saat Calista memperbaiki posisi sepatunya, suara Rita terdengar di ujung lorong.
“Mas! Mas Bima!”
Calista berpaling cepat.
Pria itu berhenti, pria yang baru saja memegang pinggangnya, lalu menoleh.
Rita menghampirinya, tampak lega dan gugup bersamaan.
Calista terpaku.
Dadanya menegang.
Mas?
Bima?
Itu ... suaminya Rita?
Dan tepat saat Bima menatap ke arah Calista lagi, tatapan gelap dan tak terbaca, dia merasakannya:
Dunia kecilnya baru saja berubah.
***
Calista berdiri mematung di dekat pintu saat nama itu kembali disebut.
“Pak Bima, ini hasil laboratoriumnya.”
Perawat itu menyerahkan berkas pada pria berjaket hitam itu, yang kini sudah berdiri sangat dekat dengan ambang pintu ruang inap tempat Calista berada. Pria itu menjawab dengan anggukan singkat, lalu menatap sekilas ke arah ranjang kecil di dalam ruangan
... tempat seorang anak laki-laki terbaring lemah.
Anak Rita.
Dada Calista mengencang.
Bima meletakkan hasil lab itu di tangan, lalu mendorong pintu lebih lebar. Calista spontan mundur setengah langkah, tak ingin ketahuan jika tadi sempat menguping.
Aroma tubuhnya, maskulin, tajam, seperti kayu basah menyeruak di indra penciumannya. Suaranya tenang, berat, terlalu tenang untuk seseorang yang anaknya sedang sakit parah.
Laki-laki ini sama sekali tidak seperti yang digambarkan Rita.
“Maaf,” katanya singkat pada Calista, menyadari keberadaannya.
Calista hanya mengangguk pelan. Dia belum melihat wajahnya dengan jelas tadi, tapi kini, dari jarak sedekat ini ... Dia bisa melihat rahang kokoh itu. Tatapan gelap yang dalam. Cara dia berdiri yang menunjukkan disiplin dan dingin.
Tidak tampak seperti suami pemalas yang hanya menghabiskan uang istri.
Tidak tampak seperti laki-laki tidak berguna yang digambarkan Rita.
Bima masuk ke ruangan, langsung menuju ranjang kecil dan menepuk ubun-ubun anak itu dengan lembut, sangat lembut, sampai-sampai Calista nyaris meragukan telinga dan matanya sendiri. Ada kasih sayang yang begitu jelas di sana.
Rita terisak di sisi ranjang.
Dia menoleh cepat begitu melihat Calista.
“Oh! Bu Calista! Ini ... suami saya ....” Napas Rita patah-patah. “Namanya Bima. Mas ini Bu Calista, atasan aku di toko.”
Pria itu akhirnya menoleh penuh.
Tatapan mereka bertemu. Lagi.
Gelap. Dalam. Tenang. Tapi ada kejutan kecil di sana, seolah Bima merasa pernah melihat Calista ... entah di mana.
Calista merasakan sesuatu turun perlahan di lambungnya.
Bukan karena ketakutan.
Tapi karena ada sesuatu pada laki-laki ini yang ... mengganggu ritme napasnya.
Rita melanjutkan bicara, seolah tidak sadar dengan ketegangan aneh yang muncul.
“Dia sudah aku ceritain semuanya kok, Mas, soal keadaan rumah tangga kita ....”
Calista menahan napas.
Bima tidak mengalihkan tatapannya. Masih menatap Calista. Ada sesuatu yang tidak terbaca di matanya.
“Benarkah?” suara Bima akhirnya terdengar. Pelan. Dalam. Tidak terdengar seperti seseorang yang tahu dirinya sedang dibicarakan buruk.
Calista membuka mulut, hendak menjawab diplomatis.
Namun sebelum sempat, krak—hak sepatu yang patah tadi semakin merosot, membuat Calista sedikit tersandung.
Bima spontan bergerak cepat, meraih lengannya.
Sentuhannya panas. Tegas. Menggenggam seolah itu hal paling natural di dunia.
Calista membeku.
Rita tidak sadar apa-apa.
Bima menatapnya dari jarak yang terlalu dekat.
Terlalu intens.
Terlalu tidak wajar untuk seorang pria yang seharusnya benci pada istrinya, itu kata Rita.
“Sebaiknya hati-hati,” gumamnya datar.
Lalu dia melepaskan tangan Calista perlahan, seperlahan seseorang yang menyadari adanya arus listrik halus di antara kulit mereka.
Calista menelan ludah.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Rita telah menceritakannya versi yang sangat berbeda.
Dan kini ... Calista mencium aroma kebohongan di udara.
Saat dia mencoba menegakkan tubuh, suaranya keluar sedikit bergetar.
“Rita ... soal bantuan biaya ... nanti aku—”
Bima tiba-tiba menatapnya.
“Bantuan apa?”
Calista tercekat.
Rita langsung panik. “B-bukan apa-apa, Mas! Aku cuma—”
Bima tidak mengalihkan tatapannya.
Dan Calista, untuk pertama kalinya merasakan firasat buruk yang merayap di punggungnya.
Laki-laki ini bukan sembarang suami.
Dan Rita ... jelas menyembunyikan sesuatu.
Dada Calista meletup tepat ketika Bima melangkah lebih dekat, menatap Calista seperti sedang membaca isi hatinya,
“Baru pertama kali kita bertemu, tapi aku rasa ... kamu sudah menilaiku sebelum tahu apa-apa.”
Calista terpaku.
Bagaimana bisa dia tahu?