2. Tawaran Gila

1345 Kata
Calista tidak langsung menjawab perkataan Bima. Pria itu menatapnya dengan cara yang membuat seluruh ruangan terasa mengecil. Di balik tatapan gelapnya, ada sesuatu yang mengintimidasi … tapi anehnya juga memicu hawa panas yang merayap pelan di tengkuk Calista. “Maaf,” ucap Calista akhirnya, berusaha menjaga suaranya tetap datar. “Aku tidak menilai siapa pun. Aku hanya ingin membantu.” Bima tidak membalas. Dia hanya menatapnya beberapa detik lagi, cukup lama untuk membuat Calista kehilangan fokus, lalu kembali menoleh ke arah putranya. Calista mengambil kesempatan untuk menarik diri dan keluar dari ruangan itu. Nafasnya terasa berat, bercampur bingung dan … terganggu. Bukan terganggu karena benci. Tapi karena Bima adalah tipe pria yang bisa, dan dengan mudahnya mengacaukan batasan yang selama ini coba dia bangun. Dan, itu berbahaya. Begitu sampai di luar, Calista langsung menyandarkan tubuh pada dinding rumah sakit yang dingin. Dia memejamkan mata sambil menenangkan diri. Seharusnya dia fokus pada satu hal, bantu biaya pengobatan anak Rita. Selesai. Tidak ada hal lain. Tetapi tatapan Bima, sentuhan sekilas di pinggang dan lengannya, nada suaranya yang berat … semuanya membuat otaknya kacau. Calista memaki pelan pada dirinya sendiri. “Apa-apaan sih … fokus, Calista!” Beberapa jam kemudian, setelah mengurus administrasi biaya rumah sakit dan memastikan putra Rita dirawat dengan baik, Calista mengemudi pulang ke apartemen. Hujan rintik-rintik membuat kaca mobil buram, sejalan dengan pikirannya yang tampak kusut sepanjang di rumah sakit tadi setelah ... pertemuannya dengan Bima. Suami Rita. Sesampainya di unit apartemennya, Calista langsung menyalakan lampu dan melepaskan sepatunya, yang satu masih patah. Sepatu sial, dia menyebutnya. Tidak lagi-lagi dia membeli merk itu, Calista mengingatkan dirinya. Pandangan matanya lalu jatuh pada brosur gedung baru milik investor yang selama ini dia impikan … brosur yang ditinggalkan kakeknya di mejanya pagi tadi. Uang. Ekspansi butik. Kesempatan emas. Dan pikiran gilanya mulai muncul. Jika dia menikah, dia dapat semuanya. Tetapi menikah dengan siapa? Dia tidak mau pacaran, apalagi membuka hati. Dia bahkan tidak mau terlibat dalam urusan asmara dengan lawan jenisnya. Sudah cukup ibu dan kakak iparnya yang mendapat perlakuan buruk dari makhluk berjenis laki-laki. Tapi, dia hanya membutuhkan status. Seseorang yang realistis. Seseorang yang bisa dia bayar. Seseorang yang tidak akan menuntut cinta. Seseorang … seperti Bima. Calista langsung memukul kepalanya sendiri. “Gila! Itu suami orang, Calista!” Tapi gambaran wajah anak Rita yang pucat membuat dadanya mencelos. Rita membutuhkan uang. Uang yang banyak. Dan Bima … terlihat seperti seseorang yang terdesak tapi tetap berusaha berdiri tegak meski bahunya memikul beban dunia. Sosok pria kuat seperti itu … tidak akan mudah dibeli. Tapi jika membeli berarti menyelamatkan anaknya? Calista tercekat. “Tidak. Hentikan pikiran bodohmu itu sekarang.” Namun semakin dia mencoba menepis, semakin ide itu terasa masuk akal. Dia butuh suami palsu. Rita butuh uang. Bima butuh bantuan besar yang tidak bisa dipenuhi pekerjaannya sekarang. Dan tidak ada yang akan benar-benar dirugikan … asal semuanya dikontrak. “Tidak mungkin mereka mau. Mereka tidak mungkin mau,” ucapnya seperti mantra. Calista menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tapi jauh di dalam hatinya … keputusan itu sudah mulai mengakar. Besok dia akan kembali ke rumah sakit. Bukan hanya untuk melihat kondisi anak Rita, tapi untuk memulai hal gila nomor satu dalam hidupnya. Menawarkan sebuah pernikahan. Pada seorang pria yan bahkan belum sempat dia kenali. Dan, lebih buruknya lagi pria itu adalah suami orang, suami pegawainya sendiri. Dan pria itu … pria itu sudah mengguncang dunianya sejak detik pertama menyentuh pinggangnya. “Astaga, Calista kamu benar-benar gila!” Calista berdiri dari duduknya dan berjalan masuk ke kamar. Lebih baik dia mandi dan mendinginkan kepalanya dari pikiran-pikiran kotor itu. *** Calista berada di ruangannya siang itu, dia tahu jika Rita masih izin mengurus anaknya yang sakit. Dia sempat mengirim pesan pada Rita untuk memindahkan anaknya ke ruang rawat kelas satu agar lebih nyaman, dan balasan wanita itu membuatnya menelan ludah. Suaminya menolak. Bima dengan segala harga dirinya. Dia tampak mondar-mandir di ruangannya yang seluas lima kali lima meter itu. Dia harus mengatakan keinginannya pada Rita, tidak bisa ditunda lagi. Calista segera menyambar tas tangannya dan keluar dari ruangan kerjanya. “Vi, aku keluar dulu ya, kalau ada yang cari bisa jadwalkan besok.” “Baik, Kak Cally.” Calista segera menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman depan butiknya. Dia mengenakan kaca mata hitamnya dan segera melesat meninggalkan halaman butik menuju ke rumah sakit. Mobil berhenti di parkiran rumah sakit umum daerah. Bukan rumah sakit mewah yang biasa dia kunjungi dengan keluarganya. Calista mengenakan sepatu wedgesnya dan tidak akan khawatir haknya patah atau terlepas. Suara ketukan wedgesnya menggema di koridor rumah sakit yang siang itu cukup ramai. Calista sampai harus menutup hidungnya karena mencium aroma tak sedap dari setiap orang yang dilewatinya. Hingga akhirnya dia tiba di ruang kamar kelas tiga di mana anak Rita dirawat. “Rita.” Rita yang sedang mengobrol dengan putranya tampak terkejut dengan kehadiran bosnya. “Bu Calista!” Calista tersenyum, lalu meletakkan keranjang buah di atas nakas sebelah ranjang. “Halo, bagaimana keadaannya?” sapanya pada bocah laki-laki itu. Anak itu hanya memandangi Calista dengan kening mengerut. “Juno, ini Ibu Calista, dia ....” Calista menyentuh lengan Rita, memintanya untuk tidak mengatakan apa-apa. “Bisa bicara sebentar?” “Bisa, Bu.” “Aku tunggu di luar, ya,” katanya seraya melangkah keluar dari ruangan kelas tiga yang cukup sumpek. Rita berbicara pelan dengan putranya. “Ibu keluar sebentar ya, temui Ibu tadi, Juno baik-baik di sini dulu, nanti ibu balik lagi.” “Jangan lama-lama.” “Tidak lama. Sebentar saja. Ya, ganteng.” Juno mengangguk. Rita mengusap kepala Juno lembut setelah itu melenggang keluar menyusul Calista. Calista tampak berdiri memandangi taman rumah sakit yang cukup terik di tengah hari. Hatinya sedikit gelisah dengan apa yang akan disampaikannya pada Rita. “Bu.” Mendengar suara di belakangnya, Calista segera menoleh dan mendapati Rita yang tersenyum ramah padanya. “Sekali lagi terima kasih karena Ibu sudah membantu membiayai pengobatan anak saya, tapi tawaran untuk pindah ke kelas satu, sepertinya itu sangat berlebihan. Jadi, saya tidak bisa menerimanya.” Calista tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Rita. Tapi, kedatangan aku ke sini, aku mau bahas sesuatu yang penting.” “Oh, apa itu, Bu?” tanya Rita yang kembali gugup. Calista tidak langsung mengatakannya, ternyata ada ketakutan besar yang tiba-tiba melingkupi dirinya. Berulangkali dia mengembuskan napas yang terasa sesak dalam dirinya. “Rita,” panggil Calista. “Iya, Bu?” Calista menelan ludah, tangannya dingin. “Aku punya tawaran untuk kamu ... eng, maksud aku, untuk suami kamu.” Rita berkedip cepat. “Mas Bima? Maksud Ibu ... tawaran pekerjaan?” Calista menggeleng perlahan. “Tidak. Ini ... sedikit berbeda.” Rita menunggu. Bahunya tegang. “Aku ingin ... suami kamu menjadi suami kontrak aku.” Wajah Rita langsung berubah pucat. Matanya melebar, bibirnya terbuka tanpa suara. “A-Apa ... maksudnya, Bu?” “Pernikahan palsu,” lanjut Calista cepat, takut Rita salah paham. “Status saja. Tanpa hubungan apa pun. Aku bayar semua biaya, termasuk pengobatan Juno dan—” “Ibu ... meminta suami saya ... bersandiwara menjadi suami Ibu?” Suara Rita bergetar. “Kenapa suami saya? Ada banyak pria lajang di luar sana ....” Calista menarik napas dalam. “Aku butuh seseorang yang tidak akan menuntut cinta atau terikat secara emosional. Dan Bima ... terlihat seperti orang yang realistis.” Rita memejamkan mata. Kepalanya menggeleng lemah. “Bu ... ini ... tidak benar.” Suaranya pelan, hampir berbisik. “Mas Bima suami saya. Ayah anak saya. Saya ... saya tidak tahu harus berkata apa.” “Aku mengerti,” jawab Calista cepat. “Kalau kamu menolak, itu wajar. Aku tidak akan memaksa. Dan aku minta maaf kalau ini menyinggung perasaanmu.” Rita menatapnya dalam-dalam. Ada luka. Ada marah. Ada kebingungan. “Tolong beri aku waktu,” ujar Rita akhirnya. Napasnya berat. “Saya ... tidak bisa menjawabnya sekarang.” Calista mengangguk. “Tentu. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan.” Dia lalu berbalik. Tumitnya mengetuk lantai koridor rumah sakit, meninggalkan Rita yang masih berdiri kaku di tempatnya, wajah tampak pias, pikiran berputar, hati porak-poranda. Tawaran itu seperti bom.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN