3. Harga Diri & Putus Asa

1408 Kata
Suasana ruang inap kelas tiga itu terasa berbeda ketika Rita kembali masuk dengan perasaan campur aduk antara marah, putus asa, dan tak percaya. Menurutnya, itu adalah hal paling gila yang pernah dia dengar seumur hidupnya. “Menawar suamiku untuk dijadikan suami kontrak!” Yang benar saja! Rita tak habis pikir dengan keinginan bosnya. Padahal wanita itu cantik dan menarik, pastinya akan banyak pria yang menyukainya. Tapi kenapa harus suaminya? Rita menghela napas panjang. Juno sudah tertidur, napasnya berat karena demam yang belum turun. Perawat baru saja keluar, meninggalkan ruangan yang penuh pasien dan aroma obat. Rita berdiri lama di sisi ranjang memandangi putranya yang pucat. Sudah hampir satu Minggu Juno dirawat dan dia merasa sangat terpukul. Air matanya hampir jatuh, tapi dia mencoba untuk menahannya. Namun tawaran dari Calista cukup menggiurkan, dia tidak tau berapa banyak uang yang akan dia trima dan kemungkinan uang-uang itu akan mampu menutupi hutang-hutang yang selama ini mencekik keluarga besarnya. Dia harus bicara pada suaminya. Sekarang. Sebelum itu Rita menghubungi adiknya untuk menggantikan sebentar menunggui Juno. Sementara dia akan pulang untuk berbicara dengan suaminya mengenai tawaran dari bosnya. Bima pulang tidak lama kemudian setelah dia menghubunginya tadi dan mengatakan ada hal penting. Bima meletakkan plastik berisi bubur dan obat yang baru dia tebus dari apotek ke atas meja makan. Tubuhnya penuh keringat, baju kerjanya masih berbau minyak dan bensin. “Bagaimana keadaan Juno? Apa sudah lebih baik?” tanyanya seraya meraih gelas berisi air di atas meja yang sudah disiapkan oleh Rita. “Demamnya masih tinggi.” “Lalu kenapa kamu di sini dan memintaku untuk pulang?” tanyanya seraya meletakkan gelas ke atas meja. “Kita harus bicara,” potong Rita. Bima menatap istrinya. “Tentang apa?” Rita menggigit bibirnya. “Tentang Ibu Calista.” Mendengar nama itu, wajah Bima mengeras. “Kamu bilang dia sudah bantu bayar rumah sakit. Apa kamu mau minta aku temui dia buat bilang terima kasih?” “Bukan itu.” Rita menelan ludah, jantungnya berdetak cepat. “Ada hal lain. Dia ... menawarkan sesuatu.” “Menawarkan apa?” tanya Bima menyipitkan matanya. Rita terdiam. Lama. Bima tak sabaran ingin tau apa yang hendak dibahas oleh istrinya mengenai Calista. Sampai akhirnya Rita berkata pelan, “Dia ingin kamu jadi suami kontraknya.” Untuk beberapa detik, Bima hanya menatap istrinya. Diam. Hening. Hampir seperti tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Apa?” tanyanya dengan suara seperti desisan. “Ibu Calista ... dia butuh suami bohongannya, untuk alasan tertentu. Dia bilang ... dia bisa bayar mahal.” Rahang Bima mengeras. Tiba-tiba saja dia menggebrak meja sehingga barang-barang yang ada di atas meja bergerak dan hampir jatuh. Rita terkejut. “Rita. Kamu bercanda?” “Aku serius.” Rita menatap suaminya dengan berani. Bima berdiri begitu cepat hingga kursi bergeser keras. “Apa-apaan itu?” Suaranya meninggi. “Dia kira aku apa? Laki-laki yang bisa dibeli?” Dia merasa terhina dengan tawaran itu. Seolah harga dirinya bisa dibeli dengan nominal rupiah. Rita memejamkan mata, menahan rasa bersalah yang menyengat d**a. “Mas ... aku tahu ini gila. Aku tahu. Tapi dia bilang dia bisa membayar banyak. Kita ... kita butuh uang itu.” Bima membentak, “Aku gak akan jual diri, Ta! Tidak akan!” “Ini bukan jual diri!” Rita ikut meninggi. “S-se ... hanya butuh status. Dia gak butuh Mas! Dia gak akan sentuh Mas, gak akan minta apa-apa!” “Kamu dengar diri kamu sendiri?” Suara Bima pecah. “Ini tetap saja ... gila! Aku suami kamu. Ayah anak kamu!” Rita mengusap wajah, bahunya bergetar. “Mas pikir aku nggak pusing? Juno sakit. Utang rumah sakit menumpuk. Mau minjem ke siapa lagi? Orang tua kita juga pas-pasan. Sementara Ibu Calista bisa bantu semuanya dalam sehari!” “Aku kerja, Ta! Aku cari uang!” Bima menepuk dadanya keras. “Aku masih bisa usaha!” “Usaha sampai kapan?!” Rita menahan air mata. “Juno butuh uang SEKARANG!” Bima tercekat. Rita melanjutkan, suaranya pecah, “Aku ... aku cuma ingin anak kita sembuh. Aku gak tega lihat dia terbaring di ranjang rumah sakit tak berdaya.” Untuk pertama kalinya, Rita menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena putus asa. Bima terpaku melihat air mata itu. Dia ingin memeluk istrinya. Ingin menenangkannya. Tapi kemarahan dan rasa terhina itu masih terlalu besar di dadanya. “Rita ....” Rita menggeleng cepat, menyeka wajahnya kasar. “Aku cuma ... minta Mas dengar dulu. Menolak pun tidak apa, aku ... aku cuma gak tahu harus gimana lagi. Hutang kita di mana-mana, sementara kebutuhan kita semakin bertambah banyak.” Bima mengepalkan tangan kuat-kuat. Urat-urat di lengannya menegang. “Aku ... tidak akan menjadi suami bayaran,” katanya pelan, tapi tegas. “Harga diri aku mungkin gak berarti apa-apa di mata orang lain, tapi itu satu-satunya yang tersisa. Dan aku gak akan jual itu bahkan kalau aku harus kerja siang-malam.” Rita menunduk, bahunya jatuh. Dia tahu, sangat tahu malah kalau Bima tidak akan menerima tawaran gila itu begitu saja. Tapi kenyataan tetap menggantung di udara, menambah berat napas mereka, Anak mereka tetap butuh uang. Banyak. Dan cepat. Dia tidak mungkin bergantung pada bantuan dari Calista terus menerus. Kecuali, ya, kecuali suaminya menerima tawaran itu. Ketika Bima keluar dari rumahnya malam itu, pintu tertutup pelan. Rita terisak tertahan. Dan jauh dalam hati Bima, meski dia berkata tidak. Kata-kata Rita terus menghantam kepalanya seperti palu, “Juno butuh uang sekarang ....” *** Calista baru saja selesai meeting ketika assistennya mengetuk pintu dan memberi tahu bahwa ada seorang laki-laki bernama Bima Anggara ingin menemuinya. Tidak ada janji. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Calista sempat terdiam sejenak. Dia berani datang? Raut wajahnya tak terbaca, tapi jantungnya jelas berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Kedatangan pria itu sungguh mengejutkan dirinya. “Biarkan dia masuk,” ujar Calista akhirnya. Pintu ruangannya terbuka. Bima masuk dengan langkah tegas. Tubuh terlihat tampak lelah, tapi mata jernihnya memancarkan ketegasan yang tidak bisa dianggap ringan. Seragam kerjanya masih menempel, sedikit kusut, menandakan dia datang langsung setelah pulang kerja. Sekaligus menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Calista menegakkan tubuhnya, tapi dia bisa merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang. “Aku tidak menyangka kamu akan datang. Silakan duduk,” ucapnya ramah. Bima tidak duduk. Dia berdiri di depan meja, menolak tawaran duduk wanita di depannya. Calista bisa melihatnya jika kedua tangan Bima tampak terkepal di sisi tubuhnya. “Aku cuma ingin memastikan satu hal,” ucapnya pelan namun tajam. “Tawaranmu ... tidak akan pernah terjadi.” Calista menautkan alis, tapi tidak tersinggung. “Oh? Jadi itu yang membawamu kemari untuk mengatakannya langsung.” “Karena aku tidak mau keluargaku terus merasa diinjak-injak,” jawab Bima. “Apa pun alasannya, aku tidak akan sudi menjadi suami bayaranmu. Aku bukan laki-laki yang bisa dibeli dengan uangmu.” Calista menghela napas kecil. “Aku tidak memaksa. Itu hanya—” “Bukan itu masalahnya,” potong Bima, nadanya meninggi sedikit. “Masalahnya ... kamu datang ke istriku tanpa memikirkan perasaan kami. Kamu membuat Rita merasa kecil dan rendah. Dan aku tidak bisa menerima itu. Itu penghinaan.” Ada jeda. Tatapan Calista melembut sedikit, tapi bukan karena bersalah, lebih karena terkejut mendengar ketegasan Bima yang jarang dia temui pada pria kehidupan kelas bawah. Dan, kalau boleh jujur, dia sangat terpesona dengan ketegasan pria itu. Tapi, Calista ingin mencoba memancing emosi pria itu lagi. “Tapi, istrimu tidak terlihat keberatan,” balas Calista datar. “Dia bahkan—” “Jangan libatkan Rita lagi.” Suara Bima merendah namun mengeras. “Kalau kamu ingin berbicara tentang tawaran gila itu ... bicara padaku. Bukan dia.” Calista mengamati Bima lama. “Kamu sedang mengancamku?” Bima menatap balik tanpa gentar. “Kalau perlu, ya. Jangan ganggu keluargaku lagi. Aku datang hanya untuk itu.” Ruangan menjadi sunyi. Calista akhirnya tersenyum tipis, bukan senyum hangat, tapi senyum seseorang yang sedang menilai lawannya. “Baik,” katanya pelan. “Aku tidak akan memaksamu, Bima. Kamu sudah menyampaikan penolakan, itu sudah cukup. Anggap saja pembicaraan ini selesai.” Bima mengangguk keras. “Bagus.” Dia berbalik, membuka pintu, lalu sempat menoleh sekali lagi. “Dan jangan pernah buat istriku merasa rendah diri lagi.” Setelah itu dia pergi dan sedikit menutup pintunya dengan keras. Calista menatap pintu yang tertutup. Detik demi detik berlalu ... lalu dia bersandar ke kursinya. Ada satu hal yang akhirnya dia sadari, Laki-laki itu tidak bisa dibeli ... tapi dia bisa dipatahkan oleh keadaan. Dan Calista tahu waktu akan membuktikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN