4. Kejatuhan Bima

1317 Kata
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan panas antara Bima dan Calista yang tanpa sepengetahuan Rita. Hidup kembali berjalan seperti biasa, atau setidaknya, begitulah yang Bima coba yakini. Dia bangun pagi, berangkat kerja dengan wajah lelah namun tetap tegar, lalu pulang larut malam demi menutup kebutuhan rumah tangga yang tak pernah cukup. Rita mencoba bersikap biasa, tapi kecemasan terlihat jelas di setiap geraknya. Begitu juga dengan Calista yang kembali sibuk dengan beberapa desain pakaiannya. Rita sudah kembali masuk kerja, tapi Calista selalu menghindarinya, atau Rita sendiri yang berusaha untuk tidak bersinggungan dengan bosnya. Gagal mendapatkan calon suami bohongannya, Calista sama sekali tidak berkeinginan untuk mencari yang lain. Karena rencananya muncul saat dia bertemu dengan Bima. Tidak mau memungkiri bahwa sesuatu terjadi pada dirinya terhadap pria itu, karena itu faktanya. Dia telah terpesona pada pria yang adalah suami orang. Ini adalah pengakuan paling memalukan dan berhati-hati agar hal itu tidak bocor ke publik. Tapi dia sudah tidak memikirkan hal itu lagi setelah mendapat penolakan dari pria itu atas penawarannya. Satu siang saat Calista telat keluar makan siang, saat dia memeriksa etalase tanpa sengaja berpapasan dengan Rita yang sedang baru saja kembali ke butik setelah dari makan siang. “Hai, Rita, bagaimana kabar Juno?” tanyanya tanpa canggung. “Um, Juno sudah pulang lusa lalu, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu. Jika bukan karena ibu entah bagaimana nasibnya.” Calista tersenyum hangat. “Syukurlah kalau begitu, Rita. Aku ikut senang mendengarnya.” Setelah mengatakan itu, Calista kembali masuk ke ruangannya. Meninggalkan Rita yang berdiri di depan etalase. Dia kembali ingat dengan tawaran Calista beberapa hari lalu, dan sekarang hubungan mereka menjadi kian berjarak. Seharusnya dia resign saja, tapi mengingat kebaikan yang telah diberikan oleh Calista, Rita tau diri dan tidak mau bersikap seenaknya. Jadi dia tetap bertahan bekerja di butik yang upahnya cukup membantu perekonomian keluarga kecilnya bersama Bima dan dua anak mereka. *** Bima baru saja sampai di tempat kerjanya setelah melakukan storing di luar. Saat dia melepas helm seketika ponselnya bergetar keras di saku celananya. Tangannya merogoh benda itu dan tampak nama adiknya muncul di layar. “Bang Ayah ... Ayah kecelakaan.” Suara di seberang sana pecah, panik, dan tidak jelas. Dunia Bima seakan berhenti selama sepersekian detik, dia kembali terkoneksi. “Apa? Di mana sekarang?” “Rumah sakit. Dokter bilang ... kondisinya parah. Abang cepat datang ke sini!” Bima yang masih berada di atas motornya, tanpa memikirkan apa pun lagi kembali menyalakan mesinnya dan melesat pergi. Sesampainya di Rumah Sakit dia langsung menuju ke UGD karena resepsionis mengatakan jika korban kecelakaan dibawa ke sana dan masih dalam penanganan medis. Rita sudah menangis ketika Bima muncul dengan wajahnya yang panik. Rita tak ubahnya, wajahnya pucat seperti kehilangan darah. “Mas ... Ayah di ruang ICU. Kita ... kita harus bayar deposit dulu. Dua puluh juta.” Bima merasakan sesak sampai ke tulang. Dua puluh juta? Sedangkan mereka bahkan kesulitan membayar rumah sewa untuk bulan depan. “Aku akan coba bicara ke bagian administrasi,” ujar Bima, meski suaranya nyaris habis. Dia pergi, mencoba meminta keringanan, mencicil, apa saja yang bisa dilakukan. Namun kalimat yang dia terima sangat membuatnya hampir lemas tak bertulang. “Maaf Pak, aturan rumah sakit tidak bisa diubah.” Bima menghubungi beberapa teman dan kerabat tapi tidak ada satupun yang bisa dimintai bantuan. Semua pintu seperti menutup di depannya, tanpa peduli dengan kesusahan yang sedang dialaminya. Dia mencoba ke orang yang cukup dekat dengannya, tapi dia ingat jika sudah terlalu banyak menyusahkannya. Rita menghampiri Bima yang tampak menunduk di kursi tunggu. “Bagaimana, Mas? Dapat?” Kepala Bima menggeleng pelan. “Masih mencoba, semoga saja ada yang mau memberi pinjaman.” Entah mengapa Rita tidak yakin dengan ucapan Bima. “Kita sudah banyak berhutang, Mas,” bisik Rita dengan suara pecah. “Aku takut ... aku takut Ayah nggak tertolong.” Bima menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia ingin marah. Ingin menangis. Tapi yang keluar hanya diam ... dan rasa gagal sebagai anak laki-laki. Di saat ayahnya yang menjadi panutannya membutuhkan pertolongan, dia malah tidak bisa berbuat apa-apa. “Mas ... tolong pikiran.” Rita menarik lengan suaminya, suaranya bergetar. “Terimalah tawaran itu. Kita perlu uang, Mas. Butuh sekarang.” “Tidak, Rita.” Bima menolak cepat. “Aku tidak mau jadi laki-laki bayaran. Harga diriku—” “APA HARGA DIRI BISA MENYELAMATKAN AYAHMU?” Teriakan Rita pecah, membuat beberapa orang menoleh. Dia langsung menutup mulutnya, menangis lebih keras. “Maaf ... aku cuma … aku sudah nggak tahu harus bagaimana lagi menghadapi semua kenyataan ini, Mas. Rasanya sangat menyesakan menjadi orang miskin.” Bima merasakan dadanya hancur sedikit demi sedikit. “Mas ....” Rita menggenggam tangannya, memohon. “Ini bukan soal kita. Ini soal Ayah. Tolonglah.” Bima menggeleng, tapi kali ini lebih lemah. Sekujur tubuhnya seperti tenggelam dalam lumpur yang semakin dalam. Kenyataan hidupnya yang pahit semakin erat melilit lehernya. Perih dan menyakitkan. Tiba-tiba saja bayangan wajah wanita itu muncul di pikirannya dan tersenyum tipis. “b*****t!” Rita tersentak mendengar suara umpatan suaminya. Tiga jam berlalu. Waktu berjalan. Biaya semakin bertambah. Ayah mereka masih terbaring kritis. Rita memandang Bima yang duduk diam seperti mayat hidup. “Mas ... aku yang akan bicara.” “Apa?” Bima menatap istrinya tegang. “Aku akan menemui Calista.” Bima langsung berdiri, menahan lengannya. “Jangan, Rita.” Sepasang matanya menggelap. “Kalau Mas masih mau mempertahankan harga diri Mas ... terserah. Tapi aku tidak mau kehilangan Ayah.” Bima menatap istrinya, wanita yang selama ini hidup bersamanya dalam pahit dan getir. Matanya sudah bengkak. Wajahnya penuh rasa takut. Dan saat itulah ... Bima mengerti, Harga diri seorang laki-laki tidak ada artinya saat keluarganya sekarat. Baru kali ini dia merasa muak menjadi seorang yang tidak memiliki apa-apa. Perlahan, genggaman Bima melemah. Rita pun pergi. Bima menunduk ... dan tidak mengejar istrinya yang hendak menjual harga dirinya pada bosnya sendiri. *** “Onty kapan ke sini? Ola kangen Onty.” Calista tertawa kecil mendengar suara keponakannya. “Nanti onty ke rumah, ya, kalau sekarang lagi sibuk.” “Janji, ya, bawain dress buat Ola kan?” “Dressnya belum selesai dibuat, Sayang. Nanti.” “Hm.” Calista tertawa lagi, membayangkan wajah keponakan yang cemberut karena tidak dapat yang diinginkannya. “Sudah dulu, ya, nanti kita ketemu di rumah dan Onty bakal bawain es krim yang banyak buat Ola, mau kan?” “Mau! Mau!” “Nanti, ya, sekarang Onty kerja dulu. Dah, kesayangan Onty. Muah!” Calista menutup ponselnya. Obrolan ringan itu sedikit menenangkan pikirannya. Setelah meletakkan telepon, dia kembali fokus pada desain barunya. Saat dia sedang fokus membuat pola, terdengar suara ketukan keras di pintu ruangannya. “Masuk saja,” sahutnya tanpa mengangkat kepalanya dari gambar. Kali ini dia mendengar suara pintu yang dibuka, lalu ditutup kembali. Dia mengangkat kepalanya dan sedikit terkejut melihat sosok yang masik ke ruangannya. “Rita,” gumamnya lirih. Rita berdiri di depan meja kerjanya dengan wajah basah air mata, napas tersengal, dan tangan gemetar. “Bu Calista ... saya ... saya datang untuk—” Calista berdiri, menatapnya tajam namun bukan kemarahan atau kebencian. “Ada apa?” Rita menelan ludah, mencoba berbicara meski suaranya pecah berulang kali. “Ayah kami ... kecelakaan. Kami butuh biaya besar ... dan ... Mas Bima ... dia sudah berusaha tapi ....” Air matanya jatuh lagi. “... kami tidak punya jalan lain.” Calista menatap Rita tanpa berkedip. Rita menggigit bibirnya lalu berkata dengan suara paling hancur yang pernah dia ucapkan seumur hidupnya. “Kami ... setuju. Mas Bima menerima tawaran anda.” Ruangan menjadi sepi. Tidak ada suara, tidak ada gerakan, hanya dua perempuan dari dua dunia berbeda saling memandang. Yang satu dengan keterkejutan, yang lainnya dengan emosi tertahan dan rasa lelahnya. Calista perlahan menarik napas. Jantungnya berdetak keras. Karena dia sama sekali tidak menyangka akan mendapat hal mengejutkan seperti ini. Pintu takdir baru saja terbuka. Dan Calista memilih untuk melangkah masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN