Transfer itu berlangsung hanya dalam hitungan detik.
Calista menatap layar ponselnya, memastikan angka yang dikirimkan sesuai dengan yang dibutuhkan untuk deposit rumah sakit. Begitu tombol send ditekan, hidup seseorang resmi berubah, meski bukan hidupnya sendiri.
Rita mengusap wajahnya yang basah, berkali-kali mengucapkan terima kasih. Tapi Bima ... hanya berdiri di belakang istrinya dengan tatapan mata kosong, rahang terkunci, seperti menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar terima kasih atau gengsi, harga dirinya sebagai seorang suami runtuh pelan-pelan.
Calista tahu tatapan itu.
Tatapan seorang laki-laki yang tersudut oleh keadaan.
Dan itulah yang membuat pertemuan hari itu terasa jauh lebih berat dari yang dia perkirakan.
Setelah mendengar penjelasan Rita yang mengeluh dan lagi-lagi kesulitan untuk membayar deposit ruang ICU, akhirnya mereka mendatangi rumah sakit untuk melihat keadaan yang sebenarnya terjadi.
Calista bertemu dengan Bima lagi, dalam keadaan yang cukup canggung setelah penolakan terhadap tawarannya dulu. Tapi kini semua berubah, Bima tidak bisa mengelak lagi dan dengan sangat terpaksa menerima tawaran yang sangat menjatuhkan harga dirinya dan semua itu dilakukan demi keselamatan ayahnya.
***
Restoran itu sunyi. Sebuah private room dengan pencahayaan hangat dan dinding kaca gelap. Pelayan hanya mengantar minuman dan keluar tanpa banyak bicara.
Calista duduk tegak, berhadapan dengan Rita dan Bima yang diselimuti aura tegang.
Rita tampak gugup, memegang tangan suaminya terlalu erat di bawah meja.
Bima hanya memandangi meja, seolah menghindari kenyataan yang sedang menunggu di depan.
Calista membuka pembicaraan lebih dulu.
“Sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan satu hal. Ini benar-benar keputusan kalian berdua, dan tidak ada paksaan.”
Rita menelan ludah. “Ya, ini keputusan kami. Kami sudah sepakat.”
Bima tidak menjawab. Tapi dari cara jemarinya yang mengepal kuat di atas meja, Calista tahu pria itu hanya menahan diri agar emosinya tidak meledak.
“Baik,” ujar Calista pelan. “Maka aku akan jelaskan syarat untuk kesepakatan pada bulan pertama.”
Nada suaranya berubah: profesional, dingin, dan teratur. Seperti sedang menutup kontrak bisnis multimiliar.
“Dalam bulan pertama, aku akan membayar seratus juta.”
Rita langsung menunduk dalam-dalam, bahunya bergetar halus. Sementara Bima mengangkat wajahnya untuk pertama kalinya, matanya membara dengan amarah yang tertahan, menatap Calista bagai ingin menembusnya.
“Sebagai gantinya ....” Calista melanjutkan, “…Bima perlu menyediakan waktunya empat hari dari tujuh hari untuk bersamaku.”
Rita memejamkan mata, berat. Haruskah dia merelakan suaminya bersama wanita lain?
Bima masih menatap Calista tajam.
“Empat hari?” Suaranya rendah.
“Ya,” jawab Calista, sama dinginnya. “Aku butuh keberadaan seorang suami di beberapa acara keluarga dan beberapa situasi pribadi.”
Rita menggigit bibir. “Lalu ... syarat lainnya?”
Calista menyentuh layar tablet di depannya dengan ujung jari yang terawat. “Pernikahan kalian tidak boleh diketahui publik, setidaknya oleh orang-orang terdekatku, terutama keluarga besarku. Selama tiga bulan ini, Bima akan tampil sebagai suamiku, seutuhnya.”
Rita mengangguk cepat. “Baik ....”
“Tapi kami juga punya syarat,” lanjutnya, suara Rita sedikit bergetar.
“Oh, ya? Tentu, silakan,” ucap Calista tenang.
Rita tampak menegang. “Tidak ada sentuhan
... atau hubungan intim antara anda dan suami saya.”
Calista menatapnya lama, tidak bereaksi.
Bima menautkan kedua alisnya menatap wanita berwajah cantik di depannya yang sama sekali tidak dia mengerti.
Rita melanjutkan kalimatnya lagi dengan buru-buru, “Ini hanya ... perjanjian. Bima cuma meminjamkan status. Tidak lebih. Dan satu lagi, Bima harus tetap bisa pulang kalau dibutuhkan. Anak kami ... kadang kondisinya turun-naik. Mereka membutuhkan ayahnya.”
Suasana menegang.
Kalau saja Calista bukan dirinya, mungkin dia sudah menertawakan syarat itu. Tidak ada sentuhan? Untuk seorang suami bayaran? Sulit dipercaya.
Dia tersenyum tipis. Senyum yang tidak sampai ke mata. “Baik. Aku hargai syarat itu.”
Bima terlihat terkejut dengan mudahnya Calista menyetujui.
Tapi dalam kepalanya, Calista tahu.
Tidak ada perjanjian yang benar-benar bisa menjaga batasan ketika perasaan sudah ikut masuk.
Dan dia tidak yakin Rita memahami betapa rapuhnya batas itu. Apalagi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan tidak bisa dihindari.
“Perjanjian ini akan berlangsung tiga bulan, atau bisa saja lebih.” Calista menutup dokumen tampilan.
“Dan hanya aku yang bisa menghentikannya kapan pun aku merasa perlu.”
Rita mengangguk mantap. “Kami ... setuju.”
Bima tidak bersuara. Tapi bahunya jatuh sedikit, tanda lelaki itu sudah kalah dari keadaan. Kini harga dirinya berada dalam genggaman wanita cantik dan penuh dengan ambisi di depannya.
Calista memandang pasangan suami istri itu bergantian.
“Kalau begitu,” katanya pelan.
“Mulai malam ini ... kalian berdua resmi masuk ke hidupku.”
Ada jeda.
Sunyi.
Detik itu, Calista sadar, dia telah membuka pintu ke sesuatu yang tidak bisa dia tutup kembali.
***
Tangan Rita gemetar halus saat melihat layar ponselnya. Angka di saldo rekeningnya telah bertambah tiga digit. Uang seratus juta itu terasa seperti bongkahan timah panas di tangannya, memberi solusi sekaligus membakar nurani.
Lalu sebuah pesan singkat dari Calista muncul. [Besok pagi, minta Bima datang ke butik.]
Rita menoleh kepada suaminya yang terduduk kaku di sampingnya. Bima menatap kosong ke dinding, seolah tengah memandangi sesuatu yang sangat jauh.
"Mas," bisik Rita pelan, "besok pagi ... diminta datang ke butik."
Bima tidak menjawab. Hanya napas berat yang keluar dari hidungnya sebelum dia berdiri. Tapi Rita segera meraih lengannya.
"Kita sudah terikat janji, Mas," ucap Rita, suaranya nyaris berbisik.
"Iya." Satu kata pendek yang terasa hampa.
"Mau ke mana?"
"Ke bengkel. Menyelesaikan pekerjaan."
"Tapi ingat besok pagi, ya ... jangan buat Bu Calista marah."
"Terserah." Bima melepaskan genggaman Rita dan melangkah pergi, meninggalkan istrinya sendiri dalam ruang tunggu yang tiba-tiba terasa sangat sunyi.
Saat berpapasan dengan adik perempuannya di koridor, Bima terus berjalan tanpa menoleh. Indri mengerutkan kening sebelum menghampiri Rita.
"Ada apa dengan Abang?" tanyanya, menatap ke arah punggung Bima yang semakin menjauh.
Rita memaksakan senyum tipis. "Bukan apa-apa, Ndri. Mungkin ... banyak pikiran."
~
Bensin, oli, dan logam, tiga aroma yang selalu menyambut Bima di bengkel. Malam itu dia bekerja tanpa henti, tangannya yang kekar memegang kunci inggris dengan cengkeraman erat. Setiap putulan baut, setiap gesekan kotoran mesin, seperti pelampiasan amarah yang tak bisa diungkapkannya.
Juned, pemilik bengkel, datang membawa dua gelas kopi hitam yang masih mengepul dan sepiring gorengan. "Bagaimana keadaan bapak lo, Bim?"
"Masih kritis, Bang," sahut Bima tanpa menoleh, tangannya terus bergerak cepat di antara kabel-kabel mesin.
"Kenapa balik ke sini? Harusnya kan lo urusin bapak lo."
Bima akhirnya merayap keluar dari kolong mobil, wajahnya penuh coretan oli dan keringat. "Daripada duduk diam tidak menghasilkan apa-apa," jawabnya sambil mengusap wajah dengan lap kotor.
Juned menatapnya dalam-dalam. Mata Bima yang biasanya penuh semangat, kini redup seperti lampu yang hampir padam. "Sini, Bim. Ngopi dulu."
Bima akhirnya duduk di bangku kayu sebelah Juned. Tangannya yang penuh luka dan kapalan memegang gelas kopi itu erat-erat.
"Kalau ada apa-apa, ngomong aja," ucap Juned, suara baritonnya terdengar hangat di tengah dinginnya malam. "Kali aja gua bisa bantu."
Bima tersenyum kecut. Bukan dia tidak mau menerima bantuan, tapi Juned sudah terlalu banyak membantunya. Sambil menatap uap kopi yang menari-nari di udara, Bima membisu. Rasanya tidak pantas terus meminta, apalagi Juned juga punya dua anak yang masih bersekolah. Di matanya yang lelah, terpancar jelas beban yang dipikulnya seorang diri.
Pukul 09.15 WIB. Jarum jam bergerak terlalu lambat bagi Calista. Matanya sudah kesekian kali beralih ke jam digital di meja kerjanya, namun tidak ada tanda-tanda Bima akan muncul. Jarum pentul di tangannya menancap terlalu dalam ke busa manekin, mengungkapkan rasa kesalnya.
Ponselnya berdering memecah kesunyian. Dengan gerakan cepat, dia menyambar benda itu.
"Halo?"
"Lo jadi kan booking salon Tante gue setengah hari ini, Ta?" Suara Zoya terdengar nyaring di seberang sana.
"Jadi," jawab Calista singkat, matanya masih tertuju pada pintu. "Tapi tunggu, dia belum datang."
"Siapa sih, Ta? Kok Lo sok misterius banget." Zoya terdengar penasaran. "Bukan gaya Lo banget deh."
"Nanti juga tau," potong Calista. "Sudah dulu, ya. Nanti gue hubungi lagi."
Sebelum Zoya sempat membalas, Calista sudah menekan tombol merah. Jarinya langsung beralih ke kontak Rita, siap menghujani pegawainya itu dengan pertanyaan pedas.
"Halo, Bu." Suara Rita terdengar lemas dari seberang.
"Rita—"
Kata-katanya terpotong ketika pintu ruangannya terbuka. Di ambang pintu, berdiri Bima dengan kemeja kotak-kotak merah yang membungkus tubuh tegapnya dengan sempurna, dibalut kaus hitam di dalamnya. Wajahnya tegas namun mata yang menatapnya penuh kelelahan, seolah baru melewati malam yang panjang.
"Bu, apakah suami saya sudah di sana?" Rita bertanya lagi dari telepon yang masih tersambung.
Calista mematikan ponselnya tanpa sepatah kata pun. Dunia sekelilingnya seperti bergetar pelan, dan dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari sosok pria yang kini memenuhi pintu ruangannya. Bahkan memenuhi isi pikirannya.