Bima meninggalkan bengkel sekitar pukul sembilan pagi, setelah tadi malam dia memilih bermalam di bengkel usai menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul tiga pagi. Dan, pagi ini dia terbangun karena panggilan telepon dari Rita yang lagi-lagi mengingatkannya untuk datang ke butik Calista. Wanita arogan yang berhasil membeli harga dirinya dengan segepok uang.
Dia memesan ojek online ke butik Calista, tak peduli dengan keterlambatannya. Bahkan sedikitpun tak ada kekhawatiran dalam dirinya akan kemarahan wanita itu. Peduli setan.
Sesampainya di butik satu lantai itu, Bima mendorong pintu kaca yang tak terkunci. Udara sejuk berbaur wangi parfum mahal menyambutnya. Ruangan dipenuhi rak-rak baju dan etalase kaca berisi aksesori, tapi tak terlihat satupun pegawai.
"Permisi."
Seorang perempuan berkacamata muncul dari balik meja kasir.
"Eh, Mas yang waktu itu, ya? ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Saya diminta datang oleh Bu ..."
"Kak Cally? Oh, masuk saja Mas, sudah ditunggu dari tadi."
Bima mengangguk singkat, lalu berjalan menuju ruang kerja yang pernah dikunjunginya beberapa hari lalu. Tanpa mengetuk, dia membuka pintu dan langsung bertatapan dengan Calista yang sedang menutup telepon.
Pandangan mereka terkunci. Ruangan itu tiba-tiba terasa sempit oleh gelombang diam-diam yang memancar antara mereka, campuran amarah, rasa terpaksa, dan ketegangan yang tak terucap.
Calista berdiri dengan gerakan tajam, menyambar tas tangan dari sofa.
"Kamu terlambat lima belas menit," ujarnya, tatapannya menusuk sambil berjalan melewati Bima.
Bima hanya memiringkan badan memberi jalan, lalu mengikutinya tanpa sepatah kata. Teguran Calista menguap begitu saja, ditelan sikap tak acuhnya yang sengaja diperlihatkan.
"Nilam, aku keluar dulu. Tolong layani klien yang datang," perintah Calista pada asistennya dengan suara datar yang menyembunyikan gejolak dalam dirinya.
"Baik, Kak."
Calista melangkah cepat keluar butik, tidak sekali pun menengok ke belakang untuk memastikan Bima mengikuti. Namun dari hentakan sepatu hak tingginya yang bergema di lantai marmer, Bima tahu wanita itu sedang menahan amarah. Dia mengikuti dengan langkah santai, satu tangannya tenggelam dalam saku celana jeans-nya.
Sampai di parkiran, Calista membuka pintu pengemudi Palisade hitamnya dengan gerakan kasar. Bima memasuki kursi penumpang tanpa sepatah kata, menatap depan sambil merasakan kursi kulit yang melekatinya. Interior mewah mobil itu justru membuatnya semakin sadar akan jurang pemisah antara mereka.
Calista menghidupkan mesin dan menarik mobil keluar dari parkiran dengan akselerasi yang sedikit terlalu kencang. Selama sepuluh menit perjalanan, hanya suara AC yang memenuhi kebisuan di dalam mobil. Bima memandang keluar jendela, sementara ekor matanya menangkap raut Calista yang rahangnya masih mengeras. Dia bisa menebak wanita itu kesal karena keterlambatannya, tapi itu adalah hal terakhir yang dia pedulikan.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah salon eksklusif. Bima membaca papan nama yang berkilauan, lalu mendengus pelan.
"Sialan," gumamnya dalam hati.
"Ayo, turun!" Calista sudah berdiri di luar, menatapnya melalui kaca mobil dengan tatapan yang tidak menerima penolakan.
Dengan enggan, Bima membuka pintu dan mengikutinya. Calista sudah menunggu di depan pintu salon, lalu mendorongnya begitu Bima berada dalam jangkauan.
"Calista, Sayang!" sambut seorang wanita berambut cokelat dengan riasan sempurna, membuka lengannya lebar-lebar.
"Halo, Tante Veny," balas Calista dengan senyum tipis.
Mata Veny beralih pada Bima yang berhenti di dua langkah dari Calista. Dia mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu bawa siapa, Ly?" bisiknya kemudian, menarik Calista sedikit menjauh. "Hot banget, bikin rahim Tante bergetar."
Calista tersenyum, kali ini lebih tulus. "Tante, ini Bima. Calon suami aku."
Veny terkesiap, matanya membelalak. "Serius?"
Dengan anggukan percaya diri, Calista menoleh ke Bima. "Sini, Bim."
Bima mendekat dengan langkah berat. Wajahnya tetap datar, tapi kepalan tangan di saku celananya mengeras.
"Tante Veny akan merapikan penampilanmu," jelas Calista, matanya menyapu tubuh Bima dari atas ke bawah. "Agar lebih ... pantas."
"Tenang saja, Sayang," sahut Veny dengan semangat. "Tante punya tim terbaik yang akan mengubah pangeranmu jadi versi terbaiknya."
Sambil menepuk punggung Calista, Veny kemudian membimbing Bima ke dalam salon. Saat melewati Calista, Bima melemparkan tatapan terakhir, sebuah pandangan yang berisi seribu protes dan harga diri yang tercabik. Calista membalasnya dengan sikap acuh yang sempurna, meski dadanya berdebar kencang menyaksikan pria itu dibawa pergi untuk diubah sesuai keinginannya.
Sambil menunggu proses makeover Bima, Calista memanjakan diri dengan perawatan kuku. Aroma cat kuku dan acetone memenuhi udara ketika ponselnya berdering membelah suasana tenang salon. Nama 'Zoya' berkedip di layar.
Begitu jari Calista menyentuh ikon hijau, suara melengking penuh dramatis langsung memekakkan telinganya. "Demi apa, Calista Tedjakusuma, yang sumpah serapah bilang gak mau lagi berurusan sama lawan jenis, tiba-tiba bawa calon suami ke salon Tante gue?!"
Calista menggeleng, mengangkat alis pada terapis kuku yang tersenyum memahami. "Berisik sekali, Zoya. Suara lo kedengaran sampai sini," bisiknya, berusaha menahan senyum.
"Andai gue tau, gue pasti kabur dari meeting bos gue yang ngebosenin ini! Lebih seru ngintipin calon suami Lo yang misterius itu. Siapa dia? Kok bisa, diam-diam banget? Jangan-jangan ...." Nada suara Zoya tiba-tiba menjadi berbisik penuh konspirasi, "Lo hamil duluan dan dia mau tanggung jawab? Atau ... jangan bilang dia maksa lo buat ...? Soalnya kata Tante Veny, tubuhnya—"
"Zoya, cukup!" Calista memotong, pipinya memerah. "Lo bikin gue malu." Tanpa basa-basi, jarinya menekan tombol merah, memutuskan ocehan tanpa henti sahabatnya itu. Dia lalu menyunggingkan senyum malu yang dipaksakan pada terapis di hadapannya, sambil dalam hati mengutuk Zoya yang selalu berhasil membuat situasi menjadi heboh.
Kurang dari empat jam kemudian, aroma kopi matcha yang tengah dinikmati Calista tercampur dengan wewangian parfum mahal yang mendahului kehadiran Tante Veny.
"Dia bagaimana, Tan?" tanya Calista menahan gugupnya.
"Persis seperti permintaanmu, Ly. Kamu pasti puas, bahkan makin tergila-gila." Veny berbisik sambil menyenggol lembut bahu Calista. "Di mana kamu menemukan pria beraura maskulin seperti itu? Tante jadi iri."
Calista tertawa pendek, matanya tetap tertuju ke arah tirai di ujung ruangan. "Mana dia, Tan? Aku tidak sabar ingin melihat."
Veny tersenyum menggoda sebelum menepuk tangan dua kali. Tirai terbuka perlahan, dan Bima muncul dengan kemeja hitam garis-garis halus yang menempel sempurna di tubuh tegapnya, dipadukan celana chino hitam yang menegaskan garis kakinya yang atletis. Potongan rambutnya rapi, wajahnya bersih bercahaya, dan setiap langkahnya memancarkan kepercayaan diri yang membuat napas Calista sesaat tercekat.
Calista berdiri perlahan, matanya menyapu setiap perubahan pada Bima. Jari-jarinya tanpa sadar menekan erat telapak tangannya sendiri. Ketertarikannya yang sudah ada sejak awal mereka jumpa, kini berubah menjadi decak kagum yang sulit disembunyikan.
"Kamu suka, Ly?" bisik Veny.
"Sangat ...," gumam Calista, suaranya nyaris tak terdengar.
Bima mendekat dengan langkah tegas. Tatapannya tetap dingin, membawa segudang protes yang tak terucap. Hampir saja Bima melewatinya, hingga akhirnya Calista berhasil menahan lengannya. "Sudah cukup, kan?" tanya Bima dengan suara rendah namun tajam.
"Kamu tidak bisa pergi begitu saja," balas Calista, berusaha menjaga wibawa meski jantungnya berdebar kencang.
Bima mengangkat alis, lalu dengan gerakan mantap menepis tangan Calista yang mencoba menahannya. "Terserah kamu." Dia berbalik dan duduk di sofa dengan gaya yang masih menyisakan amarah yang tertahan.
Calista menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Veny dengan suara berhati-hati.
Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Calista mengangguk. "Kami harus pergi, Tan. Terima kasih untuk semuanya. Kirim notanya, nanti akan aku transfer."
"Tentu, Sayang." Veny mengangguk, matanya masih penuh tanda tanya saat melihat Bima yang tetap duduk dengan wajah masam di sofa.
Mobil meluncur dalam keheningan yang pekat. Calista sesekali melirik ke samping, mencuri pandang pada sosok Bima yang kini terlihat semakin memesona. Setiap detail penampilan barunya seakan dirancang untuk menggoyahkan pertahanannya.
"Kita akan ke apartemenku," ucap Calista memecah kesunyian.
"Oke." Satu kata pendek yang terasa hampa.
"Nanti malam aku akan mengajakmu makan malam dengan keluarga besarku."
"Atur saja sesukamu. Aku hanya akan mengikuti."
Calista mengangguk kecil, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah.
Sesampainya di apartemen lantai dua puluh, Calista menunjuk ke arah sofa leather yang menghadap view kota. "Duduklah. Ini tablet, bisa kau gunakan untuk berbelanja online. Pilih apa yang kau suka dan beri tahu aku nanti," ujarnya sebelum menghilang ke dalam kamar.
Di balik pintu kamar yang tertutup, Calista menelpon kakak iparnya sambil melepas sepatu. "Jadi malam ini di rumah, Ly?" tanya Naima dari seberang.
"Iya, Kak. Aku juga mau memperkenalkan calon suamiku pada kalian."
"Wah, jadi beneran dong mau menikah?" goda Naima.
Calista terkekeh pendek. "Doakan saja, Kak."
"Cepat ya, kami tunggu. Mama pasti tidak sabar."
"Baik, Kak. Nanti aku kabari lagi. Dah!"
Begitu percakapan usai, Calista mandi dengan cepat. Ketika keluar dari kamar, dia hanya mengenakan dress santai dari bahan sutra tipis yang mengikuti lekuk tubuhnya. Sofa tempat Bima duduk tadi kini kosong, tablet tergeletak begitu saja. Matanya kemudian menangkap bayangan di balkon, sosok tegap Bima membelakangi, menatap pemandangan kota yang mulai bermandikan lampu-lampu malam.
"Bima," panggilnya lembut.
Bima berbalik, dan untuk sesaat napasnya tercekat. Siluet Calista yang diterangi cahaya lampu dalam apartemen membuat dress tipis itu hampir transparan. "Sial!" gumamnya dalam hati, mengepal tangan di pinggiran balkon.
Calista mendekat dengan langkah pasti, aroma parfumnya yang ringan menyapu udara di antara mereka.
"Apa menjadi suami bohongan hanya alasanmu saja?" tanya Bima tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam. "Pada kenyataannya, kamu memang tertarik padaku sejak awal?"
Calista terkesiap sejenak, namun segera menyembunyikan gejolak dalam dadanya dengan senyum samar. "Kamu cepat menyadarinya, Bima."
"Kamu hanya takut disebut pelakor," tuduh Bima lagi, matanya menatap tajam. "Karena menyukai suami pegawaimu sendiri."
Calista tidak menjawab. Hanya senyum tipis yang mengembang di bibirnya, sementara matanya berkata lebih banyak dari yang ingin diungkapkannya.