Rita berdiri kaku di koridor rumah sakit yang sepi, tangannya menggenggam ponsel dengan sangat erat. Kabar dari dokter baru saja dia terima, ayah mertuanya bisa dipindahkan dari ICU, tapi kondisi masih sangat rentan. Sehingga mereka harus menunggu sampai kondisinya stabil.
"Terima kasih, Dokter," ucap Rita dengan suara yang sedikit bergetar, mengangguk hormat sebelum dokter itu berbalik pergi.
"Apa kata dokter, Rita?"
Rita menoleh, menemukan Dina, ibu mertuanya, berdiri dengan wajah pucat dan mata sembap. Tubuh renta wanita itu tampak goyah. Dengan sigap Rita meraih lengannya, menuntunnya duduk di kursi besi yang dingin dan berjejer di dinding.
"Kondisi ayah masih kritis, Bu." Rita memilih kata-kata dengan hati-hati, menatap telapak tangannya sendiri. "Tapi dokter bilang ada kemajuan kecil. Mereka masih berusaha maksimal."
Dina menyandarkan kepala ke dinding dingin, mata terpejam. Napasnya naik turun tak beraturan. "Ya, Tuhan ... tabahkanlah hati kami."
Rita menggenggam erat tangan Dina yang berkerut. "Kita doakan saja yang terbaik untuk Ayah, ya, Bu. Semoga segera melewati masa kritisnya." Ucapannya terdengar hampa di telinganya sendiri.
Dina membuka mata, tatapannya menerawang sebelum akhirnya menatap Rita. "Bima di mana, Rita? Dari kemarin Ibu tidak melihatnya." Kerutan di keningnya semakin dalam.
Rita menunduk cepat, menyembunyikan panik yang tiba-tiba menyergap. "Mas Bima ... lagi banyak pekerjaan di bengkel, Bu. Biaya ICU kan tidak sedikit, jadi—"
"Dia pinjam uang lagi dari Juned?" potong Dina, suaranya berat saat menyebut nama bos putranya yang cukup dia kenal baik.
Rita hanya bisa mengangguk pelan, lidahnya terasa kelu.
Dina menghela napas panjang, penuh kepasrahan. "Hutang kita makin menumpuk, Nak."
"Tidak apa-apa, Bu. Ini juga untuk Ayah. Alhamdulillah Juno sudah sembuh, jadi beban kami sedikit berkurang." Senyum yang dipaksakan Rita terasa getir di bibirnya.
Dina meraih tangan Rita, menggenggamnya erat. "Kamu memang baik hati, Rita. Bima sangat beruntung memilihmu. Ibu dan ayah ... bersyukur punya menantu sepertimu."
Senyum di wajah Rita perlahan memudar, digantikan oleh rasa sesak yang tiba-tiba menyergap dadanya. Pujian tulus itu terasa seperti pisau yang mengoyak-ngoyak hatinya. Di balik anggukan lemahnya, tersimpan pengakuan pahit yang hanya dia sendiri yang tahu, dia bukan istri yang baik. Dia baru saja menjual suaminya sendiri pada bosnya.
"Maaf sudah buat kamu repot seperti ini," desis Dina, tangannya yang keriput mengusap-usap punggung tangan Rita. "Minggu lalu Juno dirawat, sekarang ayahnya Bima. Pekerjaanmu bagaimana, Nak?"
Rita menunduk, jemarinya memainkan ujung kemejanya. "Saya ... sudah tidak kerja, Bu."
Dina tercekat, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Apa karena bolak-balik rumah sakit sampai dipecat?"
"Iya, Bu," Rita berbohong dengan getir. "Lagipula, kalau bukan saya, siapa lagi yang akan mengurus Juno dan Ayah? Mas Bima pasti sibuk, Indri juga harus kerja. Ibu sendiri juga pasti akan kewalahan, kan?"
Dina tersenyum kecut mendengar ucapan Rita. "Maaf, Rita, karena sudah sangat menyusahkan kamu. Semoga saja setelah semua musibah ini kehidupan kamu dan Bima berubah menjadi lebih baik lagi."
Rita mengamini ucapan ibu mertuanya. Meski ada perasaan bersalah yang kian menusuk ulu hatinya.
***
Calista sudah berganti pakaian dengan dress sutra berwarna wine yang melekat sempurna di tubuhnya. Percakapan singkat di balkon tadi menggantung di antara mereka seperti aroma parfumnya yang memenuhi ruangan apartemen itu.
"Ayo, turun. Mobil sudah menunggu di bawah," katanya seraya menenteng clutch bag-nya.
Bima berdiri dari duduknya, mengikuti langkah Calista keluar dari pintu unit apartemennya.
Bima mendorong diri dari dinding lift tempatnya bersandar. Di kaca lift yang mengilap, tatapan mereka bertemu. Calista bisa melihat dengan jelas bagaimana amarah dan sesuatu yang lebih dalam, mungkin gairah yang sama yang dia rasakan, berkobar di kedalaman mata Bima.
"Kalau kakekku bertanya pekerjaanmu, katakan kalau kamu pemilik showroom mobil."
"Tidak," bantah Bima, suaranya datar namun penuh tekad. "Aku hanya seorang montir. Bukan pemilik apa-apa."
"Aku tahu. Tapi aku hanya ingin kamu ... sedikit memperhalus kenyataan."
"Kebohongan hanya akan membawa kita pada kehancuran," jawab Bima, matanya menatap tajam. "Lebih baik jujur sejak awal. Dan jangan coba-coba mengaturku."
Calista membalikkan badan menatap Bima, bibirnya bergerak hendak protes. Namun sebelum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, lift sudah sampai di lobi. Denting pintu terbuka disusul langkah Bima yang cepat meninggalkannya sendirian, membuat gaun elegan dan wibawa yang dibangunnya seakan tidak ada artinya bagi pria itu.
"Sial!" desisnya kesal.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Ardha Tedjakusuma, sunyi menyelimuti mereka. Calista duduk bersebelahan dengan Bima di kursi penumpang belakang dengan jarak beberapa senti. Jari-jari Calista tak berhenti mengetuk-ngetuk clutch bag-nya, menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkan. Dia jelas tahu, pria di sampingnya bukanlah boneka yang bisa diatur sesukanya. Bima memiliki kendali dirinya sendiri.
"Bima," panggil Calista akhirnya, suara itu memecah kesunyian.
Bima menoleh dengan ekspresi datarnya.
"Tolong," bisik Calista, "ikuti alurku nanti."
"Tentu, kamu bosnya." Suaranya datar, tapi ada duri halus di setiap kata.
Calista menarik napas halus. "Kamu harus paham situasi ini."
Bima berdecih, sebelum dia kembali membisu, menatap lurus ke depan seolah dunia di luar jendela lebih menarik dari drama yang harus dijalaninya.
Mobil berhenti di halaman luas kediaman Tedjakusuma. Rumah megah bergaya kolonial itu berdiri angkuh, membuat setiap orang yang mendekat merasa kecil. Begitu turun, Bima diam-diam mengamati pilar-pilar marmer dan taman yang terawat sempurna, rahangnya berkedut halus.
Seorang pelayan dengan seragam serba hitam membuka pintu lebar-lebar. "Non Lily, keluarga sudah menunggu di ruang makan."
Calista membalas senyum, lalu melirik Bima, sebuah pandangan penuh arti yang hanya dijawab dengan tarikan napas dalam oleh pria itu.
Saat melangkah masuk, Bima berusaha menyembunyikan keterpesonaannya pada kemewahan yang memenuhi setiap sudut ruangan. Langkahnya sedikit kaku, seolah takut mengotori lantai marmer yang berkilauan.
"Onty Ly!" Teriakan riang memecah kesunyian. Seorang gadis kecil berlari dan menubrukkan diri pada Calista.
"Halo, Sayang. Kangen ya, sama Onty?" Calista mengusap rambut bocah itu, tapi matanya tak lepas dari Bima.
Liora tertawa kecil, lalu tatapannya beralih pada Bima. "Onty sama siapa?"
"Oh, ini ...."
Sebelum Calista menjawab, dua wanita elegan mendekatinya. "Ly."
Dengan gerakan refleks, Calista melingkarkan tangannya pada lengan besar Bima. Pria itu nyaris tersentak, otot lengannya menegang di bawah sentuhan itu.
"Ma, Kak, perkenalkan ini Bima ...."
Bima mengulurkan tangan, telapak tangannya yang kasar kontras dengan kulit mulus Citra dan Naima yang bersalaman dengannya. "Bima," suara baritonnya bergema di ruangan yang luas.
"Dia calon suamiku," ucap Calista, menggenggam lengan Bima lebih erat, seolah menantang siapa pun untuk meragukan kata-katanya. Di balik senyum manisnya, ada ketegangan yang menggumpal.
Citra membeku, tatapannya terlontar antara putrinya dan pria asing di sampingnya. Alisnya yang terawat naik perlahan, membentuk sudut pertanyaan tajam yang tak terucap.
Calista menahan napas, dia mengenal baik ekspresi itu.
"Ayo ke ruang makan, Kakek sudah menunggu," ujar Naima dengan suara ringan, memecah ketegangan sambil menggandeng tangan putri kecilnya.
Saat tiba di ruang makan mewah, Ardha Tedjakusuma sudah duduk di tahta kursi kepala meja bagai raja yang menanti audiensi. Matanya yang tajam menyipit saat menatap Bima, seolah sedang mengukur nilai seorang pria hanya dari caranya berdiri.
"Lily." Suaranya menggelegar. "Siapa tamu yang kamu bawa?"
Calista segera meraih lengan Bima, dan sekali lagi dia bisa merasakan ototnya yang menegang di bawah sentuhannya. Dia menariknya mendekat pada sang kakek. "Kakek, ini Bima," ucapnya, suara sedikit lebih tinggi dari biasanya. "Calon suami aku."
Ardha tidak segera menjawab. Pandangannya yang tajam memindai Bima dari sepatu kulit hitam yang dikenakannya, hingga postur tegapnya yang tak goyah oleh tatapan sang patriarki. Udara di ruangan itu seakan membeku selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
"Akhirnya," desis Ardha, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang keriput. "Lily-ku sudah menemukan jodohnya. Mari kita mulai makan malamnya."
Calista menarik Bima untuk duduk di sampingnya. Di bawah meja, lututnya tak sengaja menyentuh kaki Bima, dan dia bisa merasakan bagaimana pria itu segera menariknya menjauh, sebuah reaksi instan yang membuat pipinya memerah.
Ketika para pelayan mulai menyajikan hidangan, Ardha memecah kesunyian. "Jadi, sudah diputuskan kapan kalian menikah?"
Sendok yang dipegang Citra berhenti di tengah udara. "Pa, sejak kapan Lily membicarakan pernikahan?" Matanya yang membesar beralih ke putrinya. "Lily? Kenapa Mama tidak tahu apa-apa?"
Ardha terkekeh pendek. "Rupanya Lily belum memberitahumu." Dia menatap cucunya dengan tatapan penuh arti. "Ly, tidak baik menyimpan rahasia seperti ini dari ibumu sendiri. Lihat, dia terlihat sangat terkejut."
Bima diam-diam mengamati pertukaran pandangan di meja itu. Dari sudut matanya, dia melihat bagaimana jari Calista memutar-mutar sendok dengan gugup, bagaimana rahang Citra mengeras, dan bagaimana senyum Ardha tidak pernah sampai ke matanya. Ini bukan sekadar makan malam keluarga, ini adalah medan perang yang disamarkan dengan taplak meja linen dan perak makan berkualitas.
"Ma." Calista akhirnya berbicara, menatap langsung ke mata ibunya, "aku dan Kakek sudah membicarakan ini sebelumnya. Maafkan aku karena tidak memberi tahu Mama lebih awal."
"Jadi kamu akan menikah?" tanya Citra memastikan.
Calista mengangguk mantap. "Ya, Ma. Aku dan Bima akan menikah," ujarnya, berusaha membuat suaranya terdengar meyakinkan. "Dan kami berencana melakukannya secepat mungkin."
Bima tetap membisu, namun matanya yang tajam mengamati setiap perubahan ekspresi di wajah kedua wanita itu. Kerutan halus di dahi Citra, gerakan Naima yang berusaha menenangkan putri kecilnya, dan senyum puas Ardha. Semuanya menciptakan teka-teki yang semakin membingungkannya.
Dalam diam, dia bertanya-tanya,
Mengapa perempuan kaya dan cantik seperti Calista harus sampai menyewa suami palsu hanya untuk memenuhi permintaan kakeknya?
Apa yang sebenarnya terjadi di balik kemewahan keluarga ini?
Kekakuan di meja makan itu terasa semakin menusuk ketika Calista dengan sigap mengalihkan pembicaraan, mencoba menutupi ketegangan yang semakin mengental di antara mereka.