Suasana di ruang keluarga terasa tegang setelah makan malam selesai. Citra duduk tegak di sofa, matanya menatap tajam pada putri bungsunya yang duduk berhadapan dengannya.
"Katakan pada Mama, Ly," ujar Citra dengan suara yang berusaha tenang, "kenapa tiba-tiba kamu ingin menikah? Selama ini kamu selalu menghindar setiap kali kami membahas pernikahan."
Calista tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah lorong yang menuju ruang kerja kakeknya. Kekhawatiran itu jelas terpancar, bagaimana jika Bima mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya pada kakeknya? Atau, bisa saja Kakeknya bertanya macam-macam pada Bima? Mengingat Bima yang sama sekali tidak ingin dimonitoring oleh dirinya.
"Calista!" panggil Citra lagi, suaranya lebih keras kali ini.
Calista tersentak mendengar suara ibunya. "Ma, kakek yang nawari aku untuk nikah."
Citra menghela napas. "Setiap kali Mama yang bertanya, kamu selalu marah. Tapi ketika Kakek yang menyuruh, kamu langsung mencari calon. Apa yang dijanjikan Kakek padamu?" Sorot matanya penuh kecurigaan.
Sebuah senyum tipis mengembang di bibir Calista. "Kakek berjanji akan memberikan warisan untuk aku. Katanya beliau juga mau memperluas butik dan menyuntikkan dana ke bisnis aku, Ma."
"Astaga, Calista!" Citra memijit pelipisnya merasakan kepalanya yang tiba-tiba saja nyeri.
Naima yang sejak tadi menyimak lantas tertawa kecil. "Mama pasti gak nyangka kalau ternyata kamu ngincer warisan, Ly."
Citra memandang putrinya dengan khawatir. "Mama merasa ada yang aneh dengan pria itu, Ly. Apa dia pria yang baik?"
"Iya, Ly. Kenapa pria tadi kesannya sangar ya, kayak galak begitu." Naima menimpali.
"Jangan bilang kalau kamu frustrasi dan nyari calon sedapatnya saja," ujar Citra lagi menatap putrinya tajam.
Calista berdiri dengan gerakan cepat. "Tidak, Ma! Bima itu baik. Memang tampangnya seperti itu, galak tapi sebenarnya ...." Darahnya berdesir saat mengingat ketegangan di antara mereka.
"Calista!" geram Citra, namun kali ini Naima dan Calista justru tertawa bersama.
"Aku mau ke ruang kerja Kakek," ucap Calista bergegas. "Mau lihat apa yang mereka bicarakan."
Citra menyaksikan putrinya menghilang di ujung lorong dengan perasaan campur aduk. Naima meraih tangan ibu mertuanya.
"Semoga pria itu memang baik seperti yang dikatakannya, Ma."
Citra menatap Naima, matanya mulai berkaca-kaca. "Masalahnya, dia trauma dengan pria, Nai."
"Sudah dua tahun berlalu, Ma. Mungkin sekarang dia sudah berubah pikiran." Naima tersenyum lembut sambil meremas tangan Citra. "Mari kita doakan yang terbaik untuk Lily. Semoga calonnya kali ini tidak menyakiti hatinya seperti mantannya, seperti ayahnya, dan ... seperti kakaknya."
Citra menggenggam erat tangan Naima, berharap kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan.
Di ruang kerja yang dipenuhi dengan bermacam-macam buku dan aroma kayu mahoni tua, Bima duduk tegak di hadapan Ardha Tedjakusuma. Kursi kulit yang didudukinya terasa asing, sama asingnya dengan tatapan sang patriarki yang tampak memandanginya dengan penilaian setiap detail dirinya.
"Sudah berapa lama mengenal Lily?" tanya Ardha, jari-jarinya yang keriput mengetuk permukaan meja secara berirama.
"Beberapa bulan, Pak. Tidak sengaja bertemu." Jawaban Bima singkat, suaranya datar namun penuh keyakinan. Dia sudah menyiapkan beberapa jawaban meyakinkan kalau-kalau saja pria itu bertanya macam-macam padanya.
Ardha mengangguk pelan. "Apa pekerjaanmu?"
"Saya bekerja di bidang otomotif." Bima tidak menunduk atau berusaha merendah.
Alis Ardha bertaut. "Kamu paham mesin mobil? Motor?"
"Ya, itu bidang saya." Bima mengangguk sekali, matanya tak lepas dari tatapan Ardha yang terlihat terkejut dengan pekerjaannya.
Senyum tiba-tiba merekah di wajah Ardha. "Menakjubkan! Selama ini Lily selalu menolak pria dari kalangan bisnis yang saya kenalkan. Rupanya dia lebih suka tipe pria yang ..." tangannya membuat gerakan melingkar, "tangan-tangan terampil."
Bima diam, membiarkan senyum tipis Ardha tergantung di udara.
Ardha tiba-tiba bersemangat, mendorong kursinya mundur. "Saya punya mobil tua di garasi. Maukah kamu melihatnya? Beri pendapatmu."
"Tentu."
Mereka berdua berdiri. Saat pintu terbuka, Calista yang sedang menyandar di ambang pintu tersentak.
"Lily, ada perlu?" tanya Ardha sambil berjalan melewatinya.
Bima mengikuti, pandangannya hanya menyapu Calista sekilas sebelum kembali fokus mengikuti langkah Ardha.
"Kalian sudah selesai?" tanya Calista, suaranya sedikit tegang.
"Belum. Kakek mau mengajak Bima melihat koleksi mobil kakek," jawab Ardha sambil terus berjalan, memaksa Calista menggeser tubuhnya.
Calista terdiam sejenak, menyaksikan punggung Bima yang semakin menjauh. Bima pasti benar-benar mengatakan apa pekerjaanya. "Sial, Bima!" gumannya dalam hati sebelum bergegas menyusul.
Di garasi bawah tanah yang berkilauan dari cahaya lampu neon, Calista mendapati pemandangan tak terduga. Ardha dan Bima sedang membungkuk di atas kap mobil tua yang terbuka. Tangannya yang penuh bekas luka kerja dengan cekatan memeriksa kabel-kabel dan komponen mesin, sementara Ardha memperhatikan dengan antusias seperti anak kecil.
"Jadi menurutmu masih bisa diperbaiki?" tanya Ardha, suaranya penuh harap.
Bima mengangguk, jarinya menunjuk bagian tertentu mesin. "Ini masalahnya. Tapi butuh waktu."
Yang membuat Calista tercengang adalah cara kakeknya memandang Bima, bukan dengan pandangan merendahkan seperti yang dia khawatirkan, tapi dengan rasa hormat yang tulus. Sebuah realitas yang sama sekali tidak pernah dia duga.
***
"Segera atur tanggal pernikahan kalian," perintah Ardha saat melepas kepergian Calista dan Bima di pintu utama. Suaranya penuh wibawa, tapi ada kerlingan puas di matanya.
Citra memandang ayahnya dengan ragu. "Papa yakin dengan keputusan ini?"
"Ya. Sepertinya Lily sudah menemukan pria yang tepat," katanya dengan senyum bangga.
Citra masih meragukan hal itu, tapi saat melihat senyum di wajah putrinya membuat hatinya luluh. Ada cahaya di mata putrinya yang selama ini padam. Calista tidak pernah tersenyum hangat seperti itu setelah dua tahun terakhir.
"Citra, biarkan mereka memutuskan," ucap Ardha yang meyakinkan putrinya. "Mereka sudah dewasa, dan lagi sepertinya Lily sudah berdamai dengan dirinya."
Bima sedikit mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Dia masih belum tau apa yang sebenarnya terjadi pada Calista. Dia yakin ada sesuatu terjadi yang membuat gadis itu memilih cara ini.
"Baiklah jika itu yang diinginkan Lily," ucap Citra akhirnya mengalah dan memberi izin.
Calista memeluk erat ibunya. "Aku tidak akan menyesal, Ma." Kata-katanya terdengar seperti sumpah.
Citra tidak membalas, tapi tangannya mengusap punggung putrinya lembut seolah sentuhan itu sudah menjelaskan lebih dari sekadar kata-kata penenang.
~
Calista dan Bima sudah dalam perjalanan menuju apartemen, dan lagi-lagi keheningan menyelimuti mereka. Ketika mobil berhenti di pelataran gedung apartemen keduanya turun bersama tanpa kata yang terucap di antara mereka.
Keduanya berada di dalam lift dengan penghuni lain, sehingga Calista tidak leluasa untuk bertanya-tanya pada Bima. Pria itu sendiri kembali bersikap dingin dan tak acuh padanya, sangat berbeda sekali saat dengan kakeknya tadi. Padahal dia ingin bertanya apa saja yang Bima bahas dengan kakeknya.
Mereka tiba di lantai dua puluh tempat unit apartment Calista berada.
"Aku tidak menginap," ucap Bima setelah diam selama perjalanan pulang tadi.
Calista yang baru saja mengeluarkan kartu akses apartemennya sontak menoleh pada pria di belakangnya.
"Tidak, ya, kamu harus menginap," balas Calista tajam.
"Kita masih belum terikat. Aku akan pulang."
Calista lantas memegang tangan Bima, menahannya agar tidak pergi.
"Perjanjiannya kamu empat hari bersama aku."
"Masalahnya kita belum menikah, Cal. Tidak baik bila aku berada di apartemen mu."
"Aku gak peduli, intinya kesepakatan kita kamu empat hari sama aku, entah kita sudah nikah atau belum. Titik!" ucap Calista tegas tidak mau dibantah.
Bima kembali memasang ekspresi datarnya. Kemudian dia melangkah mendekat pada Calista, menatapnya penuh dengan tekanan emosi.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya dingin.
"Kamu ikuti aturan sesuai dengan kesepakatan kita," balas Calista tak kalah dingin.
"Aku di sini demi istriku, bukan untuk memuaskan keinginanmu."
Calista mendelik tajam saat Bima mengatakan istriku yang tentunya itu adalah Rita.
"Kalau kamu ikuti aturan, kamu tetap di sini denganku, bukan malah pergi."
"Dan kamu pikir itu termasuk menemanimu tidur?" Bima menyeringai sinis. "Karena kamu bayar aku, kamu bisa perlakuan aku semaumu?"
Calista terkesiap, wajahnya memerah. "Itu bukan—"
"Itu yang kamu lakukan, karena sudah merasa membayar ku jadi kamu bisa seenaknya memerintah. Tidak semudah itu, Cal."
Calista menggeleng pelan.
"Suka tidak suka, aku tidak akan berada di satu ruangan yang sama dengan kamu tanpa ikatan yang sah. Aku tidak mau berzina," ucap Bima dengan suara pelan tapi menusuk.
Calista menatapnya dengan ekspresi wajahnya yang mengeras.
"Kendalikan dirimu, Calista. Hubungi aku besok."
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Calista sendirian di koridor yang sepi. Bayangannya yang semakin menjauh terasa seperti penolakan tajam dan membuat harga dirinya terasa diremas-remas.