9. Menjaga Batasan

1476 Kata
Rita membeku di ujung koridor rumah sakit, tas berisi makan malam masih tergenggam di tangannya. Sosok yang bersandar di dinding depan ruang ICU itu terasa asing, namun tidak sepenuhnya tidak dia kenal. "Mas Bima ...?" Suaranya terdengar penuh keraguan. Pria itu menoleh, dan sejenak Rita seperti melihat orang yang berbeda. Rambut suaminya yang biasanya berdebu dan acak-acakan kini tersisir rapi. Bau parfum halus, bukan aroma oli dan bensin, menyertai kehadirannya. Kemeja mahal yang dipakainya menyorotkan bahu tegap yang biasanya tersembunyi di balik baju kerja kotor. "Kamu dari mana?" tanya Bima yang kini duduk bersama Rita di kursi tunggu. "Dari rumah, bawa makanan untuk Ibu." Rita duduk perlahan, matanya masih menelusuri perubahan pada suaminya. "Mas kok di sini? Bukannya seharusnya ...." "Aku tidak menginap di sana, Ta," potong Bima datar seolah tau apa yang hendak dikatakan oleh istrinya. Rita mengangguk pelan. "Apa semua berjalan baik?" "Ya, seperti seharusnya." Bima melirik pada istrinya. "Apa kamu senang?" tanyanya lagi. Rita memasang ekspresi wajahnya yang lelah. "Sejujurnya aku tidak senang, Mas. Bagaimana mungkin aku biarkan suami aku ... tapi kita lakukan ini semua demi keluarga, bukan untuk kepentingan aku sendiri." Bima meraih jemari tangan Rita yang dingin, menggenggamnya erat memberi kehangatan. Dalam diam, dia menyadari betapa dalam luka yang mereka tanggung bersama. Andai saja dia bisa lebih, andai usahanya tak selalu berujung pada hitungan yang tak pernah cukup. "Maaf," bisiknya, suaranya terdengar serak penuh penyesalan. "Aku belum bisa memberimu kebahagiaan yang layak." Rita paham dan tidak mau menyalahkan suaminya. Dia cukup mengenal Bima, seorang pekerja keras dan sangat bertanggung jawab, hanya saja takdir hidup mereka yang tidak begitu bagus sejak awal pernikahan ada saja cobaan yang datang menguji pernikahan mereka, terutama dalam finansial. "Memang jalannya sudah seperti ini, Mas." Bima meraih bahu Rita, membawanya untuk bersandar padanya dan mengecup puncak kepalanya penuh kasih sayang. "Semoga semua akan baik-baik saja." Hanya itu satu-satunya kalimat penenang yang bisa mereka terima saat ini. *** Keesokan paginya, Calista menikmati sarapan seorang diri di apartemennya yang mewah. Sejak dua tahun lalu, dia memilih untuk tinggal mandiri setelah mengalami patah hatinya. Percakapan dengan Bima semalam masih terngiang. Pria itu keras kepala, teguh pada prinsip meski terjepit keadaan. "Suka tidak suka, aku tidak akan berada di satu ruangan yang sama dengan kamu tanpa ikatan yang sah. Aku tidak mau berzina." Calista menekan kontak Bima, mereka harus bertemu hari ini dan membicarakan pernikahan yang harus segera dilakukan. Dia harus menunggu beberapa menit sampai panggilan teleponnya tersambung. "Halo?" Calista menautkan kedua alisnya, itu bukan suara Bima atau Rita, tapi itu suara anak kecil perempuan. "Halo?" Suara itu kembali terdengar karena Calista sama sekali tidak menyahut. Dengan gerakan cepat dia memutus sambungan teleponnya. "Kemana sih, dia?!" gerutunya kesal. Dia yakin yang mengangkat panggilannya tadi adalah anak sulung Bima dan Rita, karena mereka mengatakan memiliki dua anak. Calista memilih mandi dan segera bersiap ke butik. Tiba di butik, Vivi, sang asisten menyambutnya dengan beberapa laporan mengenai produk dan klien mereka. "Kayaknya aku bakal keluar hari ini, deh, Vi." "Jam berapa? Biar aku atur pertemuan dengan kliennya." Calista melirik ponselnya yang sama sekali tidak ada notifikasi dari Bima entah itu pesan atau panggilan. Padahal dia berharap anak kecil tadi memberi tahu ayahnya bahwa ada telepon masuk. "Entah, nanti aku kabari," ujar Calista seraya masuk ke dalam ruangannya. Vivi melangkah masuk mengikuti Calista. "Nilam bilang kalau kamu kedatangan pria ke sini." Calista yang baru saja meletakkan tasnya di atas meja, menatap Vivi tajam. "Iya. Ada masalah?" "Siapa?" "Bukan siapa-siapa, tolong tinggalkan aku sendiri, Vi. Aku mau telepon sebentar." Vivi melengos, lalu keluar dari ruangan bosnya. Calista kembali menekan nomor Bima seperti yang diminta oleh pria itu jika dia bisa menghubunginya esok hari. Panggilannya tersambung pada dering kelima saat kesabaran Calista benar-benar diuji oleh suami orang. "Halo?" Suara bariton Bima terdengar. "Aku hubungi kamu tadi pagi kenapa kamu gak balas." "Gak tau kalau kamu telepon." Respon Calista seperti, 'hah?!' "Anak kamu yang angkat." "Oh." Hanya satu kata. Sederhana. Tapi efeknya membuat darah Calista mendidih. "Kita bertemu hari ini." "Jam berapa? Soalnya aku sibuk." Andai saja Bima ada di hadapannya, pastinya pria itu akan melihat bagaimana Calista memelototinya. "Sibuk kamu bilang? Kamu sadar tidak sih, kalau kamu it—" "Aku sadar, tapi aku punya pekerjaan, Cal. Kita tidak harus selalu bersama dalam 24 jam kan?" "Bima, kamu tidak paham dengan kesepakatannya." Calista berdiri dari duduknya sembari menyisiri rambutnya, frustrasi. "Aku paham. Tapi kamu yang tidak paham dengan ritme kerjaku." "Aku mau kita ketemu dan bahas lagi yang tidak kamu pahami. Sekarang, atau aku yang susul kamu ke tempat kerjamu!" Calista menutup telepon dengan kasar, mengutuk Bima dalam hati. ~ Bima memandangi ponselnya dengan tatapan datar. "Wanita arogan," desisnya lirih. Rita meletakkan cangkir kopinya yang masih mengepulkan uap panas di meja. "Bu Cally ya, yang telepon?" tanya Rita hati-hati. Bima meletakkan ponselnya dan menatap sang istri. "Iya. Dia minta ketemu." "Mas, kamu tidak lupa kan kesepakatannya?" Rita mengingatkan. "Aku ingat, Ta. Hanya saja ... berat sekali menjalaninya. Dan lagi, aku merasa berdosa pada kalian." Rita meraih tangan Bima dan menatapnya sedih. "Maaf, Mas. Ini juga salahku." Bima memaksakan senyumnya. Dia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan istrinya, ini adalah konsekuensi karena dia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. "Aku sudah bayari hutang-hutang kita, Mas. Kita sudah tidak memiliki tanggungan hutang lagi, dan hanya memikirkan biaya pengobatan ayah saja," ucap Rita dengan sepasang matanya yang berbinar. "Syukurlah kalau begitu, Ta." Dengan kata lain dia harus mematuhi aturan yang dibuat oleh Calista. "Temui Bu Cally, Mas." Bima hanya menatap istrinya datar, lalu mengangguk. Satu jam kemudian, Bima berdiri di seberang jalan butik Calista. Dari balik kaca etalase, dia melihat wanita itu sedang melayani klien dengan elegan. Tak ingin menarik perhatian, dia menghubungi Calista. "Halo?" Suara Calista terdengar tajam. "Aku di seberang. Tokomu ramai." "Tunggu di situ. Jangan kemana-mana." Telepon diputus mendadak. Bima menghela napas, bersandar pada dinding ruko sambil mengamati Calista yang terlihat sibuk di dalam. Dua puluh menit kemudian, Calista keluar dengan langkah cepat. Ponselnya menempel di telinga, matanya menyapu sekeliling. "Kamu di mana?" Suaranya terdengar tegang melalui telepon. "Di seberang." Calista langsung menoleh, dan menemukan sosoknya. "Kemari," perintahnya singkat. "Siap, Ratu," gumam Bima sinis sebelum menutup telepon. Dengan langkah berat, dia menyeberang. Calista sudah berdiri di samping mobil mewahnya, dengan wajahnya yang masam. "Kamu yang menyetir," ujarnya melemparkan kunci, lalu masuk ke kursi penumpang tanpa menunggu jawaban. Bima mengeratkan rahang, tetapi mengambil kunci itu. Saat dia masuk ke kursi pengemudi, aroma parfum Calista langsung memenuhi kabin, menciptakan ketegangan baru yang akan menjadi tantangan dirinya. "Kita ke mana?" tanya Bima sambil tangan kirinya memutar setir, memasuki arus lalu lintas yang padat. "Belok kiri. Menuju KUA," jawab Calista singkat, matanya tetap tertuju pada ponselnya. Bima memalingkan wajah sejenak, alisnya berkerut. "Kita tidak akan menikah sekarang, bukan?" "Lusa. Hari ini kita urus administrasinya." Suara Calista datar, seolah membicarakan jadwal meeting bisnis. Bima menghela napas panjang, jari-jemarinya mencengkeram setir lebih kuat. "Berkas nikah tidak bisa selesai dalam sehari." "Bisa, kalau ada koneksi dan uang yang tepat," sahut Calista tanpa menoleh, jari-jemarinya terus mengetik layar ponsel. Bima tersenyum kecut. "Dasar orang kaya!" Usai dari KUA, Calista membawa Bima ke mall mewah. Dengan sigap dia memilihkan setelan jas, kemeja, hingga aksesori bagi Bima yang hanya mengikuti dari belakang dengan raut pasif. Setiap kali Calista menyodorkan pilihan, Bima hanya mengangguk singkat atau menggeleng halus, tanpa semangat. Saat makan siang di restoran berbintang, kontras terlihat jelas di antara mereka. Calista memilih salad dengan potongan kecil, sementara Bima menghabiskan steak dengan lahap. Calista tengah menerima panggilan telepon dari ibunya yang kembali membahas tentang pernikahan, karena dia memberi tahu sang ibu jika baru saja dari KUA. "Nanti kita buat acara intimate wedding, Ma. Aku gak mau undang banyak orang, cukup keluarga inti kita saja. Iya, tidak apa-apa, Ma. Nanti aku mampir, ya. Dah, Mama, love you!" Calista mematikan sambungan teleponnya, lalu melanjutkan makannya. Sementara Bima sudah selesai dengan makan siangnya. Bima sudah berdiri. "Aku tunggu di luar," ucapnya pendek sebelum berbalik meninggalkan ruangan tanpa menunggu balasan Calista. Calista menyelesaikan makanannya dengan tempo lebih cepat, lalu menemukan Bima di area parkir, tubuhnya bersandar pada hood mobil sementara jemarinya asyik memainkan ponsel. "Bima." Pria itu menoleh, lalu tanpa sepatah kata pun masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. "Selanjutnya ke mana?" tanyanya saat mobil meluncur keluar. "Ke apartemenku." "Aku tidak ikut naik," bantah Bima, tatapannya lurus ke depan. "Mengapa?" Calista memutar tubuhnya, menyisir rambutnya yang terurai. "Tidak ada alasan khusus." "Kamu tega membiarkanku membawa semua belanjaan kamu sendirian?" "Berikan saja padaku, akan kubawa pulang." "Tidak," potong Calista. "Setelah menikah kamu akan tinggal bersamaku. Biasakan dirimu." Bibir Bima menekan garis tipis. "Aku akan menunggu di mobil." Sebuah senyum tipis mengembang di wajah Calista. "Takut tidak bisa menahan diri?" "Hanya menjaga batasan." "Atau ... kamu takut tergoda?" ucap Calista pelan, jari telunjuknya tiba-tiba mengusap punggung tangan Bima yang memegang persneling. Bima menyentak, menarik tangannya seolah tersetrum. "Jangan," hardiknya pendek, matanya berapi-api memandang Calista sejenak sebelum kembali fokus ke jalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN