10. Peringatan, Lagi

1521 Kata
Pada akhirnya, Bima membantu Calista membawa belanjaan miliknya ke unit apartment. Bima tetap saja memasang ekspresi tidak sukanya pada wanita itu dan Calista pun menyadarinya saat melihat pantulan wajahnya di dinding lift. Calista justru merasa semakin tertarik jika Bima memasang ekspresi galaknya, karena baginya, ketegangan di wajah Bima itu menggemaskan, seperti singa yang dirantai namun tetap menunjukkan taringnya. Pintu lift terbuka di lantai dua puluh. Calista melenggang keluar lebih dulu, sementara Bima membawa beberapa paper bag di kedua tangannya. Calista tak menoleh, seolah sudah terbiasa dilayani. Begitu pintu apartemen terbuka, Calista langsung berjalan masuk, meninggalkan Bima di depan pintu. Calista membuka pintu kamarnya. "Letakan di kamar," katanya pada Bima yang hendak meletakkan paper bag itu di sofa. "Itu kamarmu kan?" tanyanya seraya melangkah menuju ke arah Calista. "Hm, iya." Calista sekarang membuka pintu lebar-lebar, dan dia sedikit bergeser ke samping untuk memberi Bima jalan. Bima melangkah masuk, matanya menyapu sekilas kamar yang luas, elegan, dan beraroma harum seperti pemiliknya. Namun tatapannya segera kembali tertuju pada Calista, penuh dengan amarah yang tak terucap. Calista yang masih berdiri bersandar pada pintu kamarnya memperhatikan Bima, ada keinginan menutup pintu dan menerkam pria itu, tapi pikiran liar itu segera diusirnya. Itu adalah tindakan binal, dan bukan dirinya yang sebenarnya. Setelah meletakkan paper bag di sudut lemari, Bima berbalik menghadap Calista yang masih bersandar di ambang pintu. "Kamu paham syarat yang diajukan istriku, kan?" Suaranya rendah, memecah kesunyian. "Tidak ada sentuhan atau hubungan intim," ucap Calista dengan lantang, seolah menantang. Bima mengangguk, lalu perlahan melangkah mendekat. Jarak antara mereka semakin menyempit. "Tapi sepertinya kamu sengaja mengabaikannya," desisnya tajam. Matanya menangkap setiap gelagat Calista. Calista terkekeh ringan. "Kamu dan aku sama-sama tahu, dalam situasi kita, sentuhan fisik hampir tak terhindarkan." "Aku tahu batasannya, dan aku berniat menaatinya," bantah Bima dengan nada tegas. "Kamu tidak akan bisa." Calista membantah dengan penuh keyakinan. "Bisa. Asalkan kamu juga menghormati batas itu." Calista mendekat selangkah lagi. Napasnya terdengar lebih cepat, memenuhi ruang sempit di antara mereka. "Kamu—" "Aku suami orang," potong Bima, suaranya tiba-tiba keras dan jelas, memotong semua ketegangan yang mulai memuncak. "Jangan lupakan itu." Dengan langkah cepat, dia melewati Calista dan keluar dari kamar, meninggalkan Calista sendirian dengan jantung yang masih berdebar kencang dan kekosongan yang tiba-tiba terasa menusuk. "Sial!" Calista mendesis, melemparkan bantal ke arah pintu kamar yang baru saja ditutup Bima. Kegemasan itu menggelegak dalam dadanya, panas dan tidak karuan. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang putih sempurna. Pikirannya berputar pada sosok Bima, pria keras kepala yang tangannya kasar, tatapannya tajam, dan prinsipnya kokoh seperti baja. Ironisnya, justru ketegasan itulah yang menariknya. Dia, Calista Tedjakusuma, yang selalu bisa mendapatkan apa pun dengan uang atau pengaruhnya, kini menginginkan satu-satunya hal yang tidak bisa dibelinya, kesediaan tulus dari seorang pria yang jelas-jelas sudah memiliki ikatan suci dengan perempuan lain. Dia membalikkan badan, mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur. Jempolnya menari di atas layar, menemukan nama "Rita." Tanpa pikir panjang, dia menekan tombol panggilan. Deru telepon terdengar beberapa kali sebelum tersambung. "Halo, Bu Cally." Suara Rita di seberang terdengar tenang. "Rita," sapa Calista, mencoba menormalkan nada bicaranya. "Apa kabar?" "Baik, Bu. Ada ... ada yang bisa saya bantu?" Kali ini suara Rita terdengar gugup. Calista bangkit dan berjalan ke dekat jendela, memandang kota di bawah sana yang mulai diselimuti senja. "Aku dan Bima akan menikah, lusa." Hening di seberang sana terasa berat. Calista bisa membayangkan Rita menahan napas, atau mungkin menahan tangis. Bagaimana tidak? Suaminya akan menikah lagi. "Oh." Akhirnya Rita menjawab, suaranya kecil dan parau. "Saya ... mengerti." "Aku minta izinmu," ucap Calista tiba-tiba, jari-jarinya mengetuk-ngetuk kaca jendela. "Untuk menjadi istrinya. Istri Bima yang kedua." Kalimat itu terasa aneh di mulutnya, namun harus diucapkan. "Bukankah ini sudah kita sepakati dari awal, Bu?" Rita balas bertanya, suaranya bergetar halus. Calista menutup mata sejenak. "Aku tahu. Tapi aku perlu mendengarnya langsung darimu sekarang. Keberatan?" Di ujung telepon, Rita menarik napas dalam-dalam yang terdengar jelas. "Tidak," jawabnya akhirnya, seperti menarik setiap kata dari dasar jiwanya. "Asalkan Bu Cally ingat syarat yang saya berikan. Tidak ada yang boleh disalahi. Dan saya ... saya akan menjaga rahasia ini." "Baik, Rita." Calista menutup telepon sebelum Rita sempat berkata-kata lagi. Ponsel itu dipegangnya erat-erat sebelum akhirnya dilempar ke sofa. Dia berdiri lama di depan jendela, memandangi bayangannya sendiri yang terpantul di kaca, seorang wanita yang dengan sengaja melangkah ke dalam labirin cinta terlarang, dan sama sekali tidak berniat mencari jalan keluar. Calista sengaja ingin terjebak dalam perasaan Bima. *** Rita masih terduduk kaku di kursi tunggu rumah sakit, ponsel tergenggam erat di tangannya ketika suara Dina menyadarkannya. "Tadi telepon dari siapa, Nak?" tanyanya sambil meletakkan tas di kursi sebelah. Rita tersentak, berusaha menyembunyikan gejolak di wajahnya. "Bukan siapa-siapa, Bu. Ibu baru sampai?" "Iya, kamu sudah di sini seharian. Pulang saja, jaga anak-anakmu. Kasihan mereka di rumah sendirian." "Iya, Bu," jawab Rita lemah. "Nanti sore saya antar makanan." "Jangan repot-repot. Biar Indri yang urus. Kamu istirahat saja." Dina meraih tangan Rita, matanya penuh kasihan. "Bima pasti khawatir kalau kamu terus-terusan di sini." Rita mengangguk, memaksakan senyum tipis sebelum beranjak pergi. Di perjalanan pulang, pikiran Rita berputar pada percakapan dengan Calista. Setiap kata seperti pisau yang mengiris perlahan. Istri mana yang rela? Tapi di tengah kepahitan itu, ada kepasrahan yang lebih menyakitkan, mereka tidak punya pilihan lain. Saat melewati bengkel, tanpa sadar Rita menepikan motornya di seberang jalan. Matanya menyisir setiap sudut tempat kerja suaminya, mencari tanda-tanda kehadiran Calista atau setidaknya konfirmasi bahwa Bima masih di tempat yang seharusnya. Ketika melihat sosok familiar membungkuk di bawah kap mobil, dadanya sedikit lega, tapi segera digantikan rasa bersalah yang menusuk. Dengan langkah ragu, dia mendekat. "Mas Bima." Bima menoleh, alisnya berkerut melihat istrinya di tempat seperti ini. "Rita? Ada apa?" Tangannya yang penuh oli dengan cepat mengelap majun di celana kerjanya. "Dari rumah sakit," jawab Rita, suaranya kecil. "Tadi bergantian dengan Ibu." Bima mengangguk, lalu menuntun Rita ke bangku kayu di sudut bengkel. "Duduklah. Kamu terlihat lelah." Mereka duduk berdampingan, diiringi bunyi mesin dan bau solar yang menyengat. Rita menarik napas dalam. "Lusa ... Mas akan menikah." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang terasa seperti batu besar di dadanya. Bima yakin jika Calista sudah memberi tahu istrinya. "Ya," jawab Bima singkat, nadanya berat seperti mengangkut beban yang sama. Rita meraih lengan suaminya, jemarinya mencengkeram erat otot yang keras itu, seolah ingin memastikan dia masih ada, masih miliknya. "Mas," bisiknya, suara serak oleh emosi yang ditahan, "tolong ... jaga perasaan dia. Dan jaga perasaan aku juga." Bima menatap istrinya. Di matanya yang biasanya tegas, terbaca pergulatan yang dalam. Batas-batas yang sudah dia tegakkan mulai terasa seperti tembok pasir yang diterjang ombak. Calista dengan segala ketegasannya, dan Rita dengan pengorbanannya yang bisu, dia terjepit di antara dua kewajiban yang sama-sama menyiksa. *** Zoya tidak bisa diam. Sementara Calista berusaha fokus mengikuti gerakan yoga anti-gravitasi, sahabatnya itu terus saja mengoceh seperti lebah yang berdengung di telinganya. "Tante Veny bilang calon suami lo itu macho banget, beda sama tipe cowok kantoran yang biasa gue gandeng. Aduh, penasaran gue! Spill dong, Ta, dia kayak gimana sih?" desis Zoya di antara tarikan napas dalam. Calista hanya tersenyum, menahan tawa sambil mempertahankan pose. "Nanti," gumannya singkat. "Ah, sialan! Lo tau kan rasa penasaran gue kalo udah kebangun gini!" keluh Zoya, suaranya semakin keras sampai beberapa orang di sekeliling mereka menoleh. Calista akhirnya tak bisa menahan tawa kecilnya yang meledak. Zoya segera menarik lengannya, mengajaknya menjauh dari mat area ke sisi ruangan yang lebih sepi. Mereka duduk bersila di lantai, mengambil tumbler masing-masing. "Gue serius nih," Zoya menatapnya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "Lo kenalnya di mana? Kok bisa tiba-tiba muncul pria sempurna dari langit?" Calista meneguk airnya, membeli waktu sejenak. "Gak sengaja. Mobilku mogok, dia yang bantu." "Mekanik?" Zoya mendecakkan lidah. "Wah, makin menarik. Coba tunjukin fotonya! Please, gue mau liat wajah yang berhasil jungkir-balikin dunia lo. Yang bikin lo, sumpah serapah anti pacaran, langsung mau nikah!" Setelah merogoh saku tasnya, Calista mengeluarkan ponsel. Jarinya membuka galeri foto, menggeser ke beberapa foto candid Bima yang diambil diam-diam saat pria itu tidak menyadari. Dalam foto-foto itu, Bima terlihat alami, sedang membenahi mesin dengan kening berkerut, atau sedang menatap ke kejauhan dengan ekspresi serius yang membuat jantungnya berdebar. "Ini dia," ucap Calista, suaranya terdengar berbeda, lebih lunak. Zoya menyambar ponsel itu. Matanya membesar. "OMG! Pantesan! Gantengnya bukan main. Body-nya ... wah, pasti enak buat dipeluk ya." Calista menepuk lengan Zoya dengan keras. "Jangan nakal." Tapi Zoya tak berhenti. Matanya yang jeli menyapu setiap detail di foto, dan tiba-tiba dia membeku. Jarinya menunjuk ke layar, memperbesar salah satu foto di mana tangan Bima terlihat jelas. "Lo gak lihat ini?" tanyanya, suaranya tiba-tiba menjadi datar. "Lihat apa?" Zoya menatap Calista, lalu kembali ke layar. "Dia pake cincin, Ta." Udara di antara mereka seketika berubah. Calista bisa merasakan detak jantungnya berhenti sejenak sebelum kembali berdegup kencang. Foto itu jelas-jelas menunjukkan cincin sederhana di jari manis Bima, sebuah detail yang selama ini sengaja dia abaikan. "Dia single apa laki orang, nih?" tanya Zoya lagi, kali ini lebih pelan, penuh arti. Calista tidak bisa menjawab. Mulutnya terasa kering, dan tumbler di tangannya tiba-tiba terasa sangat berat. Tidak ada yang boleh tau status Bima yang sebenarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN