BAB 45

1338 Kata
                Sambutan hangat didapatkan Viola dan Panji saat tiba di rumah Nenek Uti. Wanita tua yang berjalan saja sudah menggunakan tongkat sebagai alat bantu itu, menangis haru melihat Viola datang dengan menggunakan kursi roda. Nenek Uti bukan baru pertama kali bertemu semenjak Viola duduk di atas kursi roda, dia bahkan sering datang berkunjung dengan anak angkatnya yang sejak kecil sudah dia rawat ke Jakarta. Namun tetap saja, Nenek Uti selalu saja menangis setiap kali melihat Viola di depan matanya. Seolah ada penyesalan di sana, karena sudah menuruti apa yang Viola katakana dulu, untuk kembali ke Jakarta yang membuatnya harus mengalami semua hal itu, hingga saat ini masih harus merasakan imbas dari kekerasannya memegang keinginannya untuk kembali pulang.                 Nenek Uti melepaskan pelukannya, beralih ke Panji lantas memeluknya walau hanya sebentar, begitu juga dengan seorang lelaki yang sejak tadi berdiri di belakang Nenek Uti. Dia menyalam Viola dan juga Panji. Lelaki mudah yang hanya tiga tahun di atas Panji itu adalah Mas Dharma, anak angkat Nenek Uti yang selalu setia menjaganya selama di Jogja. Bahkan demi bisa menjaga Nenek Uti yang sudah dia anggap ibunya sendiri, Dharma sampai rela tidak menikah agar bisa lebih fokus dengan tugasnya membalas budi baik wanita itu.                 Bukan tidak sering Alia yang sudah menganggapnya adik kandungnya sendiri mencarikan pendamping. Bahkan terlalu sering keluarga dari pihak wanita yang dicarikan Nenek Uti dan Alia datang sekeda rmemulai perjodohan. Namun tetap saja, Dharma selalu berusaha menolak secara halus perjodohan itu. Entah secara langsung mengatakannya, atau malah melakukan hal-hal yang dibenci pihak wanita saat berjalan bersamanya di lain hari. Hal itu sering kali membuat Nenek Uti kesal bukan main. Namun saat Dharma mengatakan apa yang ingin dia pertahankan saat itu, membuat Nenek Uti luluh juga dan akhirnya kini, menyerahkan semua pilihan pada anak angkatnya itu. Dia tidak lagi menjodohkannya pada siapa pun. Dan hal itu membuat Dharma lega bukan main.                 “Kalian langsung makan saja ya, pasti pada lapar,” ucap Nenek Uti sembari mengajak Viola, Panji dan Broto yang baru saja selesai menurunkan barang dibantu Mbok Minem ke dalam. Panji memang merasakan lapar yang luar biasa. Roti yang dia beli dari mini market, sama sekali belum tersentuh akibat pencarian yang tiba-tiba dilakukan. Dia langsung tidak selera makan tadi, antara geram dan lelah, semua bercampur menjadi satu yang membuat napsu makannya lenyap sudah.                 Panji mendorong kursi roda Viola mengikuti langkah Nenek Uti dan Dharma menuju ruang makan. Terlihat sudah tersedia berbagai makanan di sana. Ada ayam goreng tepung, sambal terasi, nasi, buah-buahan, cah kangkong, dan masih banyak lagi lauk di sana. Perut Panji rasanya sudah tidak lagi bisa menahan gejolak ingin menyantap semua makanan yang dihidangkan itu. Namun sadar bahwa Nenek Uti belum duduk di kursinya dan mempersilakan semuanya untuk makan, membuat Panji menahan semua itu dalam diamnya. Panji menggeser kursi yang seharusnya menjadi tempat duduk Viola, dan menarik kursi roda Viola untuk bergantian denga kursi yang sudah dia jauhkan ke pinggir ruangan itu.                 “Makan ayo, jangan malu-malu. Kalian sudah pasti lelah seharian di jalan,” ucap Nenek Uti saat semua orang sudah duduk di kursi maasing-masing, termasuk Broto yang sudha duduk di samping Dharma di hadapan Panji dan Viola. Sedangkan Nenek Uti sendiri duduk di sisi tersendiri.                 “Setelah ini langsung istirahat saja, tidak perlu pikirkan apa pun. Selama di sini, semua bakalan tersedia seperti saat Nenek main ke rumah kalian,” canda Nenek Uti lantas disusul tawa renyahnya yang membuat semua orang ikut tertawa karenanya. “Mbok,” panggilnya saat wanita setengah baya itu kembali hadir di meja makan sembari menuangkan air mineral hangat ke gelas masing-masing.                 “Ya, Mbah,” jawab Mbok Minem sopan.                 “Sudah kamu bersihkan semua kamar?” tanya Nenek Uti lagi sekedar mengingat wanita yang bertugas sebagai bersih-bersih di rumahnya itu.                 “Sudah, Mbah, semua sudah bersih. Kamar Mas Panji dan Mbak Viola ada di kamar tamu di ruang tv, sedangkan kamar Mas Broto, di lantai atas di kamar Mas Panji.”                 “Aduh, kenapa saya di kamar atas, Nek?” tanya Broto yang tampak segan karena beranggapan bahwa kamar Panji, adalah kamar ekslusif yang tak sepantasnya dia dapatkan. “Saya di kamar belakang saja kalau ada.”                 “Anda ini gimana toh, meski pun Anda dibayar buat menyetir mobil selama liburan kali ini, anda itu tetaplah tamu saya,” jawab Nenek Uti dengan logat Jogjanya yang khas. “Tidak apa-apa, anda di atas saja di kamar Panji yang lama. Soalnya kalau Panji dan Viola dikasih kamar atas, kasihan Violanya harus turun naik tangga nanti. Lagi pula tidak ada kamar lagi di bawah, semua kamar di atas. Hanya ada kamar Nenek saja sama kamar Mbok Minem. Apa mau?” canda Nenek yang kembali menghadirkan gelak tawa di tengah-tengah sesi makan saat itu.                 Broto menggaruk kepala bagian belakangnya dengan tangan kiri. Dia tampak tersipu malu mendengar candaan Nenek Uti. Broto memang sudah dianggap keluarga oleh Nenek Uti. Dia sering mengantar jemput Viola saat dulu Viola mampir ke Jogja. Usia Broto yang tidak terlalu jauh dari usia Herman, membuat Nenek Uti selalu menganggapnya seperti anak sendiri. Dan hal itulah yang membuat Broto selalu siap sedia jika diajak ke Jogja kapan pun. Bahkan sangkin setianya mengabdi pada keluarga Panji, dia sampai rela meninggalkan anak istrinya di Jakarta setiap kali diutus pergi ke Jogja bersama keluarga Panji.                 “Bagaimana kabarmu, Vi, baik?” tanya Nenek Uti membuka pembicaraan.                 “Alhamdulillah baik, Nek,” jawab Viola setelah meneguk air mineralnya, sekedar meloloskan makanan dari kerongkongan.                 “Sudah lama kamu tidak main ke sini, apa sudah isi, Nduk?” tanya Nenek yang kembali dijawab Viola walau kini dengan gelengan kepala.                 Nenek Uti tersenyum tulus, “Tidak apa-apa, itu wajar namanya baru menikah. Terus yakin sama Allah, jangan putus asa.”                 “Iya, Nek,” jawab Viola lantas kembali melahap makanannya.                 “Kemarin nenek dengar dari ibumu, kamu mau masang kaki palsu, apa sudah ada?” tanya Nenek Uti yang membuat Panji mengarahkan tatapan ke Viola yang berusaha tersenyum di sampingnya. Panji yang mengerti perasaan Viola saat itu, langsung menyentuh pahanya di bawah meja yang membuat Viola mengalihkan tatapan ke arahnya.                 “Sudah di pesan, Nek, kemungkinan akan segera datang,” jawab Panji mengambil alih. “Tapi belum bisa dipastikan juga kapan datangnya. Berdoa saj mudah-mudahan secepatnya.”                 Nenek Uti tersenyum lega. Dia sendiri tampak sangat berharap Viola segera kembali berjalan walau harus menggunakan kedua kaki palsu. Viola yang sejak kecil selalu dia jaga lebih dari Panji, membuat rasa sayangnya  begitu besar pada cucu semata wayangnya itu. Dia sangat sedih saat melihat secara langsung Viola tergeletak di aspal dengan darah di mana-mana. Bahkan dia sempat jatuh sakit saat mengetahui Viola hrus kehilangan kedua kakinya. Tubuhnya yang renta tidak kuasa menahan kesedihan dan penyesalannya, hingga membuatnya sempat ambruk dan harus dirawat di rumah sakit yang sama tempat Viola dirawat.                 “Nenek Uti kirain, kamu sudah bisa berjalan dan memutuskan untuk liburan di sini,” jawab Nenek Uti lagi. “Tapi tidak apa-apa, di sini ada Panji, Nenek, Mbok Minem, Broto dan juga Dharma yang akan membantu kamu untuk melakukan apa pun. Kamu tidak perlu khawatir. Apa pun yang Viola butuhkan selama seminggu penuh, semua akan tersedia.”                 “Gak perlu sampai segitunya, Nek,” tolak halus Viola. “Viola bisa lakuin semuanya sendirian seperti biasa. Cukup ada Bang Panji saja, Viola sudah bisa lakuin apa pun kok. Viola gak mau ngerepotin siapa pun karena kondisi Viola saat ini.”                 “Tapi, Nduk, kita semua ada di sini buat ngebantuin kamu,” jawab Nenek Uti seolah mencoba meyakinkan Viola bahwa dia sudah mempersiapkan segalanya untuk sang cucu selama menginap di rumahnya.                 “Iya, Nek, tapi Viola masih bisa sendiri ngerjain apa pun kok, iya kan, Bang?” tanya Viola mencoba mencari dukungan yang langsung dijawab Panji dengan anggukan kepala. Viola tersenyum melihatnya. Sedangkan Nenek Uti hanya menghela napas kecewa.                 “Ya sudah kalau seperti itu, Nenek tidak akan memaksa. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, jangan segan-segan minta sama nenek atau paman kamu itu ya?”                 “Baik, Nek,” jawab Viola lantas kembali melahap makanannya. Panji sendiri tampak lega melihat Viola yang begitu tenang menjawab semua pertanyaan Nenek Uti saat itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN